Kamis, 22 Juni 2017

Carut Marut
Tunjangan Profesi Guru Swasta


Oleh Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.

Tulisan penulis   di  rubrik surat pembaca Kompas (20/2/2017) dan juga guru  SMA Swasta Semen Tonasa Sulawesi Selatan, Ali Mukhamad (Kompas, 20/4-2017) kiranya bisa mewakili dari ribuan guru swasta penerima  tunjangan profesi guru tahun 2016 yang  tidak sesuai dengan Surat Keputusan Penyetaraan (Inpassing). Padahal di tahun-tahun sebelumnya mereka menerima sesuai dengan SK Inpassing yang dimiliki.
Pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG), tahun 2016 untuk guru swasta terasa sangat lamban dan tidak konsisten dengan tahun-tahun sebelumnya. Dana TPG  yang disediakan pemerintah kisarannya Rp 5 triliun termasuk di dalamnya untuk guru swasta (Kompas, 24/2/2017). Namun ternyata yang sampai ke guru swasta tidak seperti yang diharapkan. Banyak kekurangan pembayaran yang seharusnya menjadi hak para guru. Di mana simpul-simpul kemacetan proses pencairan kekurangan pembayaran  TPG tersebut?

Kewenangan Pusat
Dinas pendidikan di masing-masing kota atau kabupaten tidak dapat memberikan jawaban. Alasan mereka untuk pencairan TPG menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dinas pendidikan hanya menginput data kemudian diteruskan ke ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Ketika mereka dimintai konfirmasi kadang muncul sinisme bahwa ini kasus nasional tidak hanya di satu daerah. Para guru dimohon sabar untuk menunggu. Jawaban tersebut bukannya memberikan pencerahan tapi malah membikin guru semakin tertekan  beban psikologisnya.
Pihak Kemdikbud pun mempunyai alasan, TPG yang diterima guru tidak sesuai dengan SK inpassing karena dari Biro Kepegawain Kemdikbud belum menyerahkan data SK inpassing para guru kepada Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. Salah satu syarat susulan pencarairan TPG para guru harus melegalisir SK inpassing ke Biro Kepegawaian Kemdikbud. Mekanisme Ini sangat dirasakan  aneh. Kesalahan manajerial internal Kemdikbud,  tapi yang kena imbasnya para guru. 
Pengalaman di lapangan menunjukkan, para guru yang sudah melegalisir SK Inpassing, namun Tunjangan yang diterima di triwulan berikutnya masih tetap sama. Padahal di dalam Info Guru dan Tenaga Kependidikan sebagai situs resmi Kemdikbud yang dibisa diakses oleh guru, nilai nominal sudah tertera dengan jelas penerimaan tiap bulannya. Malah banyak validasi data yang dirasakan merugikan. Di semester pertama masa kerja diakui 15 tahun, tetapi  untuk semester 2 hanya diakui 9 tahun. Ada juga yang golongan ruangnya dalam SK Inpassing harusnya IIIC tapi di Info GTK tertulis IIC. Hal ini ditengarai Kemdikbud melakukan keputusan sepihak tanpa koordinasi  dengan guru atau Dinas Pendidikan setempat.
Sebagaian guru sembari menggerutu menyebut Kemdikbud tidak professional. Seharusnya institusi tersebut bisa menjadi sumber keteladanan dalam aplikasi manajemennya.  Bukannya malah sebaliknya. Bayangkan, tiap bulan Januari dan Juli para guru dituntut mengumpulkan pemberkasan TPG dalam rentang waktu cukup singkat dengan ketentuan guru harus memenuhi 24 jam mengajar tiap minggu. Para guru yang belum memenuhi jumlah jam di sekolah induknya tentu harus jumpalitan mencari tugas tambahan mengajar   di sekolah lain. Namun, hampir satu tahun tunjangan yang diterima sesuai dengan SK inpassing tidak kunjung diberikan.

Kesenjangan Mendalam
Adapun yang dirasakan adanya kesenjangan yang mendalam adalah para guru negeri sudah menerima TPG secara penuh. Sedangkan guru swasta dinomorduakan dan belum tahu kepastiannya. Padahal di dalam Info GTK sudah dijelaskan batas akhir pembayaran pada tanggal 31 Desember 2016. Semuanya tentun paham,  bila guru swasta sangat mengharapkan sekali dari tunjangan profesi guru ini untuk bisa menyambung hidup dan mengembangkan profesinya. Karena kalau hanya menggantungkan  gaji sekolah atau yayasan tidak akan mungkin bisa bertahan hidup bila tidak harus nyambi ke sana-kemari.  Padahal tuntutan setelah lulus sertifikasi,  guru harus mampu menunjukkan kinerjaya secara professional dalam bentuk pengembangan keprofesian berkelanjutan  baik dalam aspek pengembangan diri, publikasi ilmiah, maupun karya inovasi. 
Dengan demikian ada beberapa hal yang perlu dikritisi dalam proses pencairan TPG guru swasta. Pertama Kemdikbud perlu lebih meningkatkan  mekanisme koordinasi dengan Dinas Pendidikan daerah yang sekarang ditangani oleh provinsi. Selama ini jalinan koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah lemah. Tak jarang guru-guru swasta yang minta informasi ke Dinas Pendidikan daerah tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Kadang hanya dijawab singkat  pembayaran guru swasta itu urusannya pusat. Kurang pembayaran itu kasus nasional.    Tak urung para guru menjadi patah semangat, tertekan secara psikologis, yang bisa jadi berimbas pada saat mengajar.
Kedua, Kemdikbud perlu konsisten bila membuat kebijakan. Sementara ini Info GTK   dan Data Pokok Pendidikan sebagai rujukan  terkait dengan profil dan jam mengajar guru. Namun sering terjadi, rujukan ini sering berubah-ubah dalam hitungan bulan. Sebagai contoh pengakuan masa kerja di semester satu 15 tahun, namun di semester dua bisa saja berubah  pengkuannya masa kerja di  bawahnya. Tentunya kebijakan tersebut sangat meresahkan. Terlebih lagi kebijakan tersebut dilakukan sepihak tanpa koordinasi dengan para guru.
Tak kalah pentingnya, Kemdikbud perlu  memberitahukan lewat jalur resmi seperti surat pemberitahuan kedinasan terkait dengan kebijakan yang kiranya sangat mendesak. Sebagaimana keterlambatan pembayaran TPG untuk guru-guru swasta, alangkah bijaksananya kalau diberitahukan jauh-jauh sebelumnya, sehingga para guru  tidak terkejut secara psikologisnya. Kebijakan ini tentunya jauh lebih professional ketimbang  tiba-tiba dilakukan kebijakan frontal yang meresahkan.
Untuk itu,  yang ditunggu oleh para guru swasta sekarang adalah pencairan tunjangan profesi sesuai dengan SK penyetaran yang dimiliki. Biar bagaimana pun guru swasta telah membantu pemerintah dalam memberikan pelayanan pendidikan. Mestinya pemerintah tidak membedakan pencairan tunjangan profesi antara guru swasta dan negeri.
Sekali lagi, di sini nurani pemerintah harus terketuk melihat nasib guru swasta. Dalam urusan pemberian tunjangan profesi kenapa  pemerintah tidak segetol komitmennya  dikomparasikan  dengan  upaya memaksakan penyelenggaran ujian nasional berbasis komputer yang tahun ini  menjadi perhelatan besar nasional.

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang

Alumnus Magister Pendidikan UST Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar