Animasi
Film Tradisi
Oleh
Ch. Dwi
Anugrah
Beberapa tahun terakhir dunia animasi atau gambar
yang digerakkan secara mekanik elektronis Indonesia menunjukkan geliatnya.
Beberapa studio animasi mulai bermunculan mulai dari genre yang menimba ide di belantara tradisi, seperti
Mahabharata, Ramayana. Legenda Timun Emas, Bawang Merah-Bawang Putih,
Sangkuriang sampai era kekinian seperti Janus Prajurit Terakhir, Homeland, Keloloden,
dan sebagainya.
Pendidikan formal animasi di fakultas desain pun
mulai diadakan setelah sebelumnya para animator belajar secara otodidak atau
bersekolah ke luar negeri. Kendala teknis perlahan mulai terlampaui. Film iklan, maraknya produksi
video klip sebagai mara rantai produksi
album musik, pembuatan wallpaper
untuk komputer dan teknologi ponsel memberi sinyal bahwa dunia animasi kita sedang tumbuh seperti halnya kmik dalam seni populer Indonesia.
Di samping itu riak animasi di tanah air juga
didukung oleh lahirnya berbagai assosiasi
yang menjadi arena penting pertumbuhan animasi. Di antara asosiasi film
animasi Indonesia adalah ANIMA yang menampung gagasan animasi berorientasi pada seni eksperimentasi, AINAKI
yang konsen pada pendidikan dan ANIMATOR FORUM
yang fokusnya pada perkembangan animasi tiga dimensi. Diseminasi,
distribusi, serta apresiasi film-film animasi lokal banyak terbantu oleh
keberadaan dan peran asosiasi ini.
Untuk mengangkat cerita masa lampau yang bersumber dari legenda dan cerita
rakyat untuk dihadirkan di masa kini
tentu meniscayakan perubahan signifikan
di segala sisi. Perubahan ini
merupakan konsekuensi dari upaya aktualisasi cerita di masa
sekarang.
Film Mahabharata
misalnya, tokoh-tokoh baru yang sebelumnya tidak ada dalam komik RA Kosasih
yang legendaris itu, dalam animasi mulai dibuat
tokoh-tokoh fiksi yang dihadirkan
agar suasana cerita menjadi semakin
menarik bagi penonton sekarang, seperti munculnya tokoh “Codot Ijo” yang
merupakan telik sandinya (mata-mata) Sengkuni. Codot Ijo divisualisasikan
sebagai lelaki yang memakai ikat
kepala, berkumis memanjang lancip dan berbaju rompi.
Di samping Codot
Ijo, juga terdapat karakter tambahan seperti Raksasa Kribo yang digambarkan
sebagai seorang banci yang
memakai rambut palsu dengan tubuh
tambun. Dalam animasi ini juga dijumpai tokoh Botho Bajang yang merupakan potret raksasa jelmaan aji Candrabirawa milik Raden Narasoma,
pangeran dari Kerajaan Mandaraka saat
bertanding dengan Pandu Dewanata, raja Hastinapura dalam memperebutkan Dewi Kuntitalibrata dalam
sayembara di Negeri Mandura. Botho Bajang
digambarkan seperti monster-monster modern yang besar dengan badan gempal dan kepala botak. Raksasa ini terkesan seperti penganut
aliran Punk dalam kehidupan
sekarang.
Lain lagi dalam cerita Roro Jonggrang. Ketika
Bandung Bandawasa membangun candi dengan dibantu oleh para sekawanan jin. Para
jin itu digambarkan seperti sekelompok orang modern yang tengah membangun sebuah
gedung besar bertingkat di mana lalu
lalang truk untuk mengolah semen dan orang-orang yang memakai helm menjadi
latarnya.
Sebagaimana legenda mengenai Prambanan dan Candi
Seribu, Roro Jonggrang mulai khawatir jika Bandung berhasil memenangkan sayembara. Maka ia menyuruh patihnya untuk memerintahkan rakyatnya agar
menumbuk lesung supaya ayam berkokok sebagai
tanda pagi menjelang dan Bandung Bandawasa gagal memenuhi janjinya.
Ilustrasi-ilustrasi dalam animasi tersebut pada
dasarnya merupakan gambaran bahwa mengangkat
cerita-cerita bernuansa tradisi bukanlah tanpa cakrawala inovasi. Kiat
representasi merupakan kerja deformasi.
Dengan kata lain, menghadirkan yang lama
adalah juga menciptakan yang baru agar sajian menjadi menarik dan
komunikatif serta tidak meninggalkan nilai edukasi.
Teknik Bercerita
Sebagai
sebuah film yang diadopsi dari cerita oral di tengah komunitas, para animator
tidak bisa tidak, harus menggunakan
teknik bercerita yang berbeda.
Bagaimanapun, transformasi cerita lisan
ke gambar, selanjutnya ke animasi
bukanlah proses yang sederhana. Oleh karena itu, para animator berusaha
seoptimal mungkin untuk menggunakan beragam teknik dalam menyampaikan pesan yang dibawa untuk
disampaikan kepada penonton (Najib Kailani, 2006).
Cerita Malin Kundang
misalnya, dibuka dengan tiga baris kata
yang diiringi irama seruling Melayu yang
mendayu-dayu : ”Kebanyakan sekarang ini
orang lupa bahwa Indonesia tidak hanya kaya akan kekayaan alamnya. Salah satu kekayaan
terpendamnya adalah nilai-nilai moral
dan kultural yang disampaikan dari mulut ke mulut oleh nenek moyang kita.
Cerita ini berkisah tentang seorang anak durhaka yang dikutuk menjadi batu....”
Cerita yang sudah melenda ini disadur dari cerita rakyat Sumatera Barat. Ditulis
dan diceritakan kembali oleh penulisnya.
Demikian juga, cerita
Prambanan (Roro Jonggrang) diawali dengan beberapa kalimat: “Begitu
banyak legenda di negeri kita ini yang memiliki nilai sejarah dan unsur
pendidikan yang baik dan disampaikan
dalam berbagai macam versinya. Salah satunya adalah versi dalam cerita ini.
Film ini hanyalah khayalan seorang anak yang gemar membaca. Ia bermimpi ikut terlibat
dan menyaksikan terjadinya Candi Prambanan yang terkenal itu.....”
Namun tidak semua film
disampaikan dengan narasi teks
sebagaimana tergelar di atas. Film
Bawang Merah dan Bawang Putih, misalnya diawali
dengan narator yang berucap: “Tersebutlah
sebuah kisah, di sebuah desa yang damai dan tentram, terdapat dua perempuan
yang berbeda sikap dan perilaku ....” Teknik-teknik bercerita tersebut merupakan gambaran dari siasat para animator untuk
menjembatani jurang antara bahasa lisan
dengan tradisi visual.
Teknik bercerita tersebut
di atas terkesan sangat verbal di tengah
kondisi yang dilingkupi oleh dunia
visual baik iklan maupun film—film animasi
produk Jepang dan Amerika sekarang. Jika
kit menyaksikan film-film animasi produk luar, bahasa visual menjadi satu-satunya teknik penceritaan yang ditampilkan, sehingga keliaran imajinasi penonton diberi ruang yang luas. Di
titik ini terasa ada yang tersendat dalam transformasi komik ke animasi. Beberapa teknik yang ada menampilkan bahasa verbal, sehingga hampir disebut
sebagai bahasa komik yang dipindah wadah ke animasi, belum sampai ke bahasa
visual itu sendiri.
Tak bisa dinafikan, sampai
saat ini film animasi di Indonesia telah dipercaya sebagai medium edukasi yang efektif bagi anak-anak. Dunia anak diandaikan sebagai gurun imajinasi yang membutuhkan katalisator yang sensitif dengan dunia mereka.
Film animasi yang kaya bahasa visual
dan mampu mencipta dunia utopia
di luar dari dunia nyata telah ditahbiskan sebagai medium edukasi tersebut. Karena asumsi inilah, film animasi di Indonesia selalu dibuat
untuk segmen anak-anak, sehingga
manafikan animasi yang dibuat untuk
kalangan remaja dan orang dewasa.
Asumsi dominan tersebut
pada gilirannya mendorong para
produser untuk mengangkat kisah-kisah
dan legenda –legenda yang sarat muatan pendidikan untuk difilmkan. Film Malin Kundang, Bawang Merah dan Bawang Putih,
Petualangan si Kancil hingga Mahabharata
paling tidak menjadi contoh dari cara pandang ini. Sekilas nuansa edukasi
terasa kental di film-film ini. Keragaman etnik dan kecerdasan seperti yang
hadir hadir di film Petualangan si
Kancil, penghormatan orang tua di dalam film Malin Kundang dan perilaku
terpuji di Bawang Merah dan
Bawang Putih merupakan sebagian contoh dari gambaran ini.
Serbuan Animasi Impor
Yang masih menjadi
persoalan sekarang ini adalah film animasi Indonesia sampai saat ini masih
tertatih-tatih mengimbangi serbuan animasi dari film-film impor. Sebut saja film
animasi produk Jepang dan Amerika. Bahasa visual dalam film impor ini menjadi
satu-satunya teknik penceritaan yang
ditampilkan, sehingga keliaran ranah imajinasi penonton diberi ruang yang luas.
Di samping itu film-film ini mengusung semangat having fun dan tidak menggurui.
Beberapa film animasi Indonesia
terkesan serius dan sangat menggurui sehingga kebanyakan anak-anak
sekarang kurang begitu tertarik.
Di samping itu masalah distribusi untuk film animasi tradisi
masih sangat terbatas, belum menjangkau publik
dalam tataran yang lebih luas. Terlebih lagi hanya beberapa stasiun televisi yang membuka
ruang animasi tradisi ini. Kebanyakan stasiun televisi lebih menyukai film-film animasi produk luar. Hal ini jelas
terkait dengan aspek profit dan segmen industrial yang menjadi misi utama mereka,
terutama untuk menggaet rating pemirsa.
Terlepas dari
paradosk tersebut, masih ada terselip harapan di masa datang. Maraknya
studio yang bergiat membuat film animasi Indonesia, di samping lahirnya banyak asosiasi yang konsen dengan animasi, maka jagat
animasi Indonesia tentu akan berkembang
dengan ragam yang luas. Pada saatnya
nanti film animasi tidak lagi
semata dibuat sebagai tontonan anak-anak, melainkan juga untuk remaja dan dewasa, sehingga film animasi pada gilirannya akan dipandang sebagai genre film cerita lainnya yang diapresiasi luas dan mendapat tempat di
hati pemirsanya.
Untuk itu sekarang ini
komitmen dan kepedulian semua pihak ditantang untuk bisa lebih memberikan ruang
hidup pada film-film animasi tradisi
yang syarat akan nilai humaniora ini untuk bisa
merambah ke semua kalangan agar seni tradisi tetap survival di tengah gempuran globalisasi. Kalau tidak kita yang peduli lantas siapa lagi ? Sebuah ekspetasi yang tentunya tidak
berlebihan. Kontribusi semua kalangan sangatlah dibutuhkan agar komunitas
negeri ini dapat menjadikan nilai seni tradisi sebagai pijakan dalam meniti
ruang kehidupan yang normatif melalui berbagai media termasuk film animasi ini.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar