Kebijakan Guru 8 Jam di Sekolah
Oleh Ch.
Dwi Anugrah
Seperti yang dilansir oleh banyak media, Mendikbud Muhadjir Effendi melakukan gebrakan
kebijakan yakni guru pns atau non pns bersertifikasi hanya diwajibkan mengajar
8 jam per minggu. Aturan tersebut mengeliminasi kebijakan sebelumnya yang
mewajibkan guru mengajar dengan kumulatif 24 jam per mingu.
Selama ini kewajiban mengajar minimal 24 jam per minggu dijadikan
syarat untuk mendapatkan tunjangan profesi guru. Jika tidak memiliki 24 jam
mengajar tatap muka dalam kelas, guru tidak memperoleh tunjangan. Syarat ini
juga berlaku bagi guru honorer penerima insentif dan tunjangan fungsional baik
pns maupun non pns.
Nantinya guru cukup mengajar di satu sekolah saja. Harapan dari kebijakan tersebut para guru terus memacu diri dan memahami pentingnya profesi yang sedang dijalani. Konsekuensinya guru harus tetap berada di sekolah selama 8 jam mulai hari Senin sampai dengan Jumat. Pemberlakuan berada di sekolah selama 8 jam perhari itu diperlakukan pada semua guru yang mendapatkan tunjangan profesi, baik sekolah negeri maupun swasta.
Nantinya guru cukup mengajar di satu sekolah saja. Harapan dari kebijakan tersebut para guru terus memacu diri dan memahami pentingnya profesi yang sedang dijalani. Konsekuensinya guru harus tetap berada di sekolah selama 8 jam mulai hari Senin sampai dengan Jumat. Pemberlakuan berada di sekolah selama 8 jam perhari itu diperlakukan pada semua guru yang mendapatkan tunjangan profesi, baik sekolah negeri maupun swasta.
Dengan berada di sekolah selama 8 jam sehari, maka guru tidak perlu
lagi keluar sekolah lain untuk mengajar
guna mendapatkan tunjangan sertifikasi. Jika
tidak ada mata pelajaran, guru harus tetap berada disekolah untuk mengadakan tatap muka di luar kelas dengan peserta didik atau
melakukan pendampingan
personal. Kebijakan ini dilakukan untuk lebih memperkuat program pendidikan
karakter yang
selama ini menjadi parameter dalam segala lini kehidupan (http://news.okezone.com/read/2016/12/06/65/1560281/mendikbud-buat-aturan-guru-sertifikasi-wajib-di-sekolah-8-jam).
Konsentrasi Terpecah
Kebijakan tersebut kiranya perlu menjadi bahan pertimbangan semua
pihak, karena memang fakta yang ada di lapangan
tugas guru terpecah menjadi beberapa konsentrasi yang harus dilakukan,
terutama yang beban mengajarnya kurang dari 24 jam tatap muka di kelas. Mereka
harus pontang panting mencari tambahan di luar satuan adiministrasi pangkal
atau sekolah induknya. Beruntung yang satu kota, ada juga yang mengajar di luar
kota dengan jarak tempuh puluhan kilometer. Secara faktual para guru tersebut
juga sudah mengalami kelelahan fisik di perjalanan. Mana mungkin bisa mengajar
dan mendidik peserta didik secara
optimal. Apalagi ada sekolah yang tidak mau kompromi satu hari para guru harus
mengajar di dua sekolah sekaligus, bahkan ada yang sampai 3 sekolahan. Kondisi
tersebut jelas tidak akan bisa efektif dan bila dilanjutkan nasib peserta didik
yang menjadi korban, karena gurunya sudah kehabisan energi di perjalanan.
Menyikapi gagasan Mendikbud tersebut, perlunya ada langkah-langkah
kebijakan strategis yang perlu dilakukan oleh pemerintah. Pertama, sosialisasi program kebijakan sampai tingkat akar rumput,
agar semua dapat menerima kebijakan dalam satu persepsi atau satu kesepahaman.
Kalau langkah kebijakan ini tidak dilakukan ada kekhawatiran, pemahaman
kebijakan hanya sampai pada kalangan tertentu saja, sehingga para guru yang
menerima kebijakan tidak dapat menerima secara total. Dampaknya jelas,
masing-masing guru akan menyimpulkan kebijakan menurut persepsinya masing-masing. Dengan demikian
guru nanti akan menjadi korban. Karena sudah bukan rahasia lagi, sementara ini
kebijakan yang diterima dari pusat tidak dipahami oleh pejabat-pejabat di
tingkat daerah, sehingga informasi yang disampaikan tentunya salah, sehingga
guru yang menjadi korban. Tak jarang ketika para pejabat Dinas Pendidikan
tersebut dikonfirmasi akan informasi yang disampaikan salah persepsi, mereka
tidak dengan legawa minta maaf, tapi
malahan tidak berkenan.
Kedua, Peraturan Menteri perihal kebijakan baru dengan diktum guru
mengajar 8 jam tatap muka atau 40 jam di sekolah perlu segera diterbitkan dan
diterima oleh masing-masing guru dalam waktu yang tidak terlalu lama. Paling
tidak bulan Mei 2017 kebijakan dengan segala perangkat regulasinya sudah diterima oleh para guru.
Dengan demikian para guru yang kekurangan jam, sudah persiapan untuk kembali ke
sekolah induk. Di samping itu, juga dapat meringankan beban waka kurikulum
masing-masing sekolah, karena tiap bulan Mei sampai Juni waka kurikulum mempunyai agenda rutin untuk menyusun jadwal tahun pelajaran baru
diharmonkan dengan komposisi personil masing-masing guru yang tersedia. Apabila kebijakan tersebut waktunya mepet
dengan agenda penyusunan pembagian tugas mengajar, tentunya penyusunan jadwal
pembelajaran dan pembagian tugas mengajar guru akan carut marut dalam tataran
implementasinya.
Ketiga, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi kinerja guru secara
komprehensif. Monitoring dan evaluasi ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana
tingkat capaian guru atas kinerjanya, baik yang jam mengajarnya banyak atau
tidak. Untuk yang jumlah jamnya banyak aspek penilaian bisa dilihat dari resultansi
kinerjanya yang dapat terukur. Sedangkan mereka yang jumlah jamnya minimal aspek
penilaian dapat dilakukan resultansi kinerja di sekolah tersebut yang ditambah dengan
pembelajaran pendidikan karakter. Apabila temuan dari monitoring dan evaluasi
menunjukkan indikator kinerja guru rendah, sanksi tegas perlu segera
diaplikasikan. Seperti yang dirasakan saat ini, tunjangan sertifikasi dirasakan
tidak adil. Guru yang kinerjanya bagus atau tidak tunjangannya tetap sama. Guru
berprestasi atau tidak juga tunjangan yang diterima sama, malahan yang kadang
bikin guru-guru berprestasi mengelus dada, rekan kerjanya yang biasa-biasa saja
malah tunjangan yang diterima lebih besar. Harusnya para guru yang berprestasi
ini mendapat reward atas capaian yang
sudah diraih.
Keempat, mengoptimalkan
kinerja pengawas sekolah. Peran pengawas sekolah ini sangat strategis dalam
melakukan pendampingan kepada kepala sekolah dan guru guna meningkatkan
kualitas pendidikan di masing-masing satuan pendidikan. Namun, sampai saat ini
masih dirasakan peran mereka belum optimal. Kadang ketika melakukan supervisi
di sekolah tak lebih hanya transit di ruang kepala sekolah, tidak banyak
melakukan pendampingan langsung kepada
kepala sekolah dan guru dalam tataran praksis, seperti menyupervisi guru saat
proses pembelajaran atau melakukan pendampingan administrasi guru secara langsung
sehingga persepsi guru sama dalam menerjemahkan pokok-pokok aturan administrasi
guru. Padahal kalau ditelisik lebih jauh secara garis
besar ada dua kompetensi yang harus dimliki, yakni kompetensi menilai dan kompetensi
membina. Wawasan pengawas sekolah dalam bidang penilaian sangatlah dibutuhkan.
Mulai dari memahami konsep penilaian, jenis penilaian, indikator penilaian,
instrumen penilaian, mengolah hasil penlaian, sampai kepada memanfaatkan hasil penilaian untuk pembinaan,
merupakan hal wajib yang harus dikuasai pengawas sekolah. Selain itu,
melaksanakan penilaian dengan kiat yang tepat juga merupakan bagian dari
komeptensi yang tidak boleh dilupakan. Sehubungan dengan ini, ada empat
kelompok tugas pengawas sekolah yaitu: (1) merencanakan penilaian yang
dilengkapi dengan instrumennya; (2) melaksanakan penilaian sesuai dengan
kaidah-kaidah penilaian; (3) mengolah
hasil penilaian dengan teknik-teknik pengolahan yang ilmiah; dan (4)
memanfaatkan hasil penilaian untuk berbagai keperluan.Kompetensi dalam membina
juga demikian halnya. Pengawas sekolah haruslah memahami konsep pembinaan,
jenis-jenis pembinaan, strategi pembinaan, komunikasi dalam membina, hubungan
antarpersonal dalam membina, dan sebagainya. Sekaitan dengan pembinaan,
pengawas sekolah juga harus piawai merencanakan pembinaan, melaksanakan
pembinaan, menilai hasil pembinaan, dan menindaklanjuti hasil pembinaan. Dengan
kompetensi-kompetensi itu tentu keberadaan pengawas di satuan pendidikan
benar-benar diharapkan dan dirindukan.Berdasarkan hal itu tugas pokok pengawas
sekolah dapat dirumuskan selaras dengan ayat 1, pasal 2, Kepmenpan Nomor
118/1996 sebagai beirkut, ”Pengawas Sekolah mempunyai tugas pokok menilai dan
membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu baik negeri
maupun swasta yang menjadi tanggungjawabnya.
Dengan demikian seharusnya
para pengawas tersebut dengan penuh kesadaran perlu membumikan kembali tugas pokok utama yang diembannya yaitu memotivasi para kepala sekolah dan guru agar
memiliki antusiasme dan hati yang
berkobar-kobar dalam menemani perjalanan
hidup para peserta didik di satuan pendidikannya.
Menguji Mentalitas
Wajib berada di sekolah 8 jam pada dasarnya menguji mentalitas guru
harus mampu menyelesaikan semua kewajibannya. Semua pekerjaan harus diselesaikan di sekolah. Peserta didik
maupun guru tinggal mengoptimalkan perannya di lingkungan sehingga tudingan dari berbagai pihak yang
menyangsikan kinerja guru dapat terbantahkan.
Guru sekarang janganlah terjebak pada aspek rutinitas kerja yang
mengerjakan hal-hal yang sama dari tahun ke tahun. Pada umumnya mereka tidak
lagi berbeda dengan manual worker yang cara kerjanya
sangat mekanistik, tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Sementara
peserta didik sebagai customer
memiliki pengalaman baru, pengetahuan yang beragam, dan terampil
mengoperasionalkan teknologi baru (St. Kartono, 2016).
Sungguh sangat ironis, tidak sedikit sesama guru yang berhenti di
golongan kepegawain tertentu lebih dari
delapan tahun, padahal cukup dengan menyelesaikan satu makalah penelitian tindakan kelas atau
karya tulis ilmiah populer di media massa. Tentunya realitas tersebut sangat
paradoksal dengan nasihat yang sering diucapkan di depan peserta didik bahwa
mereka harus antusias dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan hidup.
Terlebih lagi guru di zaman kini telah memberandol harga dirinya
dengan simbol materi. Menjadi ironis
ketika halaman parkir banyak sekolah kian riuh dengan mobil para guru. Obrolan guru tak
beranjak dari persoalan gadget atau diskon di brosur berbagai
foto atau banyak bermain Whatshap (WA)
ketimbang membangun ruang dialog untuk
lebih progressnya kualitas pembelajaran yang diampu. Sementara itu
sekolah sebagai lembaga akademis sepi
dengan karya guru-gurunya. Harga diri dianggap sepadan dengan kebijakan makan di berbagai gerai
bersama koleganya. Jika situasi
guru tersebut terjadi di sekolah swasta, implikasi peserta didiknya yang datang hanya berkemampuan mediocre.
Implikasi mediocre bisa diterjemahkan tidak jelek-jelek amat,
tetapi juga tidak pernah unggul-ungul.
Kalaupun itu terjadi pada
guru di sekolah negeri, mereka tidak pernah terusik oleh fluktuasi naik turunnya jumlah peserta
didik yang masuk. Akan tetapi, situasi
ironis tersebut kian mengukuhkan kekhawatiran, bahwa guru memang tidak lebih dari pegawai
administratif dengan rutinitasnya. Di
zaman kini, sebagaian besar jumlah guru tidak lagi berada dalam tekanan untuk
memenuhi kebutuhan dasar atau
mencukupkan kondisi finansial yang dimiliki, maka pergeseran kebutuhan guru tentunya mengarah pada aktualisasi diri.
Mengaktualisasikan diri dengan karya pengembangan diri akan
menjadikannya diperhitungkan di kancah
intelektual. Guru yang demen diskusi, gemar bacaan mutakhir, dengan sendirinya
akan mengangkat harga dirinya. Dengan
demikian, negara pantas memberikan
penghargaan finansial secara
lebih lewat berbagai tunjangan, tanpa
disertai cibiran sinis sesama pegawai bukan
guru.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait dengan 8 jam di sekolah kiranya perlu diapresiasi.
Kiranya kebijakan tersebut tentunya juga dilandasi untuk mengoptimalkan proses
pendidikan agar resultansinya menjadi
lebih baik. Dengan kewajiban guru berada di sekolah selama 40 jam perminggu atau 8 jam perhari
diharapkan tidak ada lagi guru yang
harus berpindah-pindah dari sekolah satu
ke sekolah lain hanya untuk memenuhi
kewajiban mengajar 24 jam
perminggu sebagaimana yang berlaku selama ini.
Dengan kebijakan
tersebut diharapkan pendidikan
karakter bagi para peserta didik juga
berjalan efektif karena guru tidak akan
dibebani dengan tugas-tugas
administratif yang rumit tetapi lebih
fokus. Hal itu tentunya selaras program
revolusi mental yang diharapkan
dapat terwujud melalui pendidikan
karakter yang lebih intensif dilakukan para guru di sekolah.
Namun perlu disadari, peraturan baru akan menjadi sia-sia ketika
orientasi guru masih berkutat pada pemenuhan hak materi, tanpa
dilandasi semangat etos kerja. Untuk itu
guru dalam melaksanakan kebijakan perlu dilandasi dengan semangat kejujuran,
kedisiplinan, tertib administrasi dan akuntabilitas dalam implementasinya sesuai dengan norma dan regulasi yang
berlaku.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar