Sikap  Kritis 
Guru
Oleh
Ch. Dwi Anugrah
Menarik sekali tulisan  Doni Koeseoma (Kompas, 6/5- 2017) bertajuk “Sindrom
Ular Karet”. Dieksplanasikan  persoalan 
utama dunia pendidikan  adalah
kualitas pembelajaran. Kebijakan pendidikan  mestinya 
menumbuhkan  semangat belajar
otentik.  Namun sampai saat ini kebijakan
pendidikan sudah  terjebak dalam sindrom
ular karet yang berkepanjangan.  Sindrom
ular karet  bisa menggambarkan dengan
lebih ekspresif  dan imajinatif tentang
manajemen pendidikan. 
Bila ditelisik lebih jauh,  sekarang ini kultur manipulasi selalu
mewarnai kinerja pendidikan di Indonesia. 
Mulai dari  ketidakjujuran dan
kebocoran soal UASBN. Kebocoran bisa bermula dari  oknum guru di KKG (Kelompok Kerja Guru)
atau  MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran)
yang bertanggung jawab membuat soal, di kepala sekolah, dan tempat-tempat
penggandaan soal UASBN. 
Kasus di atas merupakan kultur ketidakjujuran
yang telah menjadi semacam kanker yang menggerogoti  tubuh pendidikan di Indonesia. Meskipun UN
(Ujian Nasional)  atau UASBN (Ujian Akhir
Sekolah Berstandar Nasional)  tidak lagi
menjadi syarat  utama kelulusan,
kebocoran soal tetap terjadi layaknya agenda rutin yang setiap tahun mesti
terjadi. Berbagai praktik kecurangan masif dan sistematis selama pelaksanaan
ujian  tetap berlangsung.
Di samping itu, maraknya katrol nilai  peserta didik  harus memiliki nilai KKM (Kriteria Ketuntasan
Minimal)  meskipun peserta didik tersebut
tidak layak mendapatkan nilai KKM seakan sudah menjadi rutinitas budaya yang
dianggap ringan. Malahan pada  nilai
sikap kebanyakan para guru memberikan nilai B, agar peserta didik tersebut naik
kelas.
Bila hal itu dilanggengkan, semakin memperparah
kegagalan pendidikan kita.  Pendidikan
kita telah gagal melahirkan individu pembelajar 
otentik yakni mereka yang mau belajar dari kelemahan dan kekurangannya.
Di sini peran sentral guru untuk membantu peserta didik menjadi pembelajar  yang baik menjadi sangat signifikan. 
Namun faktanya masih banyak dari oknum guru
atau kepala sekolah yang melakukan perbuatan tercela dengan mengorbankan   profesinya. Seharusnya mereka menjadi
panutan dalam membumikan karakter kejujuran, tetapi realisnya malah bertolak
belakang. 
Fenomena tersebut kiranya perlu dicari
akseptasi atau pengakarannya. Dalam pusaran ketikdakjujuran yang marak terjadi,
alangkah bijaknya kalau semua pihak bisa mengupas dan mengkaji permasalahannya
dari berbagai sudut pandang yang lebih obyektif. Sementara ini tudingan kiranya
banyak dilontarkan ke pihak sekolah baik kepala sekolah maupun guru. 
Keterpaksaan Nilai KKM
Bila ditelisik lebih jauh, posisi guru memang
masih rentan dengan berbagai intervensi dalam menjalankan profesinya. Sebagai
contoh nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang rata-rata ditentukan oleh
sekolah dengan standar tinggi kadang para guru juga mengeluh. Guru sering
dituntut kepala sekolah menentukan standar nilai KKM tinggi agar reputasi
sekolah di mata publik baik. Di samping itu kepala sekolah  juga mendapat instruksi dari  lembaga di atasnya atau pemerintah daerah
untuk memberikan nilai KKM tinggi. Dengan standar nilai tinggi tentunya  daerah juga akan dapat  imbasnya, bahwa pembinaannya kepada
sekolah-sekolah di bawah jajarannya 
berlangsung dengan baik  dan
menunjukkan hasil signifikan. 
Para guru sendiri dengan penuh keterpaksaan
harus memberikan nilai KKM kepada peserta didik 
walaupun realisnya mereka belum 
mampu memenuhi standar nilai tersebut. Terlebih lagi nilai KKM sebagai
syarat agar peserta didik boleh mengikuti Ujian Nasional atau kenaikan kelas.
Hal yang sangat mengkhawatirkan peserta didik akan terdemotivasi dalam belajar.
Mereka akan malas belajar, karena sudah tertanam keyakinan bahwa nilai mereka
akan diberi dalam standar nilai KKM oleh guru. Dengan demikian semangat kompetitif
untuk mendapatkan prestasi tereduksi oleh 
sistem penilaian KKM yang ditentukan oleh sekolah.
Tak bisa dinafikan, berbagai kebijakan dan
bergulirnya wacana pendidikan kita belakangan ini justru telah menimbulkan peta
konflik horizontal di dalam komunitas pendidikan. Konflik pendidikan itu
terjadi dalam ikon pertentangan di antara sesama guru (mereka yang cemas
kehilangan pekerjaan karena tekanan sekolah); guru dengan orangtua  (mereka yang cemas anaknya gagal); guru
dengan peserta didik (mereka yang cemas akan masa depannya); dan guru dengan
kepala sekolah (mereka yang ingin sekolah yang dipimpinnya mengalahkan sekolah
lain). Pertentangan lebih jauh 
menyangkut guru dengan Kepala Dinas Pendidikan (mereka yang ingin
lembaga atau departemennya berprestasi); serta pertentangan guru dengan
pimpinan daerah (yang ingin daerahnya dipandang nomor satu), dan
seterusnya  (Susi Vitri,  28/7-2007).
Tak bisa dinafikan guru kini terjebak di
tengah-tengah pusaran konflik tersebut antara mementingkan nama baik sekolah
dan prestasi riil peserta didik; antara menjaga kondite daerah dan
profesionalisme kerja; antara keinginan membantu peserta didik dan berbuat
curang, Semua itu dilakukan hanya semata-mata ditujukan demi menjaga  citra dan peringkat (rangking); yang saat ini
sudah menjadi  semacam berhala dalam
pendidikan di negeri ini. 
Pemberhalaan citra dan peringkat inilah yang memupuk dan
melestarikan kultural kompetitif dalam dunia pendidikan kita. Bukannya
mendorong kebersamaan dan kepedulian. Wacana pendidikan kita saat ini  justru 
dengan amat bangga dan bersemangat laksana api yang berkobar  mengelu-elukan budaya persaingan. Dimana-mana
orang bicara atas nama “persaingan global, persaingan global, era
globalisasi…..”
Kata-kata tersebut sekarang ini seperti mantra saja. Melesat tanpa
kendali bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Kita tidak  lagi menyadari bahwa budaya semacam ini lahir
karena kebijakan pendidikan yang hanya mementingkan logika pasar. Di sini guru
dikorbankan demi kepentingan yang tidak berpihak ke nurani guru sebagai pendidik.
Para guru mau bersuara tidak mempunyai kekuatan. Posisi mereka
merasa terancam ketika  bersikap kritis.
Ada yang mendapat stigma tidak loyal, oposan, pembangkang, dan berbagai terminologi
yang menyudutkan guru. Seharusnya sikap 
kritis konstruktif dapat menjadikan lembaga tempat guru bernaung akan
lebih berkembang.  
Sikap Kritis
Dengan demikian sudah saatnya sekarang ini para guru untuk berani bersiap
kritis dalam menyuarakan nuraninya. Bila keberanian untuk mengutarakan
pendapatnya itu tidak dikeluarkan, niscaya publik akan mengetahui permasalahan
yang sebenarnya. Keberanian mengutarakan kritik kondusif dengan berbagai
alternatif solusinya kepada para pengambil kebijakan  merupakan langkah yang sangat terpuji. Untuk
itu, gerakan moral para guru dalam 
menyuarakan nuraninya itu perlu mendapat dukungan dari semua pihak,
karena sikap mereka merupakan refleksi dari prinsip-prinsip demokrasi
pendidikan yang harus dikedepankan.  
Termasuk pemaksaan kehendak harus memberikan nilai KKM bagi peserta
didik yang seharusnya tidak memenuhi syarat harus berani untuk disuarakan. Pemaksaan
kehendak dari kelompok tertentu kepada guru untuk melakukan tindakan yang tidak
terpuji harus segera diakhiri
Guru tidak usah khawatir bila ada intimidasi dalam menjalankan
profesinya. Terlebih lagi para guru sekarang lebih bebas untuk mengutarakan
pendapatnya seiring dengan nafas reformasi yang terus bergulir dengan ditandai
munculnya perlindungan hukum bagi guru. Perlindungan hukum ini sejalan dengan
amanat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya
pasal  39. Perlindungan hukum ini  salah satunya harus wajib  diberikan oleh pemerintah.
            Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen
secara eksplisit disebutkan bahwa para guru berhak mendapatkan perlindungan hukum
terhadap tindak kekerasan, intimidasi, perlakuan diskriminatif, atau perlakuan
tidak adil  dari pihak peserta didik,
orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain (ayat 3).  Di samping itu dalam ayat 4 juga ditegaskan
bahwa para guru berhak mendapatkan perlindungan profesi terhadap  pemutusan hubungan kerja yang tidak  sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan,
pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lainnya yang dapat
menghambat  guru dalam melaksanakan
tugasnya.
Di samping itu telah terbit payung hukum yang lebih detail melalui
Permendikbud No. 10 tahun 2017 tentang Perlindungan  bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan  yang mencakup perlindungan hukum, profesi,
keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak 
atas kekayaan intelektual. 
Sudak bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa guru berada dalam
posisi yang lemah bila dikomparasikan dengan sekolah atau istitusi tempatnya
bekerja. Sekolah mempunyai otoritas mengeluarkan guru, sedangkan guru sebagai
pegawai biasa tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Guru sangat tergantung kepada
sekolah sebagai majikannya. Maka, secara 
moral bila pemeringah ingin secara total membenahi bidang pendidikan,
perlindungan guru perlu mendapatkan prioritas dibandingkan yang lain.  
            Untuk  itu sikap kritis para guru itu diharapkan
tidak memunculkan sikap negative thinking . Kita percaya sikap mereka
itu masih dalam batas normatif dan mereka masih konsisten memegang sikap
profesionalismenya sebagai guru. Oleh karena pemerintah perlu menanggapinya
dengan penuh kearifan, empatik, terbuka, dan peka untuk selanjutnya mengambil
langkah kongkrit dalam upaya mencarikan solusi terbaik. Sikap responsif dan
empatik perlu lebih diprioritaskan ketimbang sikap defensif, arogan, dan
birokratis. Sikap defensif dengan tudingan yang bermacam-macam tidak akan
menyelesaikan masalah melainkan  akan
menambah permasalahan baru yang menyulitkan semua pihak. 
            Tinggal sekarang ditungu   bentuk kongkret wujud kekritisan guru. Karena
kadang mereka sikap kritisnya hanya di belakang. Mereka ketika di forum diam,
tetapi ketika di belakang pada gerundelan.
Karena  perlu  disadari, sikap kritis era sekarang ini
memang diperlukan.  Tentunya harus
dibarengi  dengan konsep solutif. Bila
tidak sependapatt dengan suatu kebijakan, tentunya diperlukan sikap kritis yang
dibarengi dengan ide-ide pencerahan termasuk  alternatif 
jalan keluarnya. Sikap kritis bisa disuarakan lewat berbagai media baik
media cetak maupun elektronik. 
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping
Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Alumnus Magister Pendidikan UST Yogyakarta 

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar