Sabtu, 10 Juni 2017

Sikap  Kritis  Guru



Oleh
Ch. Dwi Anugrah

Menarik sekali tulisan  Doni Koeseoma (Kompas, 6/5- 2017) bertajuk “Sindrom Ular Karet”. Dieksplanasikan  persoalan  utama dunia pendidikan  adalah kualitas pembelajaran. Kebijakan pendidikan  mestinya  menumbuhkan  semangat belajar otentik.  Namun sampai saat ini kebijakan pendidikan sudah  terjebak dalam sindrom ular karet yang berkepanjangan.  Sindrom ular karet  bisa menggambarkan dengan lebih ekspresif  dan imajinatif tentang manajemen pendidikan.
Bila ditelisik lebih jauh,  sekarang ini kultur manipulasi selalu mewarnai kinerja pendidikan di Indonesia.  Mulai dari  ketidakjujuran dan kebocoran soal UASBN. Kebocoran bisa bermula dari  oknum guru di KKG (Kelompok Kerja Guru) atau  MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang bertanggung jawab membuat soal, di kepala sekolah, dan tempat-tempat penggandaan soal UASBN.
Kasus di atas merupakan kultur ketidakjujuran yang telah menjadi semacam kanker yang menggerogoti  tubuh pendidikan di Indonesia. Meskipun UN (Ujian Nasional)  atau UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional)  tidak lagi menjadi syarat  utama kelulusan, kebocoran soal tetap terjadi layaknya agenda rutin yang setiap tahun mesti terjadi. Berbagai praktik kecurangan masif dan sistematis selama pelaksanaan ujian  tetap berlangsung.
Di samping itu, maraknya katrol nilai  peserta didik  harus memiliki nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)  meskipun peserta didik tersebut tidak layak mendapatkan nilai KKM seakan sudah menjadi rutinitas budaya yang dianggap ringan. Malahan pada  nilai sikap kebanyakan para guru memberikan nilai B, agar peserta didik tersebut naik kelas.
Bila hal itu dilanggengkan, semakin memperparah kegagalan pendidikan kita.  Pendidikan kita telah gagal melahirkan individu pembelajar  otentik yakni mereka yang mau belajar dari kelemahan dan kekurangannya. Di sini peran sentral guru untuk membantu peserta didik menjadi pembelajar  yang baik menjadi sangat signifikan.
Namun faktanya masih banyak dari oknum guru atau kepala sekolah yang melakukan perbuatan tercela dengan mengorbankan   profesinya. Seharusnya mereka menjadi panutan dalam membumikan karakter kejujuran, tetapi realisnya malah bertolak belakang.
Fenomena tersebut kiranya perlu dicari akseptasi atau pengakarannya. Dalam pusaran ketikdakjujuran yang marak terjadi, alangkah bijaknya kalau semua pihak bisa mengupas dan mengkaji permasalahannya dari berbagai sudut pandang yang lebih obyektif. Sementara ini tudingan kiranya banyak dilontarkan ke pihak sekolah baik kepala sekolah maupun guru.

Keterpaksaan Nilai KKM
Bila ditelisik lebih jauh, posisi guru memang masih rentan dengan berbagai intervensi dalam menjalankan profesinya. Sebagai contoh nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang rata-rata ditentukan oleh sekolah dengan standar tinggi kadang para guru juga mengeluh. Guru sering dituntut kepala sekolah menentukan standar nilai KKM tinggi agar reputasi sekolah di mata publik baik. Di samping itu kepala sekolah  juga mendapat instruksi dari  lembaga di atasnya atau pemerintah daerah untuk memberikan nilai KKM tinggi. Dengan standar nilai tinggi tentunya  daerah juga akan dapat  imbasnya, bahwa pembinaannya kepada sekolah-sekolah di bawah jajarannya  berlangsung dengan baik  dan menunjukkan hasil signifikan.
Para guru sendiri dengan penuh keterpaksaan harus memberikan nilai KKM kepada peserta didik  walaupun realisnya mereka belum  mampu memenuhi standar nilai tersebut. Terlebih lagi nilai KKM sebagai syarat agar peserta didik boleh mengikuti Ujian Nasional atau kenaikan kelas. Hal yang sangat mengkhawatirkan peserta didik akan terdemotivasi dalam belajar. Mereka akan malas belajar, karena sudah tertanam keyakinan bahwa nilai mereka akan diberi dalam standar nilai KKM oleh guru. Dengan demikian semangat kompetitif untuk mendapatkan prestasi tereduksi oleh  sistem penilaian KKM yang ditentukan oleh sekolah.
Tak bisa dinafikan, berbagai kebijakan dan bergulirnya wacana pendidikan kita belakangan ini justru telah menimbulkan peta konflik horizontal di dalam komunitas pendidikan. Konflik pendidikan itu terjadi dalam ikon pertentangan di antara sesama guru (mereka yang cemas kehilangan pekerjaan karena tekanan sekolah); guru dengan orangtua  (mereka yang cemas anaknya gagal); guru dengan peserta didik (mereka yang cemas akan masa depannya); dan guru dengan kepala sekolah (mereka yang ingin sekolah yang dipimpinnya mengalahkan sekolah lain). Pertentangan lebih jauh  menyangkut guru dengan Kepala Dinas Pendidikan (mereka yang ingin lembaga atau departemennya berprestasi); serta pertentangan guru dengan pimpinan daerah (yang ingin daerahnya dipandang nomor satu), dan seterusnya  (Susi Vitri,  28/7-2007).
Tak bisa dinafikan guru kini terjebak di tengah-tengah pusaran konflik tersebut antara mementingkan nama baik sekolah dan prestasi riil peserta didik; antara menjaga kondite daerah dan profesionalisme kerja; antara keinginan membantu peserta didik dan berbuat curang, Semua itu dilakukan hanya semata-mata ditujukan demi menjaga  citra dan peringkat (rangking); yang saat ini sudah menjadi  semacam berhala dalam pendidikan di negeri ini.
Pemberhalaan citra dan peringkat inilah yang memupuk dan melestarikan kultural kompetitif dalam dunia pendidikan kita. Bukannya mendorong kebersamaan dan kepedulian. Wacana pendidikan kita saat ini  justru  dengan amat bangga dan bersemangat laksana api yang berkobar  mengelu-elukan budaya persaingan. Dimana-mana orang bicara atas nama “persaingan global, persaingan global, era globalisasi…..”
Kata-kata tersebut sekarang ini seperti mantra saja. Melesat tanpa kendali bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Kita tidak  lagi menyadari bahwa budaya semacam ini lahir karena kebijakan pendidikan yang hanya mementingkan logika pasar. Di sini guru dikorbankan demi kepentingan yang tidak berpihak ke nurani guru sebagai pendidik.
Para guru mau bersuara tidak mempunyai kekuatan. Posisi mereka merasa terancam ketika  bersikap kritis. Ada yang mendapat stigma tidak loyal, oposan, pembangkang, dan berbagai terminologi yang menyudutkan guru. Seharusnya sikap  kritis konstruktif dapat menjadikan lembaga tempat guru bernaung akan lebih berkembang.  

Sikap Kritis
Dengan demikian sudah saatnya sekarang ini para guru untuk berani bersiap kritis dalam menyuarakan nuraninya. Bila keberanian untuk mengutarakan pendapatnya itu tidak dikeluarkan, niscaya publik akan mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Keberanian mengutarakan kritik kondusif dengan berbagai alternatif solusinya kepada para pengambil kebijakan  merupakan langkah yang sangat terpuji. Untuk itu, gerakan moral para guru dalam  menyuarakan nuraninya itu perlu mendapat dukungan dari semua pihak, karena sikap mereka merupakan refleksi dari prinsip-prinsip demokrasi pendidikan yang harus dikedepankan. 
Termasuk pemaksaan kehendak harus memberikan nilai KKM bagi peserta didik yang seharusnya tidak memenuhi syarat harus berani untuk disuarakan. Pemaksaan kehendak dari kelompok tertentu kepada guru untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji harus segera diakhiri
Guru tidak usah khawatir bila ada intimidasi dalam menjalankan profesinya. Terlebih lagi para guru sekarang lebih bebas untuk mengutarakan pendapatnya seiring dengan nafas reformasi yang terus bergulir dengan ditandai munculnya perlindungan hukum bagi guru. Perlindungan hukum ini sejalan dengan amanat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya pasal  39. Perlindungan hukum ini  salah satunya harus wajib  diberikan oleh pemerintah.
            Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen secara eksplisit disebutkan bahwa para guru berhak mendapatkan perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, intimidasi, perlakuan diskriminatif, atau perlakuan tidak adil  dari pihak peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain (ayat 3).  Di samping itu dalam ayat 4 juga ditegaskan bahwa para guru berhak mendapatkan perlindungan profesi terhadap  pemutusan hubungan kerja yang tidak  sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lainnya yang dapat menghambat  guru dalam melaksanakan tugasnya.
Di samping itu telah terbit payung hukum yang lebih detail melalui Permendikbud No. 10 tahun 2017 tentang Perlindungan  bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan  yang mencakup perlindungan hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak  atas kekayaan intelektual.
Sudak bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa guru berada dalam posisi yang lemah bila dikomparasikan dengan sekolah atau istitusi tempatnya bekerja. Sekolah mempunyai otoritas mengeluarkan guru, sedangkan guru sebagai pegawai biasa tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Guru sangat tergantung kepada sekolah sebagai majikannya. Maka, secara  moral bila pemeringah ingin secara total membenahi bidang pendidikan, perlindungan guru perlu mendapatkan prioritas dibandingkan yang lain. 
            Untuk  itu sikap kritis para guru itu diharapkan tidak memunculkan sikap negative thinking . Kita percaya sikap mereka itu masih dalam batas normatif dan mereka masih konsisten memegang sikap profesionalismenya sebagai guru. Oleh karena pemerintah perlu menanggapinya dengan penuh kearifan, empatik, terbuka, dan peka untuk selanjutnya mengambil langkah kongkrit dalam upaya mencarikan solusi terbaik. Sikap responsif dan empatik perlu lebih diprioritaskan ketimbang sikap defensif, arogan, dan birokratis. Sikap defensif dengan tudingan yang bermacam-macam tidak akan menyelesaikan masalah melainkan  akan menambah permasalahan baru yang menyulitkan semua pihak.
            Tinggal sekarang ditungu   bentuk kongkret wujud kekritisan guru. Karena kadang mereka sikap kritisnya hanya di belakang. Mereka ketika di forum diam, tetapi ketika di belakang pada gerundelan. Karena  perlu  disadari, sikap kritis era sekarang ini memang diperlukan.  Tentunya harus dibarengi  dengan konsep solutif. Bila tidak sependapatt dengan suatu kebijakan, tentunya diperlukan sikap kritis yang dibarengi dengan ide-ide pencerahan termasuk  alternatif  jalan keluarnya. Sikap kritis bisa disuarakan lewat berbagai media baik media cetak maupun elektronik.



Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang

Alumnus Magister Pendidikan UST Yogyakarta 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar