Carut Marut
Tunjangan
Profesi Guru Swasta
Oleh Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Tulisan penulis di rubrik surat pembaca Kompas (20/2/2017) dan
juga guru SMA Swasta Semen Tonasa
Sulawesi Selatan, Ali Mukhamad (Kompas, 20/4-2017) kiranya bisa mewakili dari
ribuan guru swasta penerima tunjangan
profesi guru tahun 2016 yang tidak
sesuai dengan Surat Keputusan Penyetaraan (Inpassing).
Padahal di tahun-tahun sebelumnya mereka menerima sesuai dengan SK Inpassing
yang dimiliki.
Pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG), tahun
2016 untuk guru swasta terasa sangat lamban dan tidak konsisten dengan
tahun-tahun sebelumnya. Dana TPG yang
disediakan pemerintah kisarannya Rp 5 triliun termasuk di dalamnya untuk guru
swasta (Kompas, 24/2/2017). Namun ternyata yang sampai ke guru swasta tidak
seperti yang diharapkan. Banyak kekurangan pembayaran yang seharusnya menjadi
hak para guru. Di mana simpul-simpul kemacetan proses pencairan kekurangan
pembayaran TPG tersebut?
Kewenangan Pusat
Dinas pendidikan di masing-masing kota atau
kabupaten tidak dapat memberikan jawaban. Alasan mereka untuk pencairan TPG
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dinas pendidikan hanya menginput data
kemudian diteruskan ke ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Ketika
mereka dimintai konfirmasi kadang muncul sinisme bahwa ini kasus nasional tidak
hanya di satu daerah. Para guru dimohon sabar untuk menunggu. Jawaban tersebut
bukannya memberikan pencerahan tapi malah membikin guru semakin tertekan beban psikologisnya.
Pihak Kemdikbud pun mempunyai alasan, TPG yang
diterima guru tidak sesuai dengan SK inpassing karena dari Biro Kepegawain
Kemdikbud belum menyerahkan data SK inpassing para guru kepada Direktorat
Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. Salah satu syarat susulan pencarairan
TPG para guru harus melegalisir SK inpassing ke Biro Kepegawaian Kemdikbud. Mekanisme
Ini sangat dirasakan aneh. Kesalahan
manajerial internal Kemdikbud, tapi yang
kena imbasnya para guru.
Pengalaman di lapangan menunjukkan, para guru
yang sudah melegalisir SK Inpassing, namun Tunjangan yang diterima di triwulan
berikutnya masih tetap sama. Padahal di dalam Info Guru dan Tenaga Kependidikan
sebagai situs resmi Kemdikbud yang dibisa diakses oleh guru, nilai nominal
sudah tertera dengan jelas penerimaan tiap bulannya. Malah banyak validasi data
yang dirasakan merugikan. Di semester pertama masa kerja diakui 15 tahun,
tetapi untuk semester 2 hanya diakui 9
tahun. Ada juga yang golongan ruangnya dalam SK Inpassing harusnya IIIC tapi di
Info GTK tertulis IIC. Hal ini ditengarai Kemdikbud melakukan keputusan sepihak
tanpa koordinasi dengan guru atau Dinas
Pendidikan setempat.
Sebagaian guru sembari menggerutu menyebut
Kemdikbud tidak professional. Seharusnya institusi tersebut bisa menjadi sumber
keteladanan dalam aplikasi manajemennya.
Bukannya malah sebaliknya. Bayangkan, tiap bulan Januari dan Juli para
guru dituntut mengumpulkan pemberkasan TPG dalam rentang waktu cukup singkat
dengan ketentuan guru harus memenuhi 24 jam mengajar tiap minggu. Para guru
yang belum memenuhi jumlah jam di sekolah induknya tentu harus jumpalitan
mencari tugas tambahan mengajar di sekolah lain. Namun, hampir satu tahun
tunjangan yang diterima sesuai dengan SK inpassing tidak kunjung diberikan.
Kesenjangan Mendalam
Adapun yang dirasakan adanya kesenjangan yang
mendalam adalah para guru negeri sudah menerima TPG secara penuh. Sedangkan
guru swasta dinomorduakan dan belum tahu kepastiannya. Padahal di dalam Info
GTK sudah dijelaskan batas akhir pembayaran pada tanggal 31 Desember 2016.
Semuanya tentun paham, bila guru swasta
sangat mengharapkan sekali dari tunjangan profesi guru ini untuk bisa
menyambung hidup dan mengembangkan profesinya. Karena kalau hanya
menggantungkan gaji sekolah atau yayasan
tidak akan mungkin bisa bertahan hidup bila tidak harus nyambi ke sana-kemari. Padahal tuntutan setelah lulus sertifikasi, guru harus mampu menunjukkan kinerjaya secara
professional dalam bentuk pengembangan keprofesian berkelanjutan baik dalam aspek pengembangan diri, publikasi
ilmiah, maupun karya inovasi.
Dengan demikian ada beberapa hal yang perlu
dikritisi dalam proses pencairan TPG guru swasta. Pertama Kemdikbud perlu lebih meningkatkan mekanisme koordinasi dengan Dinas Pendidikan daerah
yang sekarang ditangani oleh provinsi. Selama ini jalinan koordinasi antara
pemerintah pusat dengan daerah lemah. Tak jarang guru-guru swasta yang minta
informasi ke Dinas Pendidikan daerah tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
Kadang hanya dijawab singkat pembayaran guru
swasta itu urusannya pusat. Kurang pembayaran itu kasus nasional. Tak urung para guru menjadi patah semangat,
tertekan secara psikologis, yang bisa jadi berimbas pada saat mengajar.
Kedua, Kemdikbud perlu konsisten bila membuat
kebijakan. Sementara ini Info GTK dan
Data Pokok Pendidikan sebagai rujukan
terkait dengan profil dan jam mengajar guru. Namun sering terjadi,
rujukan ini sering berubah-ubah dalam hitungan bulan. Sebagai contoh pengakuan
masa kerja di semester satu 15 tahun, namun di semester dua bisa saja
berubah pengkuannya masa kerja di bawahnya. Tentunya kebijakan tersebut sangat
meresahkan. Terlebih lagi kebijakan tersebut dilakukan sepihak tanpa koordinasi
dengan para guru.
Tak kalah pentingnya, Kemdikbud perlu memberitahukan lewat jalur resmi seperti
surat pemberitahuan kedinasan terkait dengan kebijakan yang kiranya sangat
mendesak. Sebagaimana keterlambatan pembayaran TPG untuk guru-guru swasta,
alangkah bijaksananya kalau diberitahukan jauh-jauh sebelumnya, sehingga para
guru tidak terkejut secara psikologisnya.
Kebijakan ini tentunya jauh lebih professional ketimbang tiba-tiba dilakukan kebijakan frontal yang
meresahkan.
Untuk itu, yang ditunggu oleh para guru swasta sekarang
adalah pencairan tunjangan profesi sesuai dengan SK penyetaran yang dimiliki.
Biar bagaimana pun guru swasta telah membantu pemerintah dalam memberikan
pelayanan pendidikan. Mestinya pemerintah tidak membedakan pencairan tunjangan
profesi antara guru swasta dan negeri.
Sekali lagi, di sini nurani pemerintah harus
terketuk melihat nasib guru swasta. Dalam urusan pemberian tunjangan profesi
kenapa pemerintah tidak segetol komitmennya
dikomparasikan dengan
upaya memaksakan penyelenggaran ujian nasional berbasis komputer yang
tahun ini menjadi perhelatan besar
nasional.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang
Alumnus Magister Pendidikan UST Yogyakarta