Bertindak Dengan
Nurani
Oleh
Ch. Dwi Anugrah
Menarik sekali tulisan Doni Koeseoma (Kompas,
24 Maret 2017) bertajuk “Benteng Terakhir Kejujuran”. Dieksplanasikan UASBN
yang merupakan perhelatan ujian akhir sekolah berstandar nasional telah
dikotori dengan maraknya ketikdajujuran dan kebocoran soal ujian. Kebocoran
bisa bermula dari oknum guru di KKG
(Kelompok Kerja Guru) atau MGMP
(Musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang bertanggung jawab membuat soal, di kepala
sekolah, dan tempat-tempat penggandaan soal UASBN.
Kasus di atas merupakan kultur ketidakjujuran
yang telah menjadi semacam kanker yang menggerogoti tubuh pendidikan di Indonesia. Meskipun UN
atau UASBN tidak lagi menjadi syarat
utama kelulusan, kebocoran soal tetap terjadi layaknya agenda rutin yang setiap
tahun mesti terjadi. Berbagai praktik kecurangan masif dan sistematis selama
pelaksanaan ujian tetap berlangsung.
Kasus tersebut mengindikasikan bahwa dibalik
kebijakan UASBN yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas Ujian Akhir Sekolah
(UAS) ternyata masih ada oknum guru atau Kepala Sekolah yang melakukan
perbuatan tercela dengan mengorbankan
profesinya. Seharusnya mereka menjadi panutan dalam membumikan karakter
kejujuran, tetapi realisnya malah bertolak belakang.
Posisi Rentan
Bila ditelisik lebih jauh, posisi guru memang
masih rentan dengan berbagai intervensi dalam menjalankan profesinya. Sebagai
contoh nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang rata-rata ditentukan oleh
sekolah dengan standar tinggi kadang para guru juga mengeluh. Guru sering
dituntut kepala sekolah menentukan standar nilai KKM tinggi agar reputasi
sekolah di mata publik baik. Di samping itu kepala sekolah juga mendapat instruksi dari lembaga di atasnya atau pemerintah daerah
untuk memberikan nilai KKM tinggi. Dengan standar nilai tinggi tentunya daerah juga akan dapat imbasnya, bahwa pembinaannya kepada
sekolah-sekolah di bawah jajarannya
berlangsung dengan baik dan
menunjukkan hasil signifikan.
Para guru sendiri dengan penuh keterpaksaan
harus memberikan nilai KKM kepada peserta didik
walaupun realisnya mereka belum
mampu memenuhi standar nilai tersebut. Terlebih lagi nilai KKM sebagai
syarat agar peserta didik boleh mengikuti Ujian Nasional atau kenaikan kelas.
Hal yang sangat mengkhawatirkan peserta didik akan terdemotivasi dalam belajar.
Mereka akan malas belajar, karena sudah tertanam keyakinan bahwa nilai mereka
akan diberi dalam standar nilai KKM oleh guru. Dengan demikian semangat kompetitif
untuk mendapatkan prestasi tereduksi oleh
sistem penilaian KKM yang ditentukan oleh sekolah.
Tak bisa dinafikan, berbagai kebijakan dan
bergulirnya wacana pendidikan kita belakangan ini justru telah menimbulkan peta
konflik horizontal di dalam komunitas pendidikan. Konflik pendidikan itu
terjadi dalam ikon pertentangan di antara sesama guru (mereka yang cemas
kehilangan pekerjaan karena tekanan sekolah); guru dengan orangtua (mereka yang cemas anaknya gagal); guru
dengan peserta didik (mereka yang cemas akan masa depannya); dan guru dengan
kepala sekolah (mereka yang ingin sekolah yang dipimpinnya mengalahkan sekolah
lain). Pertentangan lebih jauh
menyangkut guru dengan Kepala Dinas Pendidikan (mereka yang ingin
lembaga atau departemennya berprestasi); serta pertentangan guru dengan
pimpinan daerah (yang ingin daerahnya dipandang nomor satu), dan seterusnya.
Tak bisa dinafikan guru kini terjebak di
tengah-tengah pusaran konflik tersebut antara mementingkan nama baik sekolah
dan prestasi riil peserta didik; antara menjaga kondite daerah dan
profesionalisme kerja; antara keinginan membantu peserta didik dan berbuat
curang, Semua itu dilakukan hanya semata-mata ditujukan demi menjaga citra dan peringkat (rangking); yang saat ini
sudah menjadi semacam berhala dalam
pendidikan di negeri ini.
Pemberhalaan citra dan peringkat inilah yang memupuk dan
melestarikan kultural kompetitif dalam dunia pendidikan kita. Bukannya
mendorong kebersamaan dan kepedulian. Wacana pendidikan kita saat ini justru
dengan amat bangga dan bersemangat laksana api yang berkobar mengelu-elukan budaya persaingan. Dimana-mana
orang bicara atas nama “persaingan global, persaingan global, era
globalisasi…..”
Kata-kata tersebut sekarang ini seperti mantra saja. Melesat tanpa
kendali bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Kita tidak lagi menyadari bahwa budaya semacam ini lahir
karena kebijakan pendidikan yang hanya mementingkan logika pasar. Di sini guru
dikorbankan demi kepentingan yang tidak berpihak ke nurani guru sebagai
pendidik (Susi Vitri, 28/7-2007).
Para guru mau bersuara tidak mempunyai kekuatan. Posisi mereka
merasa terancam ketika bersikap kritis.
Ada yang mendapat stigma tidak loyal, oposan, pembangkang, dan berbagai terminologi
yang menyudutkan guru. Seharusnya sikap
kritis konstruktif dapat menjadikan lembaga tempat guru bernaung akan
lebih berkembang.
Menyuarakan Nurani
Dengan demikian sudah saatnya sekarang ini para guru untuk berani
menyuarakan nuraninya. Bila keberanian untuk mengutarakan pendapatnya itu tidak
dikeluarkan, niscaya publik akan mengetahui permasalahan yang sebenarnya.
Keberanian mengutarakan kritik kondusif dengan berbagai alternatif solusinya
kepada para pengambil kebijakan
merupakan langkah yang sangat terpuji. Untuk itu, gerakan moral para
guru dalam menyuarakan nuraninya itu
perlu mendapat dukungan dari semua pihak, karena sikap mereka merupakan
refleksi dari prinsip-prinsip demokrasi pendidikan yang harus
dikedepankan.
Termasuk pemaksaan kehendak harus memberikan nilai KKM bagi peserta
didik yang seharusnya tidak memenuhi syarat harus berani untuk disuarakan. Pemaksaan
kehendak dari kelompok tertentu kepada guru untuk melakukan tindakan yang tidak
terpuji harus segera diakhiri
Guru tidak usah khawatir bila ada intimidasi dalam menjalankan
profesinya. Terlebih lagi para guru sekarang lebih bebas untuk mengutarakan
pendapatnya seiring dengan nafas reformasi yang terus bergulir dengan ditandai
munculnya perlindungan hukum bagi guru. Perlindungan hukum ini sejalan dengan
amanat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
khususnya pasal 39. Perlindungah hukum
ini salah satunya harus wajib diberikan oleh pemerintah.
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen
secara eksplisit disebutkan bahwa para guru berhak mendapatkan perlindungan
hukum terhadap tindak kekerasan, intimidasi, perlakuan diskriminatif, atau
perlakuan tidak adil dari pihak peserta
didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain (ayat
3). Di samping itu dalam ayat 4 juga
ditegaskan bahwa para guru berhak mendapatkan perlindungan profesi
terhadap pemutusan hubungan kerja yang
tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam
menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan
lainnya yang dapat menghambat guru dalam
melaksanakan tugasnya.
Di samping itu telah terbit payung hukum yang lebih detail melalui
Permendikbud No. 10 tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang mencakup perlindungan hokum, profesi,
keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak
atas kekayaan intelektual.
Sudak bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa guru berada dalam
posisi yang lemah bila dikomparasikan dengan sekolah atau istitusi tempatnya
bekerja. Sekolah mempunyai otoritas mengeluarkan guru, sedangkan guru sebagai
pegawai biasa tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Guru sangat tergantung kepada
sekolah sebagai majikannya. Maka, secara
moral bila pemeringah ingin secara total membenahi bidang pendidikan,
perlindungan guru perlu mendapatkan prioritas dibandingkan yang lain.
Untuk itu sikap kritis para guru itu diharapkan
tidak memunculkan sikap negative thinking . Kita percaya sikap mereka
itu masih dalam batas normatif dan mereka masih konsisten memegang sikap
profesionalismenya sebagai guru. Oleh karena pemerintah perlu menanggapinya
dengan penuh kearifan, empatik, terbuka, dan peka untuk selanjutnya mengambil
langkah kongkrit dalam upaya mencarikan solusi terbaik. Sikap responsif dan
empatik perlu lebih diprioritaskan ketimbang sikap defensif, arogan, dan
birokratis. Sikap defensif dengan tudingan yang bermacam-macam tidak akan
menyelesaikan masalah melainkan akan
menambah permasalahan baru yang menyulitkan semua pihak.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Alumni Magister Pendidikan
UST Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar