Senin, 19 Juni 2017

Identitas Batik Sebagai Pakaian Dinas


Oleh Ch. Dwi Anugrah

Pada bulan Agustus tahun 2010 ini diinstuksikan secara struktural  dari Provinsi sampai daerah, semua pegawai termasuk guru di masing-masing satuan pendidikan (sekolah) baik negeri maupun swasta wajib mengenakan pakaian dinas batik pada hari-hari tertentu.
Sampai saat ini, batik masih dianggap  sebagai identitas budaya yang dapat mengakomodasi  semua kalangan. Identitas budaya  yang dihadirkan di ruang-ruang birokrasi  dengan pakain batik pada dasarnya  merupakan gerakan kembali  pada basis kultural. Pakaian batik menjadi pakaian  yang bisa diekspresikan  ke ruang publik wilayah birokrasi pemerintah, bukan lagi hanya  dipakai pada acara pernikahan atau ritus hajatan yang bersifat kedaerahan.
Namun  sampai saat ini, wawasan  latar belakang historis pakaian batik yang sering dikenakan  oleh sebagian komunitas kita masih sangat rendah. Mereka hanya bisa mengenakan, namun tidak paham aspek-aspek yang melatarbelakangi penciptaan pakaian batik tersebut yang hingga kini menjadi identitas nasional.

Masa Gemilang
            Batik  sejak zaman Majapahit merupakan karya adiluhung yang berangkat dari falsafah tradisi yang sering dipakai sebagai pakaian kebesaran para bangsawan  ataupun para ksatria sebagai simbol status sosial. Dalam proses perkembangan selanjutnya baik corak maupun teknik pembuatannya menyebar di seluruh penjuru Nusantara.
            Berdasarkan etimologinya, batik berasalal dari  istilah Jawa amba (menulis) dan titik (juga berarti titik dalam bahasa Indonesia). Gabungan kedua suku kata terakhir itulah  yang membentuk  kata “batik” dan kemudian diartikan sebagai menghamba titik.Memang titik merupakan desain dominan pada batik. 
Beberapa kota di Jawa berdasarkan catatan historis pernah dijadikan sebagai pusat batik, misalnya di daerah lingkup benteng keraton atau yang disebut voonstenlanden. Wilyah ini terdapat di Solo dan Yogyakarta. Dahulu selain di lingkup keraton, batik tidak ditemui. Dengan kata lain, ia memang dibuat hanya untuk  konsumsi keluarga priyayi saja, terutata dalam acara adat, seperti perkawinan.
            Batik dalam acara  tersebut memiliki corak dan jenis yang disusuaikan  dengan pangkat, gelar, dan lainnya. Bahkan pada masa kolonial Belanda pengaturan pemakaian batik itu diatur dengan besluiten (surat keputusan). Kain batik menjadi salah satu satu bagian dari pakaian resmi dan perlengkapan upacara kebesaran priyayi.
            Selain itu juga dikisahkan sejarah pembatikan di Indonesia terkait dengan  perkembangan kerajaan Majapahti, penyebaran agama Islam, serta perang Diponegoro. Sejak abad XII, pada masa kerajaan Majapahit, masyarakat Jawa telah mengenal batik. Seni batik berasal dari India, masuk ke tanah air bersamaan dengan  masuknya kebudayaan  Hindu yang berhasil menurunkan silsilah Kerajaan Hindu di Nusantara.
            Salah satu situs  Majapahit yang masih berkembang hingga saat ini adalah Mojokerto. Daerah pembatikan di Mojokerto terdapat di Desa Kwali, Mojosari, Betero, Sidomulyo, sampai Jombang  dan Tulungagung. Bahan yang dipakai  waktu itu  kain putih hasil tenunan sendiri dan obat-obat batik dari sega jambal, mengkudu, nila tom, dan sebagainya. Ciri spesifik batik Kalangbret dari Mojokerto ini hampir sama dengan  batik Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua.
Di sisi lain, penyebaran agama Islam juga turut menyokong  perluasan penyebaran batik. Peristiwa itu dapat dilihat  dari banyaknya  banyaknya pusat pembatikan di Jawa yang merupakan daerah santri. Malahan, batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang muslim untuk melawan hegemoni perekonomian Belanda. Seperti para santri yang tergabung dalam SDI (Serikat Dagang Islam) di Surakarta pada tahun 1909 pimpinan H.Samanhudi dan RM Tirtoadisuryo banyak melahirkan karya inovatif batik yang dipromosikan oleh para santri di organisasinya dari pusat  sampai tingkat cabang (Majalah Gong, No.106/X/2009).
            Selain lewat perjuangan  Islam, perang Diponegoro juga turut berperan dalam penyebaran batik ini. Banyak pengikut Diponegoro menyebar dalam pelarian karena kalah perang melawan Belanda. Sebutlah misalnya, Kyai Mojo  yang mundur ke arah timur, yaitu di Desa Majan.  Yang sekarang  menjadi sentra batik. Pembuatan batik di desa berstatus perdikan ini merupakan naluri peninggalan batik  zaman Diponegoro.
            Peristiwa yang hampir sama juga terjadi di Banyumas. Perkembangan batik di wilayah ini berpusat di Sokaraja yang dibawa oleh pengikut Pangeran Diponegoro setelah perang tahun 1830. Pengikutnya  yang terkenal ialah  Najendra, yang mengembangkan  batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakainya merupakan  hasil tenunan sendiri. Sementara pewarnanya berasal dari pohon tom dan buah mengkudu yang memberi warna merah kekuningan. Motif dan warna ini yang menjadi kekhasan batik Banyumas.
            Pengikut Diponegoro itu, selain menetap di daerah Banyumas sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Beberapa  dari mereka ada  ahli dalam  pembatikan sebagai pekerjaan rumah tangga bagi kaum wanita yang kemudian berkembang papa  penduduk di sekitar, hingga memunculkan batik Ciamis.
            Dalam proses perkembangan berikutnya, diaspora batik tak terbendung lagi dan menyebar ke seluruh penjuru Nusantara. Bahkan Bung Karno, Presiden pertama RI pernah mencanangkan batik sebagai  busana nasional  karena  batik mengandung nilai sejarah yang cukup tinggi.

            Identitas Budaya
            Pakaian batik yang ditawarkan lewat isntruksi secara struktural di lingkup pemerintahan tersebut,setidaknya  memberikan hegemoni estetika dan perhatian terhadap  produksi lokal. Dengan instuksi tersebut, diharapkan produksi batik akan meningkat karena akan dipakai sebagai pakaian dinas.
            Harapan lebih jauh, kebijakan tersebut jangan sampai  mematikan para perajin batik untuk terus berkreasi selaras dengan ekspresi kreativitasnya. Jangan-jangan, mereka nanti akan terkooptasi, karena pesanan dengan motif tertentu selaras dengan keinginan penguasa.
            Dengan baju batik yang dikenakan, sebenarnya secara tidak langsung sudah dapat menjadikan diri kita membangun identitas budaya  yang merupakan cerminan kehidupan sehari-hari.
            Namun yang paling mendasar, para pegawai yang berpakaian dinas batik perlu membekali diri dengan etos kerja yang mencerminkan jiwa kebudayaan, baik dalam pelayanan, etika, maupun peningkatan produktivitas kinerjanya. Dengan memakai baju batik, sebenarnya tidak hanya sekadar memakai baju untuk keindahan visual saja,  namun lebih dari itu harus bisa membawa baju yang dipakainya sebagai tanggung jawab sosio-kultural  dalam tindakan  praksis yang berjiwa kebudayaan.

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang




Tidak ada komentar:

Posting Komentar