Merajut
Pendidikan Humaniora
Seni Tari
Oleh Ch.
Dwi Anugrah
Sebagai bentuk seni pertunjukan, kehadiran seni tari di tengah-tengah komunitas tidak bersifat
independen. Di dalamnya bisa diamati dari perspektif tekstual dan kontekstual. Secara tekstual,
seni tari dapat dipahami dari bentuk dan teknik berkaitan dengan komposisinya.
Sedangkan secara kontekstual akan
bersinggungan dengan disiplin ilmu sosiologi dan antropologi yang merupakan bagian integral dengan
dinamika sosio-kultural masyarakat.
Namun realitanya, asumsi sebagian komunitas kita
masih menganggap seni tari itu hanya sebagai santapan estetis. Padahal bila
ditelisik di dalamnya mengandung nilai-nilai kehidupan termasuk pendidikan humaniora
di dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan humaniora mengandung pemahaman
pendidikan yang mengajarkan nilai dan norma kemanusiaan dengan berbagai macam
pernyataan simbolisnya yang sangat erat korelasinya dengan sistem budayadi tengah-tengah kehidupan komunitas.
Dalam kehidupan masyarakat primitif atau
pedalaman, tampaknya nilai seni tari
selalu berkorelasi dengan kaidah yang sifatnya
magis atau ritual. Karena bagaimanapun juga mentalitas primitif bukanlah
logika yang berbicara, melainkan ungkapan emosional hidupnya secara menyeluruh.
Tari dalam tataran gerak yang paling sederhana
menjadi bagian dari hidupnya, bersama-sama dengan alam. Kondisi riil
tari primitif, masih dapat kita jumpai di daerah pedalaman, seperti Irian Jaya.
Pada suku Ekari mempunyai satu tarian
pengharapan yang berjudul “Ura”. Tari ini diselenggarakan dengan harapan agar
cuaca menjadi baik, dari kemarau berkepanjangan mereka minta turun hujan, agar
mudah mencari makan.
Jiwa Kebersamaan
Lain lagi dalam lingkungan komunitas tradisional
pedesaan. Nilai atau norma yang tekandung di dialamnya mengajarkan sifat
egalitarian, sebagaimana sikap kehidupan
mereka yang bersifat kegorongroyongan,
yaitu kebersamaan sesama individu. Jikalau
terjadi perbedaan atau menempatkan seseorang berada pada gradasi
yang lebih tinggi, sifatnya adalah penghormatan
kepada sesama (Sumandiyo Hadi, 2005).
Nilai ungkapan
seperti itu tampak dalam tarian
rakyat yang cirinya juga kebersamaan.
Jenis tari Tayub, yang sekarang
banyak berkembang di beberapa daerah
Sragen, Yogyakarta, Blora, dan beberapa daerah Pantai Utara Jawa sering diselenggarakan untuk sarana upacara
ritual. Seperti dalam upacara bersih desa adalah sebuah pesta
kebersamaan seluruh komunitas agar desanya terlepas dari segala marabahaya. Semua
komunitas dapat menari (ngibing)
bersama dengan para penari Tayub. Di sini tidak ada tingkatan yang membedakan
stratifikasi sosial mereka.
Demikian pula dalam seni pertunjukan Jathilan, Slawatan, dan jenis tarian
rakyat lain, apabila di dalamnya terdapat
“pemimpin” tari, semata-mata bukan tingkatan “gradasi” melainkan hanya
berfungsi “koordinasi”.
Adapun pendidikan humaniora yang terkandung dalam
jenis kesenian atau tarian rakyat dapat
dilihat dalam jenis Slawatan.
Kesenian ini hidup subur di lingkungan komunitas pedesaan yang didukung oleh locus pesantren. Kesenian ini dianggap sebagai pernyataan estetik para santri. Kitab Barzanji dan Kitab Shalawat Badar yang dipakai sebagai pedoman pengembangan bacaan
maupun lagu dalam kesenian Slawatan,
secara kontekstual isinya mengajarkan tentang pembentukan kepribadian manusia.
Dalam kitab itu secara eksplisit banyak
berisi doa atau pujian terhadap Allah beserta para rasul-Nya. Terutama Kitab Shalawat Badar berisi syair-syair pujian
dan doa kepada Allah untuk Nabi Muhammad SAW dan para pahlawan dari perang Badar.
Sedangkan secara tekstual melaui kesenian Slawatan
dapat mengajarkan rasa solidaritas, kebersamaan, dan juga kekompakan kelompok.
Kesenian Slawatan merupakan jenis
tarian kelompok, implikasinya segala motif gerak yang tersaji lebih
mengedepankan keserampakan atau kebersamaan. Oleh karena itu, jenis seni pertunjukan ini menuntut adanya
saling kepedulian atau ketergantungan sesama penari atau peraga untuk
mencapai kerjasama memperagakan gerakan unison
(serempak), alternate
(selang-seling), atau chronological
(berurutan) dengan baik.
Di samping di lingkungan komunitas primitif dan tradisional
pedesaan, pendidikan seni tari di komunitas istana tercermin dalam kehadiran
tari untuk upacara ritual seperti Bedaya
dan Wayang Orang. Secara kontekstual suasana
ritual yang mengorelasikan
dengan kehadiran tari Bedaya
maupun wayang orang akan memberi efek terhadap para abdi dalem (pegawai istana)
dan seluruh masyarakat.
Seluruh penggambaran audiensi atau pisowanan dengan pertunjukan tari itu
sesungguhnya sangat sarat menunjukkan
pendidikan tentang nilai-nilai humaniora
baik terkait dengan stratifikasi, kepemimpinan, kepahlawanan, kemanunggulan,
kepatuhan, dan sebagainya. Dalam wayang orang dengan berbagai macam tipologi
karakter, kedudukan tersebut tidak lain
menunjukkan nilai stratifikasi dan
hierarki,yaitu mendudukkan setiap
anggota masyarakat pada posisi tertentu,
baik sebagai raja, sentana (kerabat
raja), abdi dalem, dan masyarakat. Di
samping itu wayang orang sebagai dramatari juga menunjukkan nilai-nilai
kemanusiaan tentang unggah-ungguh (tata krama), dan berbagai contoh watak baik-buruk.
Sedangkan
secara kontekstual tari Bedaya nilai pendidikan humanioranya dapat diamati,
misalnya dari perspektif fungsi ritual yang menandakan korelasi kosmis raja, istana, dan
pemerintahannya. Istana sebagai mikrokosmos berusaha memperoleh keselarasan dengan kehidupan makrokosmos. Di
sini tercermin nilai-nilai kemanusiaan untuk mencapai kesuburan, kesejahteraan,
dan kemakmuran kerajaannya, yakni raja dengan seluruh masyarakatnya.
Dengan berbagai contoh tadi kiranya dapat memberi
gambaran, bahwa seni tari mempunyai multifungsi yang tidak sekadar cakupan
estetika, namun di dalamnya terkandung nilai-nilai humaniora yang sarat akan
tuntunan agar masyarakat sadar akan kesejatian dirinya. Oleh karena itu, semua
pihak kiranya perlu meluruskan asumsi masyarakat yang terlanjur keliru tentang
eksistensi seni tari tersebut. Baik itu dari
kelompok masyarakat yang tergabung dalam istitusi formal maupun
informal, agar pendidikan seni tari dapat lebih
tersosialisasikan makna dan kegunaannya. Hal itu selaras dengan salah
satu pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO, bahwa pendidikan merupakan
sarana untuk belajar hidup bersama (learning
to live together).
Drs. Ch.
Dwi Anugrah,
M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar