Sabtu, 10 Juni 2017

Kebijakan Guru  8 Jam di Sekolah


Oleh Ch. Dwi Anugrah

Seperti yang dilansir oleh banyak media,  Mendikbud Muhadjir Effendi melakukan gebrakan kebijakan yakni guru pns atau non pns bersertifikasi hanya diwajibkan mengajar 8 jam per minggu. Aturan tersebut mengeliminasi kebijakan sebelumnya yang mewajibkan guru mengajar dengan kumulatif 24 jam per mingu.
Selama ini kewajiban mengajar minimal 24 jam per minggu dijadikan syarat untuk mendapatkan tunjangan profesi guru. Jika tidak memiliki 24 jam mengajar tatap muka dalam kelas, guru tidak memperoleh tunjangan. Syarat ini juga berlaku bagi guru honorer penerima insentif dan tunjangan fungsional baik pns maupun non pns.
           Nantinya guru cukup mengajar di satu sekolah saja. Harapan dari kebijakan tersebut  para guru terus memacu diri dan memahami pentingnya profesi yang sedang dijalani. Konsekuensinya guru harus tetap berada di sekolah selama 8 jam mulai hari Senin sampai dengan Jumat. Pemberlakuan berada di sekolah selama 8 jam perhari itu diperlakukan pada semua guru yang mendapatkan  tunjangan profesi, baik sekolah negeri maupun swasta.
Dengan berada di sekolah selama 8 jam sehari, maka guru tidak perlu lagi keluar sekolah  lain untuk mengajar guna mendapatkan  tunjangan sertifikasi. Jika tidak ada mata pelajaran, guru harus  tetap berada disekolah untuk mengadakan  tatap muka di luar kelas dengan       peserta didik      atau    melakukan        pendampingan personal. Kebijakan ini dilakukan untuk lebih memperkuat program    pendidikan     karakter  yang selama ini menjadi parameter dalam segala lini kehidupan (http://news.okezone.com/read/2016/12/06/65/1560281/mendikbud-buat-aturan-guru-sertifikasi-wajib-di-sekolah-8-jam).

Konsentrasi Terpecah
Kebijakan tersebut kiranya perlu menjadi bahan pertimbangan semua pihak, karena memang fakta yang ada di lapangan  tugas guru terpecah menjadi beberapa konsentrasi yang harus dilakukan, terutama yang beban mengajarnya kurang dari 24 jam tatap muka di kelas. Mereka harus pontang panting mencari tambahan di luar satuan adiministrasi pangkal atau sekolah induknya. Beruntung yang satu kota, ada juga yang mengajar di luar kota dengan jarak tempuh puluhan kilometer. Secara faktual para guru tersebut juga sudah mengalami kelelahan fisik di perjalanan. Mana mungkin bisa mengajar dan mendidik  peserta didik secara optimal. Apalagi ada sekolah yang tidak mau kompromi satu hari para guru harus mengajar di dua sekolah sekaligus, bahkan ada yang sampai 3 sekolahan. Kondisi tersebut jelas tidak akan bisa efektif dan bila dilanjutkan nasib peserta didik yang menjadi korban, karena gurunya sudah kehabisan energi di perjalanan.
Menyikapi gagasan Mendikbud  tersebut, perlunya ada langkah-langkah kebijakan strategis yang perlu dilakukan oleh pemerintah. Pertama, sosialisasi program kebijakan sampai tingkat akar rumput, agar semua dapat menerima kebijakan dalam satu persepsi atau satu kesepahaman. Kalau langkah kebijakan ini tidak dilakukan ada kekhawatiran, pemahaman kebijakan hanya sampai pada kalangan tertentu saja, sehingga para guru yang menerima kebijakan tidak dapat menerima secara total. Dampaknya jelas, masing-masing guru akan menyimpulkan kebijakan menurut  persepsinya masing-masing. Dengan demikian guru nanti akan menjadi korban. Karena sudah bukan rahasia lagi, sementara ini kebijakan yang diterima dari pusat tidak dipahami oleh pejabat-pejabat di tingkat daerah, sehingga informasi yang disampaikan tentunya salah, sehingga guru yang menjadi korban. Tak jarang ketika para pejabat Dinas Pendidikan tersebut dikonfirmasi akan informasi yang disampaikan salah persepsi, mereka tidak dengan legawa minta maaf, tapi malahan tidak berkenan.
Kedua, Peraturan Menteri perihal kebijakan baru dengan diktum guru mengajar 8 jam tatap muka atau 40 jam di sekolah perlu segera diterbitkan dan diterima oleh masing-masing guru dalam waktu yang tidak terlalu lama. Paling tidak bulan  Mei  2017 kebijakan dengan segala perangkat  regulasinya sudah diterima oleh para guru. Dengan demikian para guru yang kekurangan jam, sudah persiapan untuk kembali ke sekolah induk. Di samping itu, juga dapat meringankan beban waka kurikulum masing-masing sekolah, karena tiap bulan Mei sampai Juni  waka kurikulum mempunyai agenda rutin  untuk menyusun jadwal tahun pelajaran baru diharmonkan dengan komposisi personil masing-masing guru yang tersedia.  Apabila kebijakan tersebut waktunya mepet dengan agenda penyusunan pembagian tugas mengajar, tentunya penyusunan jadwal pembelajaran dan pembagian tugas mengajar guru akan carut marut dalam tataran implementasinya.
Ketiga, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi kinerja guru secara komprehensif. Monitoring dan evaluasi ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana tingkat capaian guru atas kinerjanya, baik yang jam mengajarnya banyak atau tidak. Untuk yang jumlah jamnya banyak  aspek penilaian bisa dilihat dari resultansi kinerjanya yang dapat terukur. Sedangkan mereka yang jumlah jamnya minimal aspek penilaian dapat dilakukan resultansi kinerja  di sekolah tersebut yang ditambah dengan pembelajaran pendidikan karakter. Apabila temuan dari monitoring dan evaluasi menunjukkan indikator kinerja guru rendah, sanksi tegas perlu segera diaplikasikan. Seperti yang dirasakan saat ini, tunjangan sertifikasi dirasakan tidak adil. Guru yang kinerjanya bagus atau tidak tunjangannya tetap sama. Guru berprestasi atau tidak juga tunjangan yang diterima sama, malahan yang kadang bikin guru-guru berprestasi mengelus dada, rekan kerjanya yang biasa-biasa saja malah tunjangan yang diterima lebih besar. Harusnya para guru yang berprestasi ini mendapat reward atas capaian yang sudah diraih.
Keempat, mengoptimalkan kinerja pengawas sekolah. Peran pengawas sekolah ini sangat strategis dalam melakukan pendampingan kepada kepala sekolah dan guru guna meningkatkan kualitas pendidikan di masing-masing satuan pendidikan. Namun, sampai saat ini masih dirasakan peran mereka belum optimal. Kadang ketika melakukan supervisi di sekolah tak lebih hanya transit di ruang kepala sekolah, tidak banyak melakukan pendampingan langsung  kepada kepala sekolah dan guru dalam tataran praksis, seperti menyupervisi guru saat proses pembelajaran atau melakukan pendampingan administrasi guru secara langsung sehingga persepsi guru sama dalam menerjemahkan pokok-pokok aturan administrasi guru. Padahal kalau ditelisik lebih jauh secara garis besar ada dua kompetensi yang harus dimliki, yakni kompetensi menilai dan kompetensi membina. Wawasan pengawas sekolah dalam bidang penilaian sangatlah dibutuhkan. Mulai dari memahami konsep penilaian, jenis penilaian, indikator penilaian, instrumen penilaian, mengolah hasil penlaian, sampai kepada  memanfaatkan hasil penilaian untuk pembinaan, merupakan hal wajib yang harus dikuasai pengawas sekolah. Selain itu, melaksanakan penilaian dengan kiat yang tepat juga merupakan bagian dari komeptensi yang tidak boleh dilupakan. Sehubungan dengan ini, ada empat kelompok tugas pengawas sekolah yaitu: (1) merencanakan penilaian yang dilengkapi dengan instrumennya; (2) melaksanakan penilaian sesuai dengan kaidah-kaidah  penilaian; (3) mengolah hasil penilaian dengan teknik-teknik pengolahan yang ilmiah; dan (4) memanfaatkan hasil penilaian untuk berbagai keperluan.Kompetensi dalam membina juga demikian halnya. Pengawas sekolah haruslah memahami konsep pembinaan, jenis-jenis pembinaan, strategi pembinaan, komunikasi dalam membina, hubungan antarpersonal dalam membina, dan sebagainya. Sekaitan dengan pembinaan, pengawas sekolah juga harus piawai merencanakan pembinaan, melaksanakan pembinaan, menilai hasil pembinaan, dan menindaklanjuti hasil pembinaan. Dengan kompetensi-kompetensi itu tentu keberadaan pengawas di satuan pendidikan benar-benar diharapkan dan dirindukan.Berdasarkan hal itu tugas pokok pengawas sekolah dapat dirumuskan selaras dengan ayat 1, pasal 2, Kepmenpan Nomor 118/1996 sebagai beirkut, ”Pengawas Sekolah mempunyai tugas pokok menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggungjawabnya. 
Dengan demikian seharusnya para pengawas tersebut dengan penuh kesadaran perlu membumikan kembali  tugas pokok utama  yang diembannya yaitu  memotivasi para kepala sekolah dan guru agar memiliki antusiasme  dan hati yang berkobar-kobar dalam  menemani perjalanan hidup para peserta didik di satuan pendidikannya.


Menguji     Mentalitas  
Wajib berada di sekolah 8 jam pada dasarnya menguji mentalitas guru harus mampu menyelesaikan semua kewajibannya. Semua pekerjaan  harus diselesaikan di sekolah. Peserta didik maupun  guru tinggal mengoptimalkan  perannya di lingkungan  sehingga tudingan dari berbagai pihak yang menyangsikan kinerja guru dapat terbantahkan.
Guru sekarang janganlah terjebak pada aspek rutinitas kerja yang mengerjakan hal-hal yang sama dari tahun ke tahun. Pada umumnya mereka tidak lagi berbeda dengan  manual worker yang cara kerjanya  sangat mekanistik, tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Sementara peserta didik sebagai customer memiliki pengalaman baru, pengetahuan yang beragam, dan terampil mengoperasionalkan teknologi baru (St. Kartono, 2016).
Sungguh sangat ironis, tidak sedikit sesama guru yang berhenti di golongan kepegawain tertentu  lebih dari delapan tahun, padahal cukup  dengan menyelesaikan  satu makalah penelitian tindakan kelas atau karya tulis ilmiah populer di media massa. Tentunya realitas tersebut sangat paradoksal dengan nasihat yang sering diucapkan di depan peserta didik bahwa mereka harus antusias dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan hidup.
Terlebih lagi guru di zaman kini telah memberandol harga dirinya dengan simbol materi. Menjadi ironis  ketika halaman parkir banyak sekolah kian riuh  dengan mobil para guru. Obrolan guru tak beranjak dari  persoalan gadget atau diskon di brosur berbagai foto atau banyak bermain Whatshap (WA) ketimbang membangun ruang dialog untuk  lebih progressnya kualitas pembelajaran yang diampu. Sementara itu sekolah sebagai lembaga akademis  sepi dengan karya guru-gurunya. Harga diri dianggap sepadan dengan  kebijakan makan di berbagai  gerai  bersama koleganya.  Jika situasi guru tersebut terjadi di sekolah swasta, implikasi peserta didiknya  yang datang hanya berkemampuan  mediocre. Implikasi mediocre  bisa diterjemahkan tidak jelek-jelek amat, tetapi juga tidak pernah unggul-ungul.  
Kalaupun itu terjadi  pada guru di sekolah negeri, mereka tidak pernah terusik  oleh fluktuasi naik turunnya jumlah peserta didik yang masuk.  Akan tetapi, situasi ironis tersebut kian mengukuhkan kekhawatiran, bahwa guru  memang tidak lebih dari pegawai administratif  dengan rutinitasnya. Di zaman kini, sebagaian besar jumlah guru tidak lagi berada dalam tekanan untuk memenuhi  kebutuhan dasar atau mencukupkan kondisi finansial yang dimiliki, maka pergeseran kebutuhan  guru tentunya mengarah pada aktualisasi diri.
Mengaktualisasikan diri dengan karya pengembangan diri akan menjadikannya  diperhitungkan di kancah intelektual. Guru yang demen diskusi, gemar bacaan mutakhir, dengan sendirinya akan mengangkat  harga dirinya. Dengan demikian, negara pantas memberikan  penghargaan finansial  secara lebih  lewat berbagai tunjangan, tanpa disertai cibiran sinis sesama pegawai bukan  guru.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait dengan  8 jam di sekolah kiranya perlu diapresiasi. Kiranya kebijakan tersebut tentunya juga dilandasi untuk mengoptimalkan proses pendidikan agar resultansinya menjadi  lebih baik. Dengan kewajiban guru berada di sekolah  selama 40 jam perminggu atau 8 jam perhari diharapkan tidak ada lagi guru  yang harus berpindah-pindah  dari sekolah satu ke sekolah lain hanya untuk memenuhi  kewajiban mengajar  24 jam perminggu  sebagaimana  yang berlaku selama ini.
Dengan kebijakan  tersebut  diharapkan pendidikan karakter  bagi para peserta didik juga berjalan efektif karena guru tidak akan  dibebani  dengan tugas-tugas administratif yang rumit  tetapi lebih fokus. Hal itu tentunya selaras  program revolusi mental  yang  diharapkan  dapat terwujud melalui  pendidikan karakter yang lebih intensif dilakukan para guru di sekolah.
Namun perlu disadari, peraturan baru akan menjadi sia-sia ketika orientasi  guru masih  berkutat pada pemenuhan hak materi, tanpa dilandasi semangat  etos kerja. Untuk itu guru dalam melaksanakan kebijakan perlu dilandasi dengan semangat kejujuran, kedisiplinan, tertib administrasi dan akuntabilitas dalam implementasinya  sesuai dengan norma dan regulasi yang berlaku.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang






Tidak ada komentar:

Posting Komentar