Identitas
Batik Sebagai Pakaian Dinas
Oleh Ch. Dwi Anugrah
Pada bulan Agustus tahun 2010 ini diinstuksikan
secara struktural  dari Provinsi sampai
daerah, semua pegawai termasuk guru di masing-masing satuan pendidikan (sekolah)
baik negeri maupun swasta wajib mengenakan pakaian dinas batik pada hari-hari
tertentu. 
Sampai saat ini, batik masih dianggap  sebagai identitas budaya yang dapat
mengakomodasi  semua kalangan. Identitas
budaya  yang dihadirkan di ruang-ruang
birokrasi  dengan pakain batik pada dasarnya  merupakan gerakan kembali  pada basis kultural. Pakaian batik menjadi
pakaian  yang bisa diekspresikan  ke ruang publik wilayah birokrasi pemerintah,
bukan lagi hanya  dipakai pada acara
pernikahan atau ritus hajatan yang bersifat kedaerahan.
Namun 
sampai saat ini, wawasan  latar
belakang historis pakaian batik yang sering dikenakan  oleh sebagian komunitas kita masih sangat
rendah. Mereka hanya bisa mengenakan, namun tidak paham aspek-aspek yang
melatarbelakangi penciptaan pakaian batik tersebut yang hingga kini menjadi
identitas nasional.
Masa Gemilang
            Batik  sejak zaman Majapahit merupakan karya
adiluhung yang berangkat dari falsafah tradisi yang sering dipakai sebagai
pakaian kebesaran para bangsawan  ataupun
para ksatria sebagai simbol status sosial. Dalam proses perkembangan
selanjutnya baik corak maupun teknik pembuatannya menyebar di seluruh penjuru
Nusantara. 
            Berdasarkan etimologinya,
batik berasalal dari  istilah Jawa amba (menulis) dan titik (juga berarti titik dalam bahasa Indonesia). Gabungan kedua
suku kata terakhir itulah  yang
membentuk  kata “batik” dan kemudian diartikan
sebagai menghamba titik.Memang titik merupakan desain dominan pada batik.  
Beberapa kota di Jawa berdasarkan catatan historis
pernah dijadikan sebagai pusat batik, misalnya di daerah lingkup benteng
keraton atau yang disebut voonstenlanden.
Wilyah ini terdapat di Solo dan Yogyakarta. Dahulu selain di lingkup keraton,
batik tidak ditemui. Dengan kata lain, ia memang dibuat hanya untuk  konsumsi keluarga priyayi saja, terutata
dalam acara adat, seperti perkawinan. 
            Batik dalam acara  tersebut memiliki corak dan jenis yang
disusuaikan  dengan pangkat, gelar, dan
lainnya. Bahkan pada masa kolonial Belanda pengaturan pemakaian batik itu
diatur dengan besluiten (surat
keputusan). Kain batik menjadi salah satu satu bagian dari pakaian resmi dan
perlengkapan upacara kebesaran priyayi.
            Selain itu juga dikisahkan
sejarah pembatikan di Indonesia terkait dengan 
perkembangan kerajaan Majapahti, penyebaran agama Islam, serta perang
Diponegoro. Sejak abad XII, pada masa kerajaan Majapahit, masyarakat Jawa telah
mengenal batik. Seni batik berasal dari India, masuk ke tanah air bersamaan
dengan  masuknya kebudayaan  Hindu yang berhasil menurunkan silsilah
Kerajaan Hindu di Nusantara.
            Salah satu situs  Majapahit yang masih berkembang hingga saat
ini adalah Mojokerto. Daerah pembatikan di Mojokerto terdapat di Desa Kwali,
Mojosari, Betero, Sidomulyo, sampai Jombang 
dan Tulungagung. Bahan yang dipakai 
waktu itu  kain putih hasil
tenunan sendiri dan obat-obat batik dari sega jambal, mengkudu, nila tom, dan
sebagainya. Ciri spesifik batik Kalangbret dari Mojokerto ini hampir sama
dengan  batik Yogyakarta, yaitu dasarnya
putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. 
Di sisi lain, penyebaran agama Islam juga turut
menyokong  perluasan penyebaran batik.
Peristiwa itu dapat dilihat  dari
banyaknya  banyaknya pusat pembatikan di
Jawa yang merupakan daerah santri. Malahan, batik menjadi alat perjuangan
ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang muslim untuk melawan hegemoni perekonomian
Belanda. Seperti para santri yang tergabung dalam SDI (Serikat Dagang Islam) di
Surakarta pada tahun 1909 pimpinan H.Samanhudi dan RM Tirtoadisuryo banyak
melahirkan karya inovatif batik yang dipromosikan oleh para santri di organisasinya
dari pusat  sampai tingkat cabang
(Majalah Gong, No.106/X/2009).
            Selain lewat
perjuangan  Islam, perang Diponegoro juga
turut berperan dalam penyebaran batik ini. Banyak pengikut Diponegoro menyebar
dalam pelarian karena kalah perang melawan Belanda. Sebutlah misalnya, Kyai
Mojo  yang mundur ke arah timur, yaitu di
Desa Majan.  Yang sekarang  menjadi sentra batik. Pembuatan batik di desa
berstatus perdikan ini merupakan naluri peninggalan batik  zaman Diponegoro.
            Peristiwa yang hampir sama
juga terjadi di Banyumas. Perkembangan batik di wilayah ini berpusat di
Sokaraja yang dibawa oleh pengikut Pangeran Diponegoro setelah perang tahun
1830. Pengikutnya  yang terkenal
ialah  Najendra, yang mengembangkan  batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang
dipakainya merupakan  hasil tenunan
sendiri. Sementara pewarnanya berasal dari pohon tom dan buah mengkudu yang
memberi warna merah kekuningan. Motif dan warna ini yang menjadi kekhasan batik
Banyumas.
            Pengikut Diponegoro itu,
selain menetap di daerah Banyumas sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke
selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Beberapa  dari mereka ada  ahli dalam  pembatikan sebagai pekerjaan rumah tangga bagi
kaum wanita yang kemudian berkembang papa 
penduduk di sekitar, hingga memunculkan batik Ciamis. 
            Dalam proses perkembangan
berikutnya, diaspora batik tak terbendung lagi dan menyebar ke seluruh penjuru
Nusantara. Bahkan Bung Karno, Presiden pertama RI pernah mencanangkan batik
sebagai  busana nasional  karena 
batik mengandung nilai sejarah yang cukup tinggi. 
            Identitas
Budaya 
            Pakaian batik yang
ditawarkan lewat isntruksi secara struktural di lingkup pemerintahan
tersebut,setidaknya  memberikan hegemoni
estetika dan perhatian terhadap  produksi
lokal. Dengan instuksi tersebut, diharapkan produksi batik akan meningkat
karena akan dipakai sebagai pakaian dinas. 
            Harapan lebih jauh,
kebijakan tersebut jangan sampai  mematikan para perajin batik untuk terus
berkreasi selaras dengan ekspresi kreativitasnya. Jangan-jangan, mereka nanti
akan terkooptasi, karena pesanan dengan motif tertentu selaras dengan keinginan
penguasa.
            Dengan baju batik yang
dikenakan, sebenarnya secara tidak langsung sudah dapat menjadikan diri kita
membangun identitas budaya  yang
merupakan cerminan kehidupan sehari-hari. 
            Namun yang paling
mendasar, para pegawai yang berpakaian dinas batik perlu membekali diri dengan
etos kerja yang mencerminkan jiwa kebudayaan, baik dalam pelayanan, etika,
maupun peningkatan produktivitas kinerjanya. Dengan memakai baju batik,
sebenarnya tidak hanya sekadar memakai baju untuk keindahan visual saja,  namun lebih dari itu harus bisa membawa baju
yang dipakainya sebagai tanggung jawab sosio-kultural  dalam tindakan  praksis yang berjiwa kebudayaan.
Drs. Ch.
Dwi Anugrah,
M.Pd.
Pendamping Seni Budaya 
SMK Wiyasa Magelang

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar