Relasi
Guru-Peserta Didik
Oleh Ch.
Dwi Anugrah
Masih terbayang di ingatan penulis, ketika masih
duduk di bangku Sekolah Dasar ada seorang ibu guru yang sangat berkesan. Sosok
ibu guru penyabar, telaten, dan sangat perhatian pada peserta didiknya secara personal.
Beliau selalu mengajak kami menyanyikan lagu “Kasih Ibu” setiap usai pelajaran, sebelum kami pulang ke rumah. Setelah bernyanyi
bersama, tak lupa beliau juga menutup
pelajaran dengan cerita rakyat yang bertemakan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya,
seperti Malin Kundang, Cindhe Laras, Bambang Sembotha, dan sebagainya. Dari cerita
tersebut, ibu guru tersebut menegaskan bahwa pada dasarnya kasih ibu itu
luasnya ibarat samudra tiada bertepi. Seorang ibu, siapa pun, apa pun
keadaannya, adalah tepat bagi
anak-anaknya.
Usai doa penutup, beliau lalu bergegas menuju
pintu ruangan kelas. Satu persatu peserta didik yang keluar meninggalkan
ruangan kelas disalami dengan penuh kasih sayang. Kadang beliau tidak
sungkan-sungkan untuk jongkok, merendah, hanya agar dapat menatap mata peserta
didiknya. Sebuah kalimat yang tak mungkin dilupakan yang selalu beliau
ucapkan,”sampai ketemu besok ya, salam buat bapak-ibu di rumah,” sambil tangan
kanannya menjabat, memegang erat tangan kanan semua peserta didiknya. Sedangkan
tangan kirinya menepuk-nepuk pelan
pundak dengan penuh ketulusan cinta kasih.
Ilustrasi tersebut, menegaskan bahasa tubuh seorang guru memang mengisyaratkan dengan
tegas bahwa dengan ketulusan tanpa pamrih menyayangi peserta didiknya. Bukan
saja beliau memberikan contoh nyata bagi peserta didiknya, tetapi dengan
tindakannya itu, diharapkan dapat
memberikan contoh kepada siapa saja, khususnya kepada guru. Seorang guru
semestinya memiliki peran dan tanggung jawab layaknya orang tua di rumah.
Penuh Kehangatan
Relasi guru-peserta didik tidak harus selalu formal dan kaku, sebaliknya mesti akrab dan
penuh kehangatan. Orang dewasa seperti halnya guru harus mampu tampil hangat,
penuh perhatian, dan kasih sayang kepada setiap peserta didiknya. Dengan sikap demikian, peserta didik akan
merasa berada dalam sebuah lingkungan yang aman. Dalam lingkungan yang bebas
dari tekanan, peserta didik dapat dengan leluasa berekplorasi dan berkreasi. Relasi guru dan
peserta didik bukan sekadar
hubungan memberi dan menerima materi
pelajaran, tetapi lebih mendalam, yakni
relasi pribadi dari hati ke hati.
Kasih guru kepada pesera didiknya dapat
dianalogikan dengan sang surya yang
memberikan cahaya terangnya kepada dunia. Matahari tidak pernah pilih
kasih. Semua manusia, baik yang jahat maupun yang baik, diberi cahaya
terangnya. Matahari tidak mengenal suku, agama, warna kulit, jenis rambut atau
aneka ragam perbedaan manusia. Bagi matahari, semua manusia berhak menerima
terang dan cahaya sesuai dengan kapasitas
dan kebutuhannya. Sinar matahari adalah energi yang dapat memampukan manusia
untuk melakukan aktivitasnya.
Demikian pula kasih yang memancar dari seorang
guru akan memberikan energi yang
memampukan peserta didik mengeluarkan dan mengaktualisasikan potensinya. Energi yang mampu memerdekan dirinya dari segala bentuk
tekanan, untuk dapat menjadi orang yang mandiri.
Oleh karena itu, kiranya guru perlu mengenal
pribadi peserta didik secara personal. Tidak jarang relasi guru-peserta didik
di kelas sekarang ini hanya berlangsung anonim, tanpa mengenal peserta didik.
Ada tuntutan yang tidak berimbang. Peserta didik harus mengenal gurunya,
sementara guru merasa tidak perlu mengenal peserta didiknya. Di mata
guru-guru, paradigma demikian peserta
didik hanyalah deretan presensi tanpa
makna.
Guru-guru di satuan pendidikan yang mempunyai
peserta didik dalam kategori banyak biasanya cenderung abai mengenal peserta
didiknya. Alasan pembenarannya adalah
kumulatif peserta didik yang diampu melebihi kemampuan daya ingat guru
yang kian menurun seiring bertambahnya usia. Namun, ketika sang guru
berusia muda pun melakukan hal yang sama, artinya memang guru semacam itu
tidak pernah mau menaruh hati untuk sekadar mengenal satu persatu peserta
didiknya. Apalagi mengenal persoalan hidup dan konteks hidup peserta didiknya.
Untuk menyikapi hal tersebut, guru setiap kali
mengajar bisa melakukan presensi dan memanggil peserta didik satu-per satu. Di
samping itu peserta didik dimohon
menorehkan tanda tangan di buku presensi yang sudah disiapkan guru. Cara
demikian dapat membantu memudahkan menghafal nama peserta didik. Menghafal nama peserta didik menjadi awal mengenal lebih
jauh seluruh konteks kehidupan, latar belakang, keluarga, atau asal-usulnya.
Sapaan, panggilan, pertanyaan, atau penunjukan akan terasa lebih menyentuh
kesan jika disebut namanya. Komparasikan
dengan cara guru menunjuk peserta didik
dengan kata ganti “kamu”, “kau”, atau “itu yang berbaju hijau”, “itu
yang duduk di pojok sendiri” (St. Kartono, 2011).
Relasi
Manusiawi
Guru
mengenal peserta didik, mengingat nama dan perangainya, dan menyapa secara
pribadi lewat namanya adalah kiat untuk menciptakan relasai manusiawi di satuan
pendidikan. Pendidikan di masa depan perlu menjadi pendidikan universal, yang
pertama-tama mengajarkan tentang kondisi manusiawi. Kondisi manusiawi peserta
didik di satuan pendidikan mestinya tersistem, tidak mengandalkan inisiatif
perorangan.
Menjadi ironis jika ada
banyak satuan pendidikan yang merasa cukup menampung peserta didik yang pandai
dan menyediakan fasilitas fisik, sementara para gurunya semakin jauh dari peserta didik. Bukan hal yang aneh jika ada guru yang tidak
kenal peserta didiknya bahkan sampai lulus, kecuali namanya dan nilai rapor.
Hakikat peserta didik sebagai manusia direduksi sekadar nama dan angka nilai
rapor.
Dengan demikian, guru hendaknya tidak menyisakan kebaikan
untuk dirinya sendiri. Semuanya diberikan demi
menjadikan peserta didiknya manusia merdeka, mandiri dengan potensi yang
dimiliki. Tidak semestinya guru memilih dan memilah peserta didik lalu
memasukkan mereka ke dalam kelompok bodoh dan pintar. Tidak pula membiarkan dan
meninggalkan peserta didik tidak naik kelas sehingga mereka tertekan beban
berat secara psikologis, hanya karena nilai salah satu mata pelajaran tidak
memenuhi standar kriteria ketuntasan minimal seperti yang diharapkan gurunya.
Untuk itu, mengutip
Andrias Harefa dalam bukunya “Pembelajaran
di Era Serba Otonomi” (2002) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
seorang guru. Pertama, guru merupakan panggilan jiwa yang tak mungkin
hilang. Dalam hal ini guru merupakan sosok yang tidak mengejar keuntungan
finansial, melainkan kepuasan hatinya mendampingi peserta didiknya. Kedua, Guru menempatkan peserta didiknya
sebagai mitra belajar yang potensial. Sosok guru sekarang ini bukanlan seorang yang maha tahu, namun peran
sentralnya hanya sebagai fasilitator
yang memberikan ruang bagi peserta didiknya untuk mengembangkan ilmunya. Ketiga, Guru selalu menyosialisasikan
nilai-nilai luhur untuk hidup dan kehidupan. Guru yang ideal, tidak hanya
sekadar mentransfer disiplin ilmunya semata, namun yang tidak boleh
ditinggalakan yakni selalu memberi dan
menanamkan nilai luhur humaniora untuk
bekal peserta didik di kemudian hari.
Ketika “matahari” dalam
diri guru sebagai pendamping peserta
didik meredup, maka satuan pendidikan bukan lagi tempat subur sebagai penyemaian nilai-nilai kehidupan,
meliankan tempat yang akan membawa peserta didik terjebak ke jurang gelap tak
bertepi.
Sebaliknya, sosok guru
dengan jiwa humanis adalah bagaikan matahari
yang senantiasa memberi dan tak pernah berharap kembali. Semua peserta didik diberikan
cahaya, kehangatan, dan cinta kasih tulus tanpa membeda-bedakan. Ia adalah
matahari yang tak pernah padam bagi
peserta didiknya.
Drs. Ch.
Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar