Selasa, 12 Juli 2016


MEREBAK GEMERLAPNYA  MUSIK
CAMPUSARI

Oleh Ch. Dwi Anugrah


Kangeku tanpa upama
Mung sliramu kang dadi telenging ati

Nanging tansah ngleledha
Ngelingana nalika ari kepungkur ………

Wus dangu anggonku nunggu
Pitung sasi lawase nggonku ngenteni

            Bagi yang terbiasa dan dhemen tembang campursari, syair di atas tidak terasa asing. Bawa Pangkur Pelog 6 dilanjutkan langgam “Kangen”, ciptaan Manthous dengan penyanyi cantik asal Sragen yang suaranya mendayu-dayu Anik Sunyahni. Tembang tersebut seakan menjadi pelipur lara, di sela-sela kepenatan dan kesibukan menjalankan aktivitas sehari-hari.

Campursari identik dengan ritus pesta. Demikian yang terjadi di desa-desa hampir di seluruh penjuru kebudayaan Jawa belakangan ini. Hampir semua perayaan, pesta, dan upacara ritual menampilkan Campursari. Terlebih saat pesta Agustusan, desa dan perkampungan urban bakal nanggap campursari sebagai media penyaluran ekspresi seninya. Genre musik ini nyaris mengalahkan musik dangdut sekalipun. Padahal dangdut popularitasnya melebihi jenis musik industri lainnya. Setidaknya di wilayah Kebudayaan Jawa, mereka harus mengakui betapa dasyatnya pengaruh musik Campursari.

Campursari adalah formula paling akhir dari sinkretisme kesenian Jawa dalam hal ini musik. Bisa diingat kembali perjalanan musik di Jawa Tengah, taruhlah misalnya di tahun 40-an dengan munculnya lagu “Bengawan Solo” yang sampai saat ini masih membikin orang-orang mancanegara kesengsem. Karya komponis gesang itu disebut keroncong (semacam musik Portugis yang diartikulasikan secara lokal). Musik jenis itu mengalami evolusi lebih lanjut dengan munculnya generasi pencipta pada dekade berikutnya setelah Gesang di antaranya adalah Anjar Any. Di tahun 60-70 an mulai populer musik yang disebut berjenis langgam antara lain karya Anjar Any Yen ing tawang ana lintang. 

          Kemudian pada era 1980-1990 an musik-musik yang ada sebelumnya dicampur aduk sedemikian rupa dengan lagu-lagu lama yang diarensemen dengan format baru. Genre musik tersebut sering dikenal dengan sebutan campursari. Tokoh yang tidak asing pada waktu itu dan sekarang masih berkibar adalah Manthous dengan lagu-lagu legendarisnya seperti, Nyidhamsari, Tak Eling-Eling, Potretmu , Panjerina dan masih banyak lainnya yang telah diproduksi menjadi ribuan kaset maupun CD di pasaran bebas

     


                                            
                                         Semarak penyanyi campursari (Foto: Koleksi Pribadi)

Mudah Dicerna

        Kekuatan campursari sebagai genre musik tradisional adalah mampu menggring semua jenis musik masuk dalam garapannya. Di samping praktis, juga dapat  “mewakili” genre musik untuk memenuhi banyak keperluan. Bermula dari perpaduan keroncong dengan gamelan, sekarang malah bisa apa saja, dangdut, pop, musik rakyat, dan elemen musik jenis lainnya. Dia juga sangat menghibur. Mudah dicerna, tak banyak tuntutan kualitas atau profesionalisme konvensi yang ketat seperti genre musik klasik.

Di samping itu campursari juga mampu memberi image modern yang merefleksikan kehidupan perilaku komunitas pendukungnya. Anatomi general campursari  nampak pada perpaduan alat musik karawitan (pentatonis) dengan musik Barat (diatonis).Instrumen Barat yang biasa digunakan berupa alat musik keroncong. Meskipun begitu dia juga tidak menafikan masuknya  berbagai alat musik lain. Termasuk yang paling trend sekarang dicampur dengan dangdut dan musik pop lainnya.

                                                                                                                          Citra Modernitas

                 Fenomena campursari yang merebak dewasa ini merupakan ikon dari fenomena sosial budaya secara alami. Munculnya jenis musik ini merupakan refleksi komunitas Jawa sekarang yang sedang dalam kancah pergaulan interkultural dalam mengaktualisasikan modernitas. Senada dengan asumsi tersebut Rahayu Supanggah, Doktor Etnomusikologi dari STSI Surakarta itu mengungkapkan, bahwa citra modernitas yang ingin dicapai masih terbatas pada modernitas semu. Baru sosok visual atau menyentuh kulit luarnya saja. Hal itu ditandai dengan penggunaan referensi artifisial berupa teknologi instrumen Barat, seperti Keyboard dengan berbagai programnya yang berbau computerized.
            Selaras dengan pendapat Rahayu Supanggah, pengajar musik ISI Yogyakarta Budi Raharja mengungkapkan alasan pokok penggunaan Keyboard hanya alasan prestise dan praktis. Masyarakat menganggap alat berteknologi modern tersebut akan mengangkat prestise musik campursari secara holistik (Gong : 2001).
            Lepas dari berbagai diskursus yang melingkupi, namun realitasnya terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur campursari telah menjadi buah industri yang laris. Simak saja, dalam sebulan pasti ada dua atau tiga kaset yang beredar. Kaset-kaset campursari itu lahir dari perusahaan-perusahaan  rekaman di daerah seperti, Puspita Record, Dasa Record, Maju Lancar Record, Fajar Record, dan beberapa industri rekaman lainnya.
Secara kultural bagi komunitas pendukung campursari, jenis musik hibrida ini tidak bisa dipisahkan dengan Manthous, yang bukan saja sebagai primadona, tapi sekaligus raja yang menjadi pioner berkembangnya campursari. Manthous identik dengan campursari, begitu pula sebaliknya, campursari adalah Manthous.Bersama kelompok bentukannya Campursari Gunung Kidul (CSGK) adalah mentor yang menjadi pusat orientasi bagi yang memainkan musik kegemaran semua kalangan ini.
            Pengaruh yang kuat di daerah tidak bisa dielakkan dengan munculnya banyak epigon-epigon ke wilayah komunitas Jawa. Fenomena tersebut ditandai munculnya banyak kelompok. Di Kabupaten Mageang saja, katakanlah masing-masing kecamatan mempunyai 3 kelompok, maka kumulatif total grup bisa mencapai 63 kelompok. Sebagai contoh kalau kita naik ke daerah Srumbung lereng Gunung Merapi dapat dijumpai Grup Campursari “SIDO ASIH” dengan instruktur Agus Haryanto. Walau usianya masih kemarin sore, namun kelompok ini sudah dikenal  di seluruh Magelang. Malahan dengan pemain dan penyanyi yang masih relatif muda dan menggairahkan, sudah mampu menembus pasaran baik di Yogyakarta maupun Jakarta. Tak bisa ditinggalkan grup campursari “Jampi Sayah” Muntilan Magelang dengan lagu populernya “Manuke Cucak Rowo” yang mendulang sukses di pasaran publik.
            Klausul membanjirnya kelompok di berbagai daerah, bukan semata memunculkan persaingan yang semakin berat, tapi persoalan kualitas bakal menjadi bumerang eksistensi  campursari sendiri. Sekarang dengan  mudah bikin grup campursari, tanpa mempersiapkan kualitas musikal para pelakunya, sehingga kesannya adalah musik asal jadi. Karena itu campursari perlu lebih disosialiasikan secara faktual, baik melalui sarasehan, seminar, festival yang dilanjutkan dengan diskusi agar masing-masing kelompok tidak hanya memainkan kulitnya saja, tanpa melihat kedalamannya.
         Dilihat dalam konteks otonomi daerah campursari ini menarik, karena pertama-tama dia tumbuh menjadi industri dan kedua telah menunjukkan geliat dalam mengekspresikan budaya lokal yang selama ini mulai ada keterpenggalan generasi. Diharapkan dengan berkembangnya musik campursari ini dapat memberi nilai tambah, terutama sebagai tali perekat untuk lebih mengenalkan seni budaya Jawa yang sesungguhnya ke berbagai lapisan masyarakat.
                   


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar