Sabtu, 10 Juni 2017

Animasi Film Tradisi



Oleh
Ch. Dwi Anugrah

Beberapa tahun terakhir dunia animasi atau gambar yang digerakkan secara mekanik elektronis Indonesia menunjukkan geliatnya. Beberapa studio animasi mulai bermunculan mulai dari genre yang  menimba ide di belantara tradisi, seperti Mahabharata, Ramayana. Legenda Timun Emas, Bawang Merah-Bawang Putih, Sangkuriang sampai  era kekinian seperti  Janus Prajurit Terakhir, Homeland, Keloloden, dan sebagainya.
Pendidikan formal animasi di fakultas desain pun mulai diadakan setelah sebelumnya para animator belajar secara otodidak atau bersekolah ke luar negeri. Kendala teknis perlahan mulai  terlampaui. Film iklan, maraknya produksi video klip  sebagai mara rantai  produksi  album musik, pembuatan wallpaper untuk komputer dan teknologi ponsel memberi sinyal bahwa  dunia animasi kita  sedang tumbuh seperti halnya  kmik dalam seni populer Indonesia.
Di samping itu riak animasi di tanah air juga didukung  oleh lahirnya berbagai  assosiasi  yang menjadi arena penting pertumbuhan animasi. Di antara asosiasi film animasi Indonesia adalah ANIMA yang menampung gagasan animasi  berorientasi pada seni eksperimentasi, AINAKI yang konsen pada pendidikan dan ANIMATOR FORUM  yang fokusnya pada perkembangan animasi tiga dimensi. Diseminasi, distribusi, serta apresiasi film-film animasi lokal banyak terbantu oleh keberadaan dan peran asosiasi ini.
Untuk mengangkat cerita masa lampau  yang bersumber dari legenda dan cerita rakyat  untuk dihadirkan di masa kini tentu meniscayakan  perubahan signifikan di segala sisi. Perubahan ini  merupakan  konsekuensi  dari upaya aktualisasi cerita di masa sekarang.
Film  Mahabharata misalnya, tokoh-tokoh baru yang sebelumnya tidak ada dalam komik RA Kosasih yang legendaris itu, dalam animasi mulai dibuat  tokoh-tokoh fiksi  yang dihadirkan agar  suasana cerita menjadi semakin menarik bagi penonton sekarang, seperti munculnya tokoh “Codot Ijo” yang merupakan telik sandinya (mata-mata) Sengkuni. Codot Ijo divisualisasikan  sebagai lelaki  yang memakai ikat kepala, berkumis memanjang lancip dan berbaju rompi.
Di samping Codot Ijo, juga terdapat karakter tambahan seperti Raksasa Kribo yang digambarkan  sebagai seorang banci  yang memakai rambut palsu  dengan tubuh tambun. Dalam animasi ini juga dijumpai tokoh Botho Bajang yang merupakan potret raksasa jelmaan aji Candrabirawa milik Raden Narasoma, pangeran dari Kerajaan Mandaraka  saat bertanding dengan Pandu Dewanata, raja Hastinapura  dalam memperebutkan Dewi Kuntitalibrata dalam sayembara di Negeri Mandura. Botho Bajang digambarkan seperti monster-monster modern yang besar dengan  badan gempal dan kepala  botak. Raksasa ini terkesan seperti penganut aliran  Punk dalam  kehidupan sekarang.
Lain lagi dalam cerita Roro Jonggrang. Ketika Bandung Bandawasa membangun candi dengan dibantu oleh para sekawanan jin. Para jin itu  digambarkan  seperti sekelompok  orang modern yang tengah membangun sebuah gedung besar bertingkat  di mana lalu lalang truk  untuk mengolah semen  dan orang-orang yang memakai helm menjadi latarnya.
Sebagaimana legenda mengenai Prambanan dan Candi Seribu, Roro Jonggrang mulai khawatir jika Bandung berhasil  memenangkan sayembara. Maka ia menyuruh  patihnya untuk memerintahkan rakyatnya agar menumbuk lesung supaya ayam berkokok sebagai  tanda pagi menjelang dan Bandung Bandawasa gagal  memenuhi janjinya.
Ilustrasi-ilustrasi dalam animasi tersebut pada dasarnya merupakan  gambaran bahwa  mengangkat  cerita-cerita bernuansa tradisi bukanlah tanpa cakrawala inovasi. Kiat representasi merupakan  kerja deformasi. Dengan kata lain, menghadirkan yang lama  adalah juga menciptakan yang baru agar sajian menjadi menarik dan komunikatif serta tidak meninggalkan nilai edukasi.

Teknik Bercerita
            Sebagai sebuah film yang diadopsi dari cerita oral di tengah komunitas, para animator tidak bisa tidak, harus  menggunakan teknik  bercerita yang berbeda. Bagaimanapun, transformasi  cerita lisan ke gambar, selanjutnya  ke animasi bukanlah  proses yang sederhana.  Oleh karena itu, para animator berusaha seoptimal mungkin  untuk menggunakan  beragam teknik  dalam menyampaikan pesan yang dibawa untuk disampaikan kepada penonton (Najib Kailani, 2006).
            Cerita Malin Kundang misalnya, dibuka dengan tiga baris  kata yang diiringi  irama seruling Melayu yang mendayu-dayu : ”Kebanyakan sekarang ini orang lupa bahwa Indonesia tidak hanya kaya akan  kekayaan alamnya. Salah satu kekayaan terpendamnya adalah nilai-nilai  moral dan kultural yang disampaikan dari mulut ke mulut oleh nenek moyang kita. Cerita ini berkisah tentang seorang anak  durhaka yang dikutuk menjadi batu....” Cerita yang sudah melenda ini disadur dari cerita rakyat Sumatera Barat. Ditulis dan diceritakan kembali oleh penulisnya.
            Demikian juga, cerita Prambanan (Roro Jonggrang)  diawali  dengan beberapa  kalimat: “Begitu banyak legenda di negeri kita ini yang memiliki nilai sejarah dan unsur pendidikan  yang baik dan disampaikan dalam berbagai macam versinya. Salah satunya adalah versi dalam cerita ini. Film ini  hanyalah  khayalan seorang anak  yang gemar membaca. Ia bermimpi ikut terlibat dan menyaksikan terjadinya Candi Prambanan yang terkenal itu.....”
            Namun tidak semua film disampaikan dengan narasi  teks sebagaimana tergelar di atas.  Film Bawang Merah dan  Bawang Putih, misalnya diawali dengan narator yang berucap: “Tersebutlah sebuah kisah, di sebuah desa yang damai dan tentram, terdapat dua perempuan yang berbeda sikap dan perilaku ....” Teknik-teknik bercerita tersebut  merupakan gambaran  dari siasat para animator untuk menjembatani  jurang antara bahasa lisan dengan tradisi visual.
            Teknik bercerita tersebut di atas terkesan  sangat verbal di tengah kondisi yang dilingkupi  oleh dunia visual baik iklan  maupun film—film animasi produk  Jepang dan Amerika sekarang. Jika kit menyaksikan  film-film animasi produk  luar, bahasa visual  menjadi satu-satunya teknik penceritaan  yang ditampilkan, sehingga keliaran  imajinasi penonton diberi ruang yang luas. Di titik ini terasa ada yang tersendat dalam transformasi komik  ke animasi. Beberapa teknik yang ada menampilkan  bahasa verbal, sehingga hampir disebut sebagai bahasa komik yang  dipindah  wadah ke animasi, belum sampai ke bahasa visual itu sendiri.
            Tak bisa dinafikan, sampai saat ini  film animasi di Indonesia  telah dipercaya sebagai medium  edukasi yang efektif bagi  anak-anak. Dunia anak diandaikan  sebagai gurun imajinasi yang membutuhkan  katalisator yang sensitif dengan  dunia mereka.  Film animasi yang kaya bahasa visual  dan mampu mencipta  dunia utopia di luar dari dunia  nyata  telah ditahbiskan sebagai medium edukasi  tersebut. Karena asumsi inilah, film  animasi di Indonesia  selalu dibuat  untuk segmen  anak-anak, sehingga manafikan animasi  yang dibuat untuk kalangan remaja dan orang dewasa.
            Asumsi dominan tersebut pada gilirannya  mendorong para produser  untuk mengangkat kisah-kisah dan legenda –legenda yang sarat muatan pendidikan untuk difilmkan. Film Malin Kundang, Bawang Merah dan Bawang PutihPetualangan si Kancil  hingga Mahabharata paling tidak menjadi contoh dari cara pandang ini. Sekilas nuansa edukasi terasa kental di film-film ini. Keragaman etnik dan kecerdasan seperti yang hadir  hadir di film Petualangan si Kancil, penghormatan orang tua di dalam film Malin Kundang  dan perilaku  terpuji di Bawang Merah dan  Bawang Putih merupakan sebagian contoh dari gambaran ini.

Serbuan Animasi Impor
            Yang masih menjadi persoalan sekarang ini adalah film animasi Indonesia sampai saat ini masih tertatih-tatih mengimbangi serbuan  animasi dari film-film impor. Sebut saja film animasi produk Jepang dan Amerika. Bahasa visual dalam film impor ini menjadi satu-satunya  teknik penceritaan yang ditampilkan, sehingga keliaran ranah imajinasi penonton diberi ruang yang luas. Di samping itu film-film ini mengusung semangat having fun dan tidak menggurui.  Beberapa film animasi  Indonesia terkesan serius dan sangat menggurui sehingga kebanyakan anak-anak sekarang  kurang begitu tertarik.
            Di samping itu  masalah distribusi untuk film animasi tradisi masih sangat terbatas, belum menjangkau publik  dalam tataran yang lebih luas. Terlebih lagi  hanya beberapa stasiun televisi yang membuka ruang animasi tradisi ini. Kebanyakan stasiun televisi lebih menyukai  film-film animasi produk luar. Hal ini jelas terkait dengan aspek  profit dan segmen  industrial yang menjadi misi utama mereka, terutama untuk menggaet rating pemirsa.
            Terlepas dari paradosk  tersebut, masih ada  terselip harapan di masa datang. Maraknya studio yang bergiat membuat film animasi Indonesia, di samping lahirnya  banyak asosiasi  yang konsen dengan animasi, maka jagat animasi Indonesia tentu akan berkembang  dengan ragam yang luas. Pada saatnya  nanti film  animasi tidak lagi semata dibuat  sebagai tontonan  anak-anak, melainkan  juga untuk remaja dan dewasa, sehingga  film animasi pada gilirannya  akan dipandang  sebagai genre film cerita lainnya  yang diapresiasi luas dan mendapat tempat di hati pemirsanya.
            Untuk itu sekarang ini komitmen dan kepedulian semua pihak ditantang untuk bisa lebih memberikan ruang hidup pada film-film animasi  tradisi yang syarat akan nilai humaniora ini untuk bisa  merambah ke semua kalangan agar seni tradisi tetap survival di tengah gempuran globalisasi. Kalau tidak    kita yang peduli lantas siapa lagi ?  Sebuah ekspetasi yang tentunya tidak berlebihan. Kontribusi semua kalangan sangatlah dibutuhkan agar komunitas negeri ini dapat menjadikan nilai seni tradisi sebagai pijakan dalam meniti ruang kehidupan yang normatif melalui berbagai media termasuk film animasi ini.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya

SMK Wiyasa Magelang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar