Rabu, 05 Juli 2017

Merajut Pendidikan Humaniora
 Seni Tari


Oleh Ch. Dwi Anugrah

Sebagai bentuk seni pertunjukan,  kehadiran seni tari  di tengah-tengah komunitas tidak bersifat independen. Di dalamnya bisa diamati dari perspektif  tekstual dan kontekstual. Secara tekstual, seni tari dapat dipahami dari bentuk dan teknik berkaitan dengan komposisinya. Sedangkan secara kontekstual  akan bersinggungan dengan disiplin ilmu sosiologi dan antropologi  yang merupakan bagian integral dengan dinamika sosio-kultural masyarakat.
Namun realitanya, asumsi sebagian komunitas kita masih menganggap seni tari itu hanya sebagai santapan estetis. Padahal bila ditelisik di dalamnya mengandung nilai-nilai kehidupan termasuk pendidikan humaniora di dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan humaniora mengandung pemahaman pendidikan yang mengajarkan nilai dan norma kemanusiaan dengan berbagai macam pernyataan  simbolisnya yang sangat erat  korelasinya dengan sistem budayadi  tengah-tengah kehidupan komunitas.
Dalam kehidupan masyarakat primitif atau pedalaman, tampaknya  nilai seni tari selalu berkorelasi dengan kaidah yang sifatnya  magis atau ritual. Karena bagaimanapun juga mentalitas primitif bukanlah logika yang berbicara, melainkan ungkapan emosional hidupnya secara menyeluruh. Tari dalam tataran gerak yang paling sederhana  menjadi bagian dari hidupnya, bersama-sama dengan alam. Kondisi riil tari primitif, masih dapat kita jumpai di daerah pedalaman, seperti Irian Jaya. Pada suku Ekari  mempunyai satu tarian pengharapan yang berjudul “Ura”. Tari ini diselenggarakan dengan harapan agar cuaca menjadi baik, dari kemarau berkepanjangan mereka minta turun hujan, agar mudah mencari makan.

Jiwa Kebersamaan
Lain lagi dalam lingkungan komunitas tradisional pedesaan. Nilai atau norma yang tekandung di dialamnya mengajarkan sifat egalitarian, sebagaimana sikap  kehidupan  mereka yang bersifat kegorongroyongan, yaitu kebersamaan  sesama individu. Jikalau terjadi  perbedaan atau  menempatkan seseorang berada pada gradasi yang lebih tinggi, sifatnya adalah  penghormatan kepada sesama (Sumandiyo Hadi, 2005).
Nilai ungkapan  seperti itu tampak  dalam tarian rakyat yang cirinya  juga kebersamaan. Jenis tari Tayub, yang sekarang banyak berkembang di beberapa daerah  Sragen, Yogyakarta, Blora, dan beberapa daerah Pantai Utara Jawa  sering diselenggarakan untuk sarana upacara ritual. Seperti dalam  upacara bersih desa adalah sebuah pesta kebersamaan seluruh komunitas agar desanya terlepas dari segala marabahaya. Semua komunitas dapat menari (ngibing) bersama dengan para penari Tayub. Di sini tidak ada tingkatan yang membedakan stratifikasi sosial mereka.
Demikian pula dalam seni pertunjukan Jathilan, Slawatan, dan jenis tarian rakyat lain, apabila di dalamnya  terdapat “pemimpin” tari, semata-mata bukan tingkatan “gradasi” melainkan hanya berfungsi “koordinasi”.
Adapun pendidikan humaniora yang terkandung dalam jenis kesenian  atau tarian rakyat dapat dilihat dalam jenis Slawatan. Kesenian ini hidup subur di lingkungan komunitas pedesaan  yang didukung oleh locus pesantren. Kesenian ini dianggap  sebagai pernyataan estetik para santri. Kitab Barzanji dan Kitab Shalawat Badar yang dipakai sebagai pedoman pengembangan bacaan maupun lagu dalam kesenian Slawatan, secara kontekstual isinya mengajarkan tentang pembentukan kepribadian manusia. Dalam kitab itu secara eksplisit  banyak berisi doa atau pujian terhadap Allah beserta para rasul-Nya. Terutama Kitab Shalawat Badar berisi syair-syair pujian dan doa kepada Allah untuk Nabi Muhammad SAW dan para pahlawan dari  perang Badar.
Sedangkan secara tekstual  melaui kesenian  Slawatan dapat mengajarkan rasa solidaritas, kebersamaan, dan juga kekompakan kelompok. Kesenian Slawatan merupakan jenis tarian kelompok, implikasinya segala motif gerak yang tersaji lebih mengedepankan keserampakan atau kebersamaan. Oleh karena itu,  jenis seni pertunjukan ini menuntut adanya saling kepedulian atau ketergantungan sesama penari atau peraga untuk mencapai  kerjasama memperagakan  gerakan unison (serempak), alternate (selang-seling), atau chronological (berurutan) dengan baik.
Di samping di lingkungan komunitas primitif dan tradisional pedesaan, pendidikan seni tari di komunitas istana tercermin dalam kehadiran tari untuk upacara ritual seperti Bedaya dan Wayang Orang. Secara kontekstual  suasana  ritual yang mengorelasikan  dengan  kehadiran tari Bedaya maupun wayang orang akan memberi efek terhadap para abdi dalem (pegawai istana)  dan seluruh masyarakat.
Seluruh penggambaran audiensi atau pisowanan dengan pertunjukan tari itu sesungguhnya  sangat sarat menunjukkan pendidikan  tentang nilai-nilai humaniora baik terkait dengan stratifikasi, kepemimpinan, kepahlawanan, kemanunggulan, kepatuhan, dan sebagainya. Dalam wayang orang dengan berbagai macam tipologi karakter, kedudukan tersebut  tidak lain menunjukkan  nilai stratifikasi dan hierarki,yaitu mendudukkan  setiap anggota masyarakat  pada posisi tertentu, baik sebagai raja, sentana (kerabat raja), abdi dalem, dan masyarakat. Di samping itu wayang orang sebagai dramatari juga menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan tentang  unggah-ungguh (tata krama), dan berbagai contoh watak baik-buruk.
 Sedangkan secara kontekstual tari Bedaya nilai pendidikan humanioranya dapat diamati, misalnya dari perspektif fungsi ritual yang menandakan  korelasi kosmis raja, istana, dan pemerintahannya. Istana sebagai mikrokosmos berusaha memperoleh  keselarasan dengan kehidupan makrokosmos. Di sini tercermin nilai-nilai kemanusiaan untuk mencapai kesuburan, kesejahteraan, dan kemakmuran kerajaannya, yakni raja dengan seluruh masyarakatnya.
Dengan berbagai contoh tadi kiranya dapat memberi gambaran, bahwa seni tari mempunyai multifungsi yang tidak sekadar cakupan estetika, namun di dalamnya terkandung nilai-nilai humaniora yang sarat akan tuntunan agar masyarakat sadar akan kesejatian dirinya. Oleh karena itu, semua pihak kiranya perlu meluruskan asumsi masyarakat yang terlanjur keliru tentang eksistensi seni tari tersebut. Baik itu dari  kelompok masyarakat yang tergabung dalam istitusi formal maupun informal, agar pendidikan seni tari dapat lebih  tersosialisasikan makna dan kegunaannya. Hal itu selaras dengan salah satu pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO, bahwa pendidikan merupakan sarana untuk belajar hidup bersama (learning to live together).



Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang



Tidak ada komentar:

Posting Komentar