Rabu, 05 Juli 2017

Relasi Guru-Peserta Didik



Oleh Ch. Dwi Anugrah

Masih terbayang di ingatan penulis, ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar ada seorang ibu guru yang sangat berkesan. Sosok ibu guru penyabar, telaten, dan sangat perhatian pada peserta didiknya secara personal. Beliau selalu mengajak kami menyanyikan lagu “Kasih Ibu”  setiap usai pelajaran, sebelum  kami pulang ke rumah. Setelah bernyanyi bersama,  tak lupa beliau juga menutup pelajaran dengan cerita rakyat yang bertemakan kasih  sayang seorang ibu kepada anak-anaknya, seperti Malin Kundang, Cindhe Laras, Bambang Sembotha, dan sebagainya. Dari cerita tersebut, ibu guru tersebut menegaskan bahwa pada dasarnya kasih ibu itu luasnya ibarat samudra tiada bertepi. Seorang ibu, siapa pun, apa pun keadaannya, adalah tepat bagi  anak-anaknya.
Usai doa penutup, beliau lalu bergegas menuju pintu ruangan kelas. Satu persatu peserta didik yang keluar meninggalkan ruangan kelas disalami dengan penuh kasih sayang. Kadang beliau tidak sungkan-sungkan untuk jongkok, merendah, hanya agar dapat menatap mata peserta didiknya. Sebuah kalimat yang tak mungkin dilupakan yang selalu beliau ucapkan,”sampai ketemu besok ya, salam buat bapak-ibu di rumah,” sambil tangan kanannya menjabat, memegang erat tangan kanan semua peserta didiknya. Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk  pelan pundak dengan penuh ketulusan cinta kasih.
Ilustrasi tersebut, menegaskan  bahasa tubuh  seorang guru memang mengisyaratkan dengan tegas bahwa dengan ketulusan tanpa pamrih menyayangi peserta didiknya. Bukan saja beliau memberikan contoh nyata bagi peserta didiknya, tetapi dengan tindakannya itu, diharapkan dapat  memberikan contoh kepada siapa saja, khususnya kepada guru. Seorang guru semestinya memiliki peran dan tanggung jawab layaknya orang tua di rumah.

Penuh Kehangatan
Relasi guru-peserta didik tidak harus selalu  formal dan kaku, sebaliknya mesti akrab dan penuh kehangatan. Orang dewasa seperti halnya guru harus mampu tampil hangat, penuh perhatian, dan kasih sayang kepada setiap peserta didiknya.  Dengan sikap demikian, peserta didik akan merasa berada dalam sebuah lingkungan yang aman. Dalam lingkungan yang bebas dari tekanan, peserta didik dapat dengan leluasa  berekplorasi dan berkreasi. Relasi guru dan peserta didik  bukan sekadar hubungan  memberi dan menerima materi pelajaran, tetapi lebih  mendalam, yakni relasi pribadi dari hati ke hati.
Kasih guru kepada pesera didiknya dapat dianalogikan dengan sang surya yang  memberikan cahaya terangnya kepada dunia. Matahari tidak pernah pilih kasih. Semua manusia, baik yang jahat maupun yang baik, diberi cahaya terangnya. Matahari tidak mengenal suku, agama, warna kulit, jenis rambut atau aneka ragam perbedaan manusia. Bagi matahari, semua manusia berhak menerima terang dan cahaya sesuai dengan  kapasitas dan kebutuhannya. Sinar matahari adalah energi yang dapat memampukan manusia untuk melakukan aktivitasnya.
Demikian pula kasih yang memancar dari seorang guru akan memberikan energi  yang memampukan  peserta didik  mengeluarkan dan mengaktualisasikan  potensinya. Energi yang mampu  memerdekan dirinya dari segala bentuk tekanan, untuk dapat menjadi orang yang mandiri.
Oleh karena itu, kiranya guru perlu mengenal pribadi peserta didik secara personal. Tidak jarang relasi guru-peserta didik di kelas sekarang ini hanya berlangsung anonim, tanpa mengenal peserta didik. Ada tuntutan yang tidak berimbang. Peserta didik harus mengenal gurunya, sementara guru merasa tidak perlu mengenal peserta didiknya. Di mata guru-guru,  paradigma demikian peserta didik hanyalah deretan  presensi tanpa makna.
Guru-guru di satuan pendidikan yang mempunyai peserta didik dalam kategori banyak biasanya cenderung abai mengenal peserta didiknya. Alasan pembenarannya adalah  kumulatif peserta didik yang diampu melebihi kemampuan daya ingat guru yang  kian menurun seiring  bertambahnya usia. Namun, ketika sang guru berusia muda pun melakukan hal yang sama, artinya memang guru semacam itu tidak  pernah mau menaruh hati untuk  sekadar mengenal satu persatu peserta didiknya. Apalagi mengenal persoalan hidup dan konteks hidup peserta didiknya.
Untuk menyikapi hal tersebut, guru setiap kali mengajar bisa melakukan presensi dan memanggil peserta didik satu-per satu. Di samping itu   peserta didik dimohon menorehkan tanda tangan di buku presensi yang sudah disiapkan guru. Cara demikian dapat membantu memudahkan menghafal nama peserta didik. Menghafal  nama peserta didik menjadi awal mengenal lebih jauh seluruh konteks kehidupan, latar belakang, keluarga, atau asal-usulnya. Sapaan, panggilan, pertanyaan, atau penunjukan akan terasa lebih menyentuh kesan  jika disebut namanya. Komparasikan dengan cara guru menunjuk peserta didik  dengan kata ganti “kamu”, “kau”, atau “itu yang berbaju hijau”, “itu yang duduk di pojok sendiri” (St. Kartono, 2011).

                                                            Relasi Manusiawi
            Guru mengenal peserta didik, mengingat nama dan perangainya, dan menyapa secara pribadi lewat namanya adalah kiat untuk menciptakan relasai manusiawi di satuan pendidikan. Pendidikan di masa depan perlu menjadi pendidikan universal, yang pertama-tama mengajarkan tentang kondisi manusiawi. Kondisi manusiawi peserta didik di satuan pendidikan mestinya tersistem, tidak mengandalkan inisiatif perorangan.
            Menjadi ironis jika ada banyak satuan pendidikan yang merasa cukup menampung peserta didik yang pandai dan menyediakan fasilitas fisik, sementara para gurunya semakin jauh  dari peserta didik.  Bukan hal yang aneh jika ada guru yang tidak kenal peserta didiknya bahkan sampai lulus, kecuali namanya dan nilai rapor. Hakikat peserta didik sebagai manusia direduksi sekadar nama dan angka nilai rapor.
            Dengan demikian,  guru hendaknya tidak menyisakan kebaikan untuk dirinya sendiri. Semuanya diberikan demi  menjadikan peserta didiknya manusia merdeka, mandiri dengan potensi yang dimiliki. Tidak semestinya guru memilih dan memilah peserta didik lalu memasukkan mereka ke dalam kelompok bodoh dan pintar. Tidak pula membiarkan dan meninggalkan peserta didik tidak naik kelas sehingga mereka tertekan beban berat secara psikologis, hanya karena nilai salah satu mata pelajaran tidak memenuhi standar kriteria ketuntasan minimal seperti yang diharapkan gurunya.
            Untuk itu, mengutip Andrias Harefa dalam bukunya “Pembelajaran di Era Serba Otonomi” (2002) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Pertama,  guru merupakan panggilan jiwa yang tak mungkin hilang. Dalam hal ini guru merupakan sosok yang tidak mengejar keuntungan finansial, melainkan kepuasan hatinya mendampingi peserta didiknya. Kedua, Guru menempatkan peserta didiknya sebagai mitra belajar yang potensial. Sosok guru sekarang ini  bukanlan seorang yang maha tahu, namun peran sentralnya hanya  sebagai fasilitator yang memberikan ruang bagi peserta didiknya untuk mengembangkan ilmunya. Ketiga, Guru selalu menyosialisasikan nilai-nilai luhur untuk hidup dan kehidupan. Guru yang ideal, tidak hanya sekadar mentransfer disiplin ilmunya semata, namun yang tidak boleh ditinggalakan yakni  selalu memberi dan menanamkan  nilai luhur humaniora untuk bekal peserta didik di kemudian hari.
            Ketika “matahari” dalam diri guru sebagai pendamping  peserta didik meredup, maka satuan pendidikan bukan lagi tempat subur  sebagai penyemaian nilai-nilai kehidupan, meliankan tempat yang akan membawa peserta didik terjebak ke jurang gelap tak bertepi.
            Sebaliknya, sosok guru dengan jiwa humanis adalah bagaikan matahari  yang senantiasa memberi dan tak pernah berharap  kembali. Semua peserta didik diberikan cahaya, kehangatan, dan cinta kasih tulus tanpa membeda-bedakan. Ia adalah matahari yang tak pernah  padam bagi peserta didiknya.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang





Tidak ada komentar:

Posting Komentar