Rabu, 05 Juli 2017

Relasi Guru-Peserta Didik



Oleh Ch. Dwi Anugrah

Masih terbayang di ingatan penulis, ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar ada seorang ibu guru yang sangat berkesan. Sosok ibu guru penyabar, telaten, dan sangat perhatian pada peserta didiknya secara personal. Beliau selalu mengajak kami menyanyikan lagu “Kasih Ibu”  setiap usai pelajaran, sebelum  kami pulang ke rumah. Setelah bernyanyi bersama,  tak lupa beliau juga menutup pelajaran dengan cerita rakyat yang bertemakan kasih  sayang seorang ibu kepada anak-anaknya, seperti Malin Kundang, Cindhe Laras, Bambang Sembotha, dan sebagainya. Dari cerita tersebut, ibu guru tersebut menegaskan bahwa pada dasarnya kasih ibu itu luasnya ibarat samudra tiada bertepi. Seorang ibu, siapa pun, apa pun keadaannya, adalah tepat bagi  anak-anaknya.
Usai doa penutup, beliau lalu bergegas menuju pintu ruangan kelas. Satu persatu peserta didik yang keluar meninggalkan ruangan kelas disalami dengan penuh kasih sayang. Kadang beliau tidak sungkan-sungkan untuk jongkok, merendah, hanya agar dapat menatap mata peserta didiknya. Sebuah kalimat yang tak mungkin dilupakan yang selalu beliau ucapkan,”sampai ketemu besok ya, salam buat bapak-ibu di rumah,” sambil tangan kanannya menjabat, memegang erat tangan kanan semua peserta didiknya. Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk  pelan pundak dengan penuh ketulusan cinta kasih.
Ilustrasi tersebut, menegaskan  bahasa tubuh  seorang guru memang mengisyaratkan dengan tegas bahwa dengan ketulusan tanpa pamrih menyayangi peserta didiknya. Bukan saja beliau memberikan contoh nyata bagi peserta didiknya, tetapi dengan tindakannya itu, diharapkan dapat  memberikan contoh kepada siapa saja, khususnya kepada guru. Seorang guru semestinya memiliki peran dan tanggung jawab layaknya orang tua di rumah.

Penuh Kehangatan
Relasi guru-peserta didik tidak harus selalu  formal dan kaku, sebaliknya mesti akrab dan penuh kehangatan. Orang dewasa seperti halnya guru harus mampu tampil hangat, penuh perhatian, dan kasih sayang kepada setiap peserta didiknya.  Dengan sikap demikian, peserta didik akan merasa berada dalam sebuah lingkungan yang aman. Dalam lingkungan yang bebas dari tekanan, peserta didik dapat dengan leluasa  berekplorasi dan berkreasi. Relasi guru dan peserta didik  bukan sekadar hubungan  memberi dan menerima materi pelajaran, tetapi lebih  mendalam, yakni relasi pribadi dari hati ke hati.
Kasih guru kepada pesera didiknya dapat dianalogikan dengan sang surya yang  memberikan cahaya terangnya kepada dunia. Matahari tidak pernah pilih kasih. Semua manusia, baik yang jahat maupun yang baik, diberi cahaya terangnya. Matahari tidak mengenal suku, agama, warna kulit, jenis rambut atau aneka ragam perbedaan manusia. Bagi matahari, semua manusia berhak menerima terang dan cahaya sesuai dengan  kapasitas dan kebutuhannya. Sinar matahari adalah energi yang dapat memampukan manusia untuk melakukan aktivitasnya.
Demikian pula kasih yang memancar dari seorang guru akan memberikan energi  yang memampukan  peserta didik  mengeluarkan dan mengaktualisasikan  potensinya. Energi yang mampu  memerdekan dirinya dari segala bentuk tekanan, untuk dapat menjadi orang yang mandiri.
Oleh karena itu, kiranya guru perlu mengenal pribadi peserta didik secara personal. Tidak jarang relasi guru-peserta didik di kelas sekarang ini hanya berlangsung anonim, tanpa mengenal peserta didik. Ada tuntutan yang tidak berimbang. Peserta didik harus mengenal gurunya, sementara guru merasa tidak perlu mengenal peserta didiknya. Di mata guru-guru,  paradigma demikian peserta didik hanyalah deretan  presensi tanpa makna.
Guru-guru di satuan pendidikan yang mempunyai peserta didik dalam kategori banyak biasanya cenderung abai mengenal peserta didiknya. Alasan pembenarannya adalah  kumulatif peserta didik yang diampu melebihi kemampuan daya ingat guru yang  kian menurun seiring  bertambahnya usia. Namun, ketika sang guru berusia muda pun melakukan hal yang sama, artinya memang guru semacam itu tidak  pernah mau menaruh hati untuk  sekadar mengenal satu persatu peserta didiknya. Apalagi mengenal persoalan hidup dan konteks hidup peserta didiknya.
Untuk menyikapi hal tersebut, guru setiap kali mengajar bisa melakukan presensi dan memanggil peserta didik satu-per satu. Di samping itu   peserta didik dimohon menorehkan tanda tangan di buku presensi yang sudah disiapkan guru. Cara demikian dapat membantu memudahkan menghafal nama peserta didik. Menghafal  nama peserta didik menjadi awal mengenal lebih jauh seluruh konteks kehidupan, latar belakang, keluarga, atau asal-usulnya. Sapaan, panggilan, pertanyaan, atau penunjukan akan terasa lebih menyentuh kesan  jika disebut namanya. Komparasikan dengan cara guru menunjuk peserta didik  dengan kata ganti “kamu”, “kau”, atau “itu yang berbaju hijau”, “itu yang duduk di pojok sendiri” (St. Kartono, 2011).

                                                            Relasi Manusiawi
            Guru mengenal peserta didik, mengingat nama dan perangainya, dan menyapa secara pribadi lewat namanya adalah kiat untuk menciptakan relasai manusiawi di satuan pendidikan. Pendidikan di masa depan perlu menjadi pendidikan universal, yang pertama-tama mengajarkan tentang kondisi manusiawi. Kondisi manusiawi peserta didik di satuan pendidikan mestinya tersistem, tidak mengandalkan inisiatif perorangan.
            Menjadi ironis jika ada banyak satuan pendidikan yang merasa cukup menampung peserta didik yang pandai dan menyediakan fasilitas fisik, sementara para gurunya semakin jauh  dari peserta didik.  Bukan hal yang aneh jika ada guru yang tidak kenal peserta didiknya bahkan sampai lulus, kecuali namanya dan nilai rapor. Hakikat peserta didik sebagai manusia direduksi sekadar nama dan angka nilai rapor.
            Dengan demikian,  guru hendaknya tidak menyisakan kebaikan untuk dirinya sendiri. Semuanya diberikan demi  menjadikan peserta didiknya manusia merdeka, mandiri dengan potensi yang dimiliki. Tidak semestinya guru memilih dan memilah peserta didik lalu memasukkan mereka ke dalam kelompok bodoh dan pintar. Tidak pula membiarkan dan meninggalkan peserta didik tidak naik kelas sehingga mereka tertekan beban berat secara psikologis, hanya karena nilai salah satu mata pelajaran tidak memenuhi standar kriteria ketuntasan minimal seperti yang diharapkan gurunya.
            Untuk itu, mengutip Andrias Harefa dalam bukunya “Pembelajaran di Era Serba Otonomi” (2002) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Pertama,  guru merupakan panggilan jiwa yang tak mungkin hilang. Dalam hal ini guru merupakan sosok yang tidak mengejar keuntungan finansial, melainkan kepuasan hatinya mendampingi peserta didiknya. Kedua, Guru menempatkan peserta didiknya sebagai mitra belajar yang potensial. Sosok guru sekarang ini  bukanlan seorang yang maha tahu, namun peran sentralnya hanya  sebagai fasilitator yang memberikan ruang bagi peserta didiknya untuk mengembangkan ilmunya. Ketiga, Guru selalu menyosialisasikan nilai-nilai luhur untuk hidup dan kehidupan. Guru yang ideal, tidak hanya sekadar mentransfer disiplin ilmunya semata, namun yang tidak boleh ditinggalakan yakni  selalu memberi dan menanamkan  nilai luhur humaniora untuk bekal peserta didik di kemudian hari.
            Ketika “matahari” dalam diri guru sebagai pendamping  peserta didik meredup, maka satuan pendidikan bukan lagi tempat subur  sebagai penyemaian nilai-nilai kehidupan, meliankan tempat yang akan membawa peserta didik terjebak ke jurang gelap tak bertepi.
            Sebaliknya, sosok guru dengan jiwa humanis adalah bagaikan matahari  yang senantiasa memberi dan tak pernah berharap  kembali. Semua peserta didik diberikan cahaya, kehangatan, dan cinta kasih tulus tanpa membeda-bedakan. Ia adalah matahari yang tak pernah  padam bagi peserta didiknya.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang





Merajut Pendidikan Humaniora
 Seni Tari


Oleh Ch. Dwi Anugrah

Sebagai bentuk seni pertunjukan,  kehadiran seni tari  di tengah-tengah komunitas tidak bersifat independen. Di dalamnya bisa diamati dari perspektif  tekstual dan kontekstual. Secara tekstual, seni tari dapat dipahami dari bentuk dan teknik berkaitan dengan komposisinya. Sedangkan secara kontekstual  akan bersinggungan dengan disiplin ilmu sosiologi dan antropologi  yang merupakan bagian integral dengan dinamika sosio-kultural masyarakat.
Namun realitanya, asumsi sebagian komunitas kita masih menganggap seni tari itu hanya sebagai santapan estetis. Padahal bila ditelisik di dalamnya mengandung nilai-nilai kehidupan termasuk pendidikan humaniora di dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan humaniora mengandung pemahaman pendidikan yang mengajarkan nilai dan norma kemanusiaan dengan berbagai macam pernyataan  simbolisnya yang sangat erat  korelasinya dengan sistem budayadi  tengah-tengah kehidupan komunitas.
Dalam kehidupan masyarakat primitif atau pedalaman, tampaknya  nilai seni tari selalu berkorelasi dengan kaidah yang sifatnya  magis atau ritual. Karena bagaimanapun juga mentalitas primitif bukanlah logika yang berbicara, melainkan ungkapan emosional hidupnya secara menyeluruh. Tari dalam tataran gerak yang paling sederhana  menjadi bagian dari hidupnya, bersama-sama dengan alam. Kondisi riil tari primitif, masih dapat kita jumpai di daerah pedalaman, seperti Irian Jaya. Pada suku Ekari  mempunyai satu tarian pengharapan yang berjudul “Ura”. Tari ini diselenggarakan dengan harapan agar cuaca menjadi baik, dari kemarau berkepanjangan mereka minta turun hujan, agar mudah mencari makan.

Jiwa Kebersamaan
Lain lagi dalam lingkungan komunitas tradisional pedesaan. Nilai atau norma yang tekandung di dialamnya mengajarkan sifat egalitarian, sebagaimana sikap  kehidupan  mereka yang bersifat kegorongroyongan, yaitu kebersamaan  sesama individu. Jikalau terjadi  perbedaan atau  menempatkan seseorang berada pada gradasi yang lebih tinggi, sifatnya adalah  penghormatan kepada sesama (Sumandiyo Hadi, 2005).
Nilai ungkapan  seperti itu tampak  dalam tarian rakyat yang cirinya  juga kebersamaan. Jenis tari Tayub, yang sekarang banyak berkembang di beberapa daerah  Sragen, Yogyakarta, Blora, dan beberapa daerah Pantai Utara Jawa  sering diselenggarakan untuk sarana upacara ritual. Seperti dalam  upacara bersih desa adalah sebuah pesta kebersamaan seluruh komunitas agar desanya terlepas dari segala marabahaya. Semua komunitas dapat menari (ngibing) bersama dengan para penari Tayub. Di sini tidak ada tingkatan yang membedakan stratifikasi sosial mereka.
Demikian pula dalam seni pertunjukan Jathilan, Slawatan, dan jenis tarian rakyat lain, apabila di dalamnya  terdapat “pemimpin” tari, semata-mata bukan tingkatan “gradasi” melainkan hanya berfungsi “koordinasi”.
Adapun pendidikan humaniora yang terkandung dalam jenis kesenian  atau tarian rakyat dapat dilihat dalam jenis Slawatan. Kesenian ini hidup subur di lingkungan komunitas pedesaan  yang didukung oleh locus pesantren. Kesenian ini dianggap  sebagai pernyataan estetik para santri. Kitab Barzanji dan Kitab Shalawat Badar yang dipakai sebagai pedoman pengembangan bacaan maupun lagu dalam kesenian Slawatan, secara kontekstual isinya mengajarkan tentang pembentukan kepribadian manusia. Dalam kitab itu secara eksplisit  banyak berisi doa atau pujian terhadap Allah beserta para rasul-Nya. Terutama Kitab Shalawat Badar berisi syair-syair pujian dan doa kepada Allah untuk Nabi Muhammad SAW dan para pahlawan dari  perang Badar.
Sedangkan secara tekstual  melaui kesenian  Slawatan dapat mengajarkan rasa solidaritas, kebersamaan, dan juga kekompakan kelompok. Kesenian Slawatan merupakan jenis tarian kelompok, implikasinya segala motif gerak yang tersaji lebih mengedepankan keserampakan atau kebersamaan. Oleh karena itu,  jenis seni pertunjukan ini menuntut adanya saling kepedulian atau ketergantungan sesama penari atau peraga untuk mencapai  kerjasama memperagakan  gerakan unison (serempak), alternate (selang-seling), atau chronological (berurutan) dengan baik.
Di samping di lingkungan komunitas primitif dan tradisional pedesaan, pendidikan seni tari di komunitas istana tercermin dalam kehadiran tari untuk upacara ritual seperti Bedaya dan Wayang Orang. Secara kontekstual  suasana  ritual yang mengorelasikan  dengan  kehadiran tari Bedaya maupun wayang orang akan memberi efek terhadap para abdi dalem (pegawai istana)  dan seluruh masyarakat.
Seluruh penggambaran audiensi atau pisowanan dengan pertunjukan tari itu sesungguhnya  sangat sarat menunjukkan pendidikan  tentang nilai-nilai humaniora baik terkait dengan stratifikasi, kepemimpinan, kepahlawanan, kemanunggulan, kepatuhan, dan sebagainya. Dalam wayang orang dengan berbagai macam tipologi karakter, kedudukan tersebut  tidak lain menunjukkan  nilai stratifikasi dan hierarki,yaitu mendudukkan  setiap anggota masyarakat  pada posisi tertentu, baik sebagai raja, sentana (kerabat raja), abdi dalem, dan masyarakat. Di samping itu wayang orang sebagai dramatari juga menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan tentang  unggah-ungguh (tata krama), dan berbagai contoh watak baik-buruk.
 Sedangkan secara kontekstual tari Bedaya nilai pendidikan humanioranya dapat diamati, misalnya dari perspektif fungsi ritual yang menandakan  korelasi kosmis raja, istana, dan pemerintahannya. Istana sebagai mikrokosmos berusaha memperoleh  keselarasan dengan kehidupan makrokosmos. Di sini tercermin nilai-nilai kemanusiaan untuk mencapai kesuburan, kesejahteraan, dan kemakmuran kerajaannya, yakni raja dengan seluruh masyarakatnya.
Dengan berbagai contoh tadi kiranya dapat memberi gambaran, bahwa seni tari mempunyai multifungsi yang tidak sekadar cakupan estetika, namun di dalamnya terkandung nilai-nilai humaniora yang sarat akan tuntunan agar masyarakat sadar akan kesejatian dirinya. Oleh karena itu, semua pihak kiranya perlu meluruskan asumsi masyarakat yang terlanjur keliru tentang eksistensi seni tari tersebut. Baik itu dari  kelompok masyarakat yang tergabung dalam istitusi formal maupun informal, agar pendidikan seni tari dapat lebih  tersosialisasikan makna dan kegunaannya. Hal itu selaras dengan salah satu pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO, bahwa pendidikan merupakan sarana untuk belajar hidup bersama (learning to live together).



Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang



Kamis, 22 Juni 2017

Carut Marut
Tunjangan Profesi Guru Swasta


Oleh Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.

Tulisan penulis   di  rubrik surat pembaca Kompas (20/2/2017) dan juga guru  SMA Swasta Semen Tonasa Sulawesi Selatan, Ali Mukhamad (Kompas, 20/4-2017) kiranya bisa mewakili dari ribuan guru swasta penerima  tunjangan profesi guru tahun 2016 yang  tidak sesuai dengan Surat Keputusan Penyetaraan (Inpassing). Padahal di tahun-tahun sebelumnya mereka menerima sesuai dengan SK Inpassing yang dimiliki.
Pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG), tahun 2016 untuk guru swasta terasa sangat lamban dan tidak konsisten dengan tahun-tahun sebelumnya. Dana TPG  yang disediakan pemerintah kisarannya Rp 5 triliun termasuk di dalamnya untuk guru swasta (Kompas, 24/2/2017). Namun ternyata yang sampai ke guru swasta tidak seperti yang diharapkan. Banyak kekurangan pembayaran yang seharusnya menjadi hak para guru. Di mana simpul-simpul kemacetan proses pencairan kekurangan pembayaran  TPG tersebut?

Kewenangan Pusat
Dinas pendidikan di masing-masing kota atau kabupaten tidak dapat memberikan jawaban. Alasan mereka untuk pencairan TPG menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dinas pendidikan hanya menginput data kemudian diteruskan ke ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Ketika mereka dimintai konfirmasi kadang muncul sinisme bahwa ini kasus nasional tidak hanya di satu daerah. Para guru dimohon sabar untuk menunggu. Jawaban tersebut bukannya memberikan pencerahan tapi malah membikin guru semakin tertekan  beban psikologisnya.
Pihak Kemdikbud pun mempunyai alasan, TPG yang diterima guru tidak sesuai dengan SK inpassing karena dari Biro Kepegawain Kemdikbud belum menyerahkan data SK inpassing para guru kepada Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. Salah satu syarat susulan pencarairan TPG para guru harus melegalisir SK inpassing ke Biro Kepegawaian Kemdikbud. Mekanisme Ini sangat dirasakan  aneh. Kesalahan manajerial internal Kemdikbud,  tapi yang kena imbasnya para guru. 
Pengalaman di lapangan menunjukkan, para guru yang sudah melegalisir SK Inpassing, namun Tunjangan yang diterima di triwulan berikutnya masih tetap sama. Padahal di dalam Info Guru dan Tenaga Kependidikan sebagai situs resmi Kemdikbud yang dibisa diakses oleh guru, nilai nominal sudah tertera dengan jelas penerimaan tiap bulannya. Malah banyak validasi data yang dirasakan merugikan. Di semester pertama masa kerja diakui 15 tahun, tetapi  untuk semester 2 hanya diakui 9 tahun. Ada juga yang golongan ruangnya dalam SK Inpassing harusnya IIIC tapi di Info GTK tertulis IIC. Hal ini ditengarai Kemdikbud melakukan keputusan sepihak tanpa koordinasi  dengan guru atau Dinas Pendidikan setempat.
Sebagaian guru sembari menggerutu menyebut Kemdikbud tidak professional. Seharusnya institusi tersebut bisa menjadi sumber keteladanan dalam aplikasi manajemennya.  Bukannya malah sebaliknya. Bayangkan, tiap bulan Januari dan Juli para guru dituntut mengumpulkan pemberkasan TPG dalam rentang waktu cukup singkat dengan ketentuan guru harus memenuhi 24 jam mengajar tiap minggu. Para guru yang belum memenuhi jumlah jam di sekolah induknya tentu harus jumpalitan mencari tugas tambahan mengajar   di sekolah lain. Namun, hampir satu tahun tunjangan yang diterima sesuai dengan SK inpassing tidak kunjung diberikan.

Kesenjangan Mendalam
Adapun yang dirasakan adanya kesenjangan yang mendalam adalah para guru negeri sudah menerima TPG secara penuh. Sedangkan guru swasta dinomorduakan dan belum tahu kepastiannya. Padahal di dalam Info GTK sudah dijelaskan batas akhir pembayaran pada tanggal 31 Desember 2016. Semuanya tentun paham,  bila guru swasta sangat mengharapkan sekali dari tunjangan profesi guru ini untuk bisa menyambung hidup dan mengembangkan profesinya. Karena kalau hanya menggantungkan  gaji sekolah atau yayasan tidak akan mungkin bisa bertahan hidup bila tidak harus nyambi ke sana-kemari.  Padahal tuntutan setelah lulus sertifikasi,  guru harus mampu menunjukkan kinerjaya secara professional dalam bentuk pengembangan keprofesian berkelanjutan  baik dalam aspek pengembangan diri, publikasi ilmiah, maupun karya inovasi. 
Dengan demikian ada beberapa hal yang perlu dikritisi dalam proses pencairan TPG guru swasta. Pertama Kemdikbud perlu lebih meningkatkan  mekanisme koordinasi dengan Dinas Pendidikan daerah yang sekarang ditangani oleh provinsi. Selama ini jalinan koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah lemah. Tak jarang guru-guru swasta yang minta informasi ke Dinas Pendidikan daerah tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Kadang hanya dijawab singkat  pembayaran guru swasta itu urusannya pusat. Kurang pembayaran itu kasus nasional.    Tak urung para guru menjadi patah semangat, tertekan secara psikologis, yang bisa jadi berimbas pada saat mengajar.
Kedua, Kemdikbud perlu konsisten bila membuat kebijakan. Sementara ini Info GTK   dan Data Pokok Pendidikan sebagai rujukan  terkait dengan profil dan jam mengajar guru. Namun sering terjadi, rujukan ini sering berubah-ubah dalam hitungan bulan. Sebagai contoh pengakuan masa kerja di semester satu 15 tahun, namun di semester dua bisa saja berubah  pengkuannya masa kerja di  bawahnya. Tentunya kebijakan tersebut sangat meresahkan. Terlebih lagi kebijakan tersebut dilakukan sepihak tanpa koordinasi dengan para guru.
Tak kalah pentingnya, Kemdikbud perlu  memberitahukan lewat jalur resmi seperti surat pemberitahuan kedinasan terkait dengan kebijakan yang kiranya sangat mendesak. Sebagaimana keterlambatan pembayaran TPG untuk guru-guru swasta, alangkah bijaksananya kalau diberitahukan jauh-jauh sebelumnya, sehingga para guru  tidak terkejut secara psikologisnya. Kebijakan ini tentunya jauh lebih professional ketimbang  tiba-tiba dilakukan kebijakan frontal yang meresahkan.
Untuk itu,  yang ditunggu oleh para guru swasta sekarang adalah pencairan tunjangan profesi sesuai dengan SK penyetaran yang dimiliki. Biar bagaimana pun guru swasta telah membantu pemerintah dalam memberikan pelayanan pendidikan. Mestinya pemerintah tidak membedakan pencairan tunjangan profesi antara guru swasta dan negeri.
Sekali lagi, di sini nurani pemerintah harus terketuk melihat nasib guru swasta. Dalam urusan pemberian tunjangan profesi kenapa  pemerintah tidak segetol komitmennya  dikomparasikan  dengan  upaya memaksakan penyelenggaran ujian nasional berbasis komputer yang tahun ini  menjadi perhelatan besar nasional.

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang

Alumnus Magister Pendidikan UST Yogyakarta

Senin, 19 Juni 2017

Identitas Batik Sebagai Pakaian Dinas


Oleh Ch. Dwi Anugrah

Pada bulan Agustus tahun 2010 ini diinstuksikan secara struktural  dari Provinsi sampai daerah, semua pegawai termasuk guru di masing-masing satuan pendidikan (sekolah) baik negeri maupun swasta wajib mengenakan pakaian dinas batik pada hari-hari tertentu.
Sampai saat ini, batik masih dianggap  sebagai identitas budaya yang dapat mengakomodasi  semua kalangan. Identitas budaya  yang dihadirkan di ruang-ruang birokrasi  dengan pakain batik pada dasarnya  merupakan gerakan kembali  pada basis kultural. Pakaian batik menjadi pakaian  yang bisa diekspresikan  ke ruang publik wilayah birokrasi pemerintah, bukan lagi hanya  dipakai pada acara pernikahan atau ritus hajatan yang bersifat kedaerahan.
Namun  sampai saat ini, wawasan  latar belakang historis pakaian batik yang sering dikenakan  oleh sebagian komunitas kita masih sangat rendah. Mereka hanya bisa mengenakan, namun tidak paham aspek-aspek yang melatarbelakangi penciptaan pakaian batik tersebut yang hingga kini menjadi identitas nasional.

Masa Gemilang
            Batik  sejak zaman Majapahit merupakan karya adiluhung yang berangkat dari falsafah tradisi yang sering dipakai sebagai pakaian kebesaran para bangsawan  ataupun para ksatria sebagai simbol status sosial. Dalam proses perkembangan selanjutnya baik corak maupun teknik pembuatannya menyebar di seluruh penjuru Nusantara.
            Berdasarkan etimologinya, batik berasalal dari  istilah Jawa amba (menulis) dan titik (juga berarti titik dalam bahasa Indonesia). Gabungan kedua suku kata terakhir itulah  yang membentuk  kata “batik” dan kemudian diartikan sebagai menghamba titik.Memang titik merupakan desain dominan pada batik. 
Beberapa kota di Jawa berdasarkan catatan historis pernah dijadikan sebagai pusat batik, misalnya di daerah lingkup benteng keraton atau yang disebut voonstenlanden. Wilyah ini terdapat di Solo dan Yogyakarta. Dahulu selain di lingkup keraton, batik tidak ditemui. Dengan kata lain, ia memang dibuat hanya untuk  konsumsi keluarga priyayi saja, terutata dalam acara adat, seperti perkawinan.
            Batik dalam acara  tersebut memiliki corak dan jenis yang disusuaikan  dengan pangkat, gelar, dan lainnya. Bahkan pada masa kolonial Belanda pengaturan pemakaian batik itu diatur dengan besluiten (surat keputusan). Kain batik menjadi salah satu satu bagian dari pakaian resmi dan perlengkapan upacara kebesaran priyayi.
            Selain itu juga dikisahkan sejarah pembatikan di Indonesia terkait dengan  perkembangan kerajaan Majapahti, penyebaran agama Islam, serta perang Diponegoro. Sejak abad XII, pada masa kerajaan Majapahit, masyarakat Jawa telah mengenal batik. Seni batik berasal dari India, masuk ke tanah air bersamaan dengan  masuknya kebudayaan  Hindu yang berhasil menurunkan silsilah Kerajaan Hindu di Nusantara.
            Salah satu situs  Majapahit yang masih berkembang hingga saat ini adalah Mojokerto. Daerah pembatikan di Mojokerto terdapat di Desa Kwali, Mojosari, Betero, Sidomulyo, sampai Jombang  dan Tulungagung. Bahan yang dipakai  waktu itu  kain putih hasil tenunan sendiri dan obat-obat batik dari sega jambal, mengkudu, nila tom, dan sebagainya. Ciri spesifik batik Kalangbret dari Mojokerto ini hampir sama dengan  batik Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua.
Di sisi lain, penyebaran agama Islam juga turut menyokong  perluasan penyebaran batik. Peristiwa itu dapat dilihat  dari banyaknya  banyaknya pusat pembatikan di Jawa yang merupakan daerah santri. Malahan, batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang muslim untuk melawan hegemoni perekonomian Belanda. Seperti para santri yang tergabung dalam SDI (Serikat Dagang Islam) di Surakarta pada tahun 1909 pimpinan H.Samanhudi dan RM Tirtoadisuryo banyak melahirkan karya inovatif batik yang dipromosikan oleh para santri di organisasinya dari pusat  sampai tingkat cabang (Majalah Gong, No.106/X/2009).
            Selain lewat perjuangan  Islam, perang Diponegoro juga turut berperan dalam penyebaran batik ini. Banyak pengikut Diponegoro menyebar dalam pelarian karena kalah perang melawan Belanda. Sebutlah misalnya, Kyai Mojo  yang mundur ke arah timur, yaitu di Desa Majan.  Yang sekarang  menjadi sentra batik. Pembuatan batik di desa berstatus perdikan ini merupakan naluri peninggalan batik  zaman Diponegoro.
            Peristiwa yang hampir sama juga terjadi di Banyumas. Perkembangan batik di wilayah ini berpusat di Sokaraja yang dibawa oleh pengikut Pangeran Diponegoro setelah perang tahun 1830. Pengikutnya  yang terkenal ialah  Najendra, yang mengembangkan  batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakainya merupakan  hasil tenunan sendiri. Sementara pewarnanya berasal dari pohon tom dan buah mengkudu yang memberi warna merah kekuningan. Motif dan warna ini yang menjadi kekhasan batik Banyumas.
            Pengikut Diponegoro itu, selain menetap di daerah Banyumas sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Beberapa  dari mereka ada  ahli dalam  pembatikan sebagai pekerjaan rumah tangga bagi kaum wanita yang kemudian berkembang papa  penduduk di sekitar, hingga memunculkan batik Ciamis.
            Dalam proses perkembangan berikutnya, diaspora batik tak terbendung lagi dan menyebar ke seluruh penjuru Nusantara. Bahkan Bung Karno, Presiden pertama RI pernah mencanangkan batik sebagai  busana nasional  karena  batik mengandung nilai sejarah yang cukup tinggi.

            Identitas Budaya
            Pakaian batik yang ditawarkan lewat isntruksi secara struktural di lingkup pemerintahan tersebut,setidaknya  memberikan hegemoni estetika dan perhatian terhadap  produksi lokal. Dengan instuksi tersebut, diharapkan produksi batik akan meningkat karena akan dipakai sebagai pakaian dinas.
            Harapan lebih jauh, kebijakan tersebut jangan sampai  mematikan para perajin batik untuk terus berkreasi selaras dengan ekspresi kreativitasnya. Jangan-jangan, mereka nanti akan terkooptasi, karena pesanan dengan motif tertentu selaras dengan keinginan penguasa.
            Dengan baju batik yang dikenakan, sebenarnya secara tidak langsung sudah dapat menjadikan diri kita membangun identitas budaya  yang merupakan cerminan kehidupan sehari-hari.
            Namun yang paling mendasar, para pegawai yang berpakaian dinas batik perlu membekali diri dengan etos kerja yang mencerminkan jiwa kebudayaan, baik dalam pelayanan, etika, maupun peningkatan produktivitas kinerjanya. Dengan memakai baju batik, sebenarnya tidak hanya sekadar memakai baju untuk keindahan visual saja,  namun lebih dari itu harus bisa membawa baju yang dipakainya sebagai tanggung jawab sosio-kultural  dalam tindakan  praksis yang berjiwa kebudayaan.

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang




Senin, 12 Juni 2017

Bertindak Dengan Nurani


Oleh
Ch. Dwi Anugrah

Menarik sekali tulisan Doni Koeseoma (Kompas, 24 Maret 2017) bertajuk “Benteng Terakhir Kejujuran”. Dieksplanasikan UASBN yang merupakan perhelatan ujian akhir sekolah berstandar nasional telah dikotori dengan maraknya ketikdajujuran dan kebocoran soal ujian. Kebocoran bisa bermula dari  oknum guru di KKG (Kelompok Kerja Guru) atau  MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang bertanggung jawab membuat soal, di kepala sekolah, dan tempat-tempat penggandaan soal UASBN.
Kasus di atas merupakan kultur ketidakjujuran yang telah menjadi semacam kanker yang menggerogoti  tubuh pendidikan di Indonesia. Meskipun UN atau UASBN  tidak lagi menjadi syarat utama kelulusan, kebocoran soal tetap terjadi layaknya agenda rutin yang setiap tahun mesti terjadi. Berbagai praktik kecurangan masif dan sistematis selama pelaksanaan ujian  tetap berlangsung.
Kasus tersebut mengindikasikan bahwa dibalik kebijakan UASBN yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas Ujian Akhir Sekolah (UAS) ternyata masih ada oknum guru atau Kepala Sekolah yang melakukan perbuatan tercela dengan mengorbankan   profesinya. Seharusnya mereka menjadi panutan dalam membumikan karakter kejujuran, tetapi realisnya malah bertolak belakang.

Posisi Rentan
Bila ditelisik lebih jauh, posisi guru memang masih rentan dengan berbagai intervensi dalam menjalankan profesinya. Sebagai contoh nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang rata-rata ditentukan oleh sekolah dengan standar tinggi kadang para guru juga mengeluh. Guru sering dituntut kepala sekolah menentukan standar nilai KKM tinggi agar reputasi sekolah di mata publik baik. Di samping itu kepala sekolah  juga mendapat instruksi dari  lembaga di atasnya atau pemerintah daerah untuk memberikan nilai KKM tinggi. Dengan standar nilai tinggi tentunya  daerah juga akan dapat  imbasnya, bahwa pembinaannya kepada sekolah-sekolah di bawah jajarannya  berlangsung dengan baik  dan menunjukkan hasil signifikan.
Para guru sendiri dengan penuh keterpaksaan harus memberikan nilai KKM kepada peserta didik  walaupun realisnya mereka belum  mampu memenuhi standar nilai tersebut. Terlebih lagi nilai KKM sebagai syarat agar peserta didik boleh mengikuti Ujian Nasional atau kenaikan kelas. Hal yang sangat mengkhawatirkan peserta didik akan terdemotivasi dalam belajar. Mereka akan malas belajar, karena sudah tertanam keyakinan bahwa nilai mereka akan diberi dalam standar nilai KKM oleh guru. Dengan demikian semangat kompetitif untuk mendapatkan prestasi tereduksi oleh  sistem penilaian KKM yang ditentukan oleh sekolah.
Tak bisa dinafikan, berbagai kebijakan dan bergulirnya wacana pendidikan kita belakangan ini justru telah menimbulkan peta konflik horizontal di dalam komunitas pendidikan. Konflik pendidikan itu terjadi dalam ikon pertentangan di antara sesama guru (mereka yang cemas kehilangan pekerjaan karena tekanan sekolah); guru dengan orangtua  (mereka yang cemas anaknya gagal); guru dengan peserta didik (mereka yang cemas akan masa depannya); dan guru dengan kepala sekolah (mereka yang ingin sekolah yang dipimpinnya mengalahkan sekolah lain). Pertentangan lebih jauh  menyangkut guru dengan Kepala Dinas Pendidikan (mereka yang ingin lembaga atau departemennya berprestasi); serta pertentangan guru dengan pimpinan daerah (yang ingin daerahnya dipandang nomor satu), dan seterusnya.
Tak bisa dinafikan guru kini terjebak di tengah-tengah pusaran konflik tersebut antara mementingkan nama baik sekolah dan prestasi riil peserta didik; antara menjaga kondite daerah dan profesionalisme kerja; antara keinginan membantu peserta didik dan berbuat curang, Semua itu dilakukan hanya semata-mata ditujukan demi menjaga  citra dan peringkat (rangking); yang saat ini sudah menjadi  semacam berhala dalam pendidikan di negeri ini.
Pemberhalaan citra dan peringkat inilah yang memupuk dan melestarikan kultural kompetitif dalam dunia pendidikan kita. Bukannya mendorong kebersamaan dan kepedulian. Wacana pendidikan kita saat ini  justru  dengan amat bangga dan bersemangat laksana api yang berkobar  mengelu-elukan budaya persaingan. Dimana-mana orang bicara atas nama “persaingan global, persaingan global, era globalisasi…..”
Kata-kata tersebut sekarang ini seperti mantra saja. Melesat tanpa kendali bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Kita tidak  lagi menyadari bahwa budaya semacam ini lahir karena kebijakan pendidikan yang hanya mementingkan logika pasar. Di sini guru dikorbankan demi kepentingan yang tidak berpihak ke nurani guru sebagai pendidik (Susi Vitri,  28/7-2007).
Para guru mau bersuara tidak mempunyai kekuatan. Posisi mereka merasa terancam ketika  bersikap kritis. Ada yang mendapat stigma tidak loyal, oposan, pembangkang, dan berbagai terminologi yang menyudutkan guru. Seharusnya sikap  kritis konstruktif dapat menjadikan lembaga tempat guru bernaung akan lebih berkembang.  

Menyuarakan Nurani
Dengan demikian sudah saatnya sekarang ini para guru untuk berani menyuarakan nuraninya. Bila keberanian untuk mengutarakan pendapatnya itu tidak dikeluarkan, niscaya publik akan mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Keberanian mengutarakan kritik kondusif dengan berbagai alternatif solusinya kepada para pengambil kebijakan  merupakan langkah yang sangat terpuji. Untuk itu, gerakan moral para guru dalam  menyuarakan nuraninya itu perlu mendapat dukungan dari semua pihak, karena sikap mereka merupakan refleksi dari prinsip-prinsip demokrasi pendidikan yang harus dikedepankan. 
Termasuk pemaksaan kehendak harus memberikan nilai KKM bagi peserta didik yang seharusnya tidak memenuhi syarat harus berani untuk disuarakan. Pemaksaan kehendak dari kelompok tertentu kepada guru untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji harus segera diakhiri
Guru tidak usah khawatir bila ada intimidasi dalam menjalankan profesinya. Terlebih lagi para guru sekarang lebih bebas untuk mengutarakan pendapatnya seiring dengan nafas reformasi yang terus bergulir dengan ditandai munculnya perlindungan hukum bagi guru. Perlindungan hukum ini sejalan dengan amanat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya pasal  39. Perlindungah hukum ini  salah satunya harus wajib  diberikan oleh pemerintah.
            Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen secara eksplisit disebutkan bahwa para guru berhak mendapatkan perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, intimidasi, perlakuan diskriminatif, atau perlakuan tidak adil  dari pihak peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain (ayat 3).  Di samping itu dalam ayat 4 juga ditegaskan bahwa para guru berhak mendapatkan perlindungan profesi terhadap  pemutusan hubungan kerja yang tidak  sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lainnya yang dapat menghambat  guru dalam melaksanakan tugasnya.
Di samping itu telah terbit payung hukum yang lebih detail melalui Permendikbud No. 10 tahun 2017 tentang Perlindungan  bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan  yang mencakup perlindungan hokum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak  atas kekayaan intelektual.
Sudak bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa guru berada dalam posisi yang lemah bila dikomparasikan dengan sekolah atau istitusi tempatnya bekerja. Sekolah mempunyai otoritas mengeluarkan guru, sedangkan guru sebagai pegawai biasa tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Guru sangat tergantung kepada sekolah sebagai majikannya. Maka, secara  moral bila pemeringah ingin secara total membenahi bidang pendidikan, perlindungan guru perlu mendapatkan prioritas dibandingkan yang lain. 
            Untuk  itu sikap kritis para guru itu diharapkan tidak memunculkan sikap negative thinking . Kita percaya sikap mereka itu masih dalam batas normatif dan mereka masih konsisten memegang sikap profesionalismenya sebagai guru. Oleh karena pemerintah perlu menanggapinya dengan penuh kearifan, empatik, terbuka, dan peka untuk selanjutnya mengambil langkah kongkrit dalam upaya mencarikan solusi terbaik. Sikap responsif dan empatik perlu lebih diprioritaskan ketimbang sikap defensif, arogan, dan birokratis. Sikap defensif dengan tudingan yang bermacam-macam tidak akan menyelesaikan masalah melainkan  akan menambah permasalahan baru yang menyulitkan semua pihak.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya

SMK Wiyasa Magelang
Alumni Magister Pendidikan
UST Yogyakarta

Sabtu, 10 Juni 2017

Animasi Film Tradisi



Oleh
Ch. Dwi Anugrah

Beberapa tahun terakhir dunia animasi atau gambar yang digerakkan secara mekanik elektronis Indonesia menunjukkan geliatnya. Beberapa studio animasi mulai bermunculan mulai dari genre yang  menimba ide di belantara tradisi, seperti Mahabharata, Ramayana. Legenda Timun Emas, Bawang Merah-Bawang Putih, Sangkuriang sampai  era kekinian seperti  Janus Prajurit Terakhir, Homeland, Keloloden, dan sebagainya.
Pendidikan formal animasi di fakultas desain pun mulai diadakan setelah sebelumnya para animator belajar secara otodidak atau bersekolah ke luar negeri. Kendala teknis perlahan mulai  terlampaui. Film iklan, maraknya produksi video klip  sebagai mara rantai  produksi  album musik, pembuatan wallpaper untuk komputer dan teknologi ponsel memberi sinyal bahwa  dunia animasi kita  sedang tumbuh seperti halnya  kmik dalam seni populer Indonesia.
Di samping itu riak animasi di tanah air juga didukung  oleh lahirnya berbagai  assosiasi  yang menjadi arena penting pertumbuhan animasi. Di antara asosiasi film animasi Indonesia adalah ANIMA yang menampung gagasan animasi  berorientasi pada seni eksperimentasi, AINAKI yang konsen pada pendidikan dan ANIMATOR FORUM  yang fokusnya pada perkembangan animasi tiga dimensi. Diseminasi, distribusi, serta apresiasi film-film animasi lokal banyak terbantu oleh keberadaan dan peran asosiasi ini.
Untuk mengangkat cerita masa lampau  yang bersumber dari legenda dan cerita rakyat  untuk dihadirkan di masa kini tentu meniscayakan  perubahan signifikan di segala sisi. Perubahan ini  merupakan  konsekuensi  dari upaya aktualisasi cerita di masa sekarang.
Film  Mahabharata misalnya, tokoh-tokoh baru yang sebelumnya tidak ada dalam komik RA Kosasih yang legendaris itu, dalam animasi mulai dibuat  tokoh-tokoh fiksi  yang dihadirkan agar  suasana cerita menjadi semakin menarik bagi penonton sekarang, seperti munculnya tokoh “Codot Ijo” yang merupakan telik sandinya (mata-mata) Sengkuni. Codot Ijo divisualisasikan  sebagai lelaki  yang memakai ikat kepala, berkumis memanjang lancip dan berbaju rompi.
Di samping Codot Ijo, juga terdapat karakter tambahan seperti Raksasa Kribo yang digambarkan  sebagai seorang banci  yang memakai rambut palsu  dengan tubuh tambun. Dalam animasi ini juga dijumpai tokoh Botho Bajang yang merupakan potret raksasa jelmaan aji Candrabirawa milik Raden Narasoma, pangeran dari Kerajaan Mandaraka  saat bertanding dengan Pandu Dewanata, raja Hastinapura  dalam memperebutkan Dewi Kuntitalibrata dalam sayembara di Negeri Mandura. Botho Bajang digambarkan seperti monster-monster modern yang besar dengan  badan gempal dan kepala  botak. Raksasa ini terkesan seperti penganut aliran  Punk dalam  kehidupan sekarang.
Lain lagi dalam cerita Roro Jonggrang. Ketika Bandung Bandawasa membangun candi dengan dibantu oleh para sekawanan jin. Para jin itu  digambarkan  seperti sekelompok  orang modern yang tengah membangun sebuah gedung besar bertingkat  di mana lalu lalang truk  untuk mengolah semen  dan orang-orang yang memakai helm menjadi latarnya.
Sebagaimana legenda mengenai Prambanan dan Candi Seribu, Roro Jonggrang mulai khawatir jika Bandung berhasil  memenangkan sayembara. Maka ia menyuruh  patihnya untuk memerintahkan rakyatnya agar menumbuk lesung supaya ayam berkokok sebagai  tanda pagi menjelang dan Bandung Bandawasa gagal  memenuhi janjinya.
Ilustrasi-ilustrasi dalam animasi tersebut pada dasarnya merupakan  gambaran bahwa  mengangkat  cerita-cerita bernuansa tradisi bukanlah tanpa cakrawala inovasi. Kiat representasi merupakan  kerja deformasi. Dengan kata lain, menghadirkan yang lama  adalah juga menciptakan yang baru agar sajian menjadi menarik dan komunikatif serta tidak meninggalkan nilai edukasi.

Teknik Bercerita
            Sebagai sebuah film yang diadopsi dari cerita oral di tengah komunitas, para animator tidak bisa tidak, harus  menggunakan teknik  bercerita yang berbeda. Bagaimanapun, transformasi  cerita lisan ke gambar, selanjutnya  ke animasi bukanlah  proses yang sederhana.  Oleh karena itu, para animator berusaha seoptimal mungkin  untuk menggunakan  beragam teknik  dalam menyampaikan pesan yang dibawa untuk disampaikan kepada penonton (Najib Kailani, 2006).
            Cerita Malin Kundang misalnya, dibuka dengan tiga baris  kata yang diiringi  irama seruling Melayu yang mendayu-dayu : ”Kebanyakan sekarang ini orang lupa bahwa Indonesia tidak hanya kaya akan  kekayaan alamnya. Salah satu kekayaan terpendamnya adalah nilai-nilai  moral dan kultural yang disampaikan dari mulut ke mulut oleh nenek moyang kita. Cerita ini berkisah tentang seorang anak  durhaka yang dikutuk menjadi batu....” Cerita yang sudah melenda ini disadur dari cerita rakyat Sumatera Barat. Ditulis dan diceritakan kembali oleh penulisnya.
            Demikian juga, cerita Prambanan (Roro Jonggrang)  diawali  dengan beberapa  kalimat: “Begitu banyak legenda di negeri kita ini yang memiliki nilai sejarah dan unsur pendidikan  yang baik dan disampaikan dalam berbagai macam versinya. Salah satunya adalah versi dalam cerita ini. Film ini  hanyalah  khayalan seorang anak  yang gemar membaca. Ia bermimpi ikut terlibat dan menyaksikan terjadinya Candi Prambanan yang terkenal itu.....”
            Namun tidak semua film disampaikan dengan narasi  teks sebagaimana tergelar di atas.  Film Bawang Merah dan  Bawang Putih, misalnya diawali dengan narator yang berucap: “Tersebutlah sebuah kisah, di sebuah desa yang damai dan tentram, terdapat dua perempuan yang berbeda sikap dan perilaku ....” Teknik-teknik bercerita tersebut  merupakan gambaran  dari siasat para animator untuk menjembatani  jurang antara bahasa lisan dengan tradisi visual.
            Teknik bercerita tersebut di atas terkesan  sangat verbal di tengah kondisi yang dilingkupi  oleh dunia visual baik iklan  maupun film—film animasi produk  Jepang dan Amerika sekarang. Jika kit menyaksikan  film-film animasi produk  luar, bahasa visual  menjadi satu-satunya teknik penceritaan  yang ditampilkan, sehingga keliaran  imajinasi penonton diberi ruang yang luas. Di titik ini terasa ada yang tersendat dalam transformasi komik  ke animasi. Beberapa teknik yang ada menampilkan  bahasa verbal, sehingga hampir disebut sebagai bahasa komik yang  dipindah  wadah ke animasi, belum sampai ke bahasa visual itu sendiri.
            Tak bisa dinafikan, sampai saat ini  film animasi di Indonesia  telah dipercaya sebagai medium  edukasi yang efektif bagi  anak-anak. Dunia anak diandaikan  sebagai gurun imajinasi yang membutuhkan  katalisator yang sensitif dengan  dunia mereka.  Film animasi yang kaya bahasa visual  dan mampu mencipta  dunia utopia di luar dari dunia  nyata  telah ditahbiskan sebagai medium edukasi  tersebut. Karena asumsi inilah, film  animasi di Indonesia  selalu dibuat  untuk segmen  anak-anak, sehingga manafikan animasi  yang dibuat untuk kalangan remaja dan orang dewasa.
            Asumsi dominan tersebut pada gilirannya  mendorong para produser  untuk mengangkat kisah-kisah dan legenda –legenda yang sarat muatan pendidikan untuk difilmkan. Film Malin Kundang, Bawang Merah dan Bawang PutihPetualangan si Kancil  hingga Mahabharata paling tidak menjadi contoh dari cara pandang ini. Sekilas nuansa edukasi terasa kental di film-film ini. Keragaman etnik dan kecerdasan seperti yang hadir  hadir di film Petualangan si Kancil, penghormatan orang tua di dalam film Malin Kundang  dan perilaku  terpuji di Bawang Merah dan  Bawang Putih merupakan sebagian contoh dari gambaran ini.

Serbuan Animasi Impor
            Yang masih menjadi persoalan sekarang ini adalah film animasi Indonesia sampai saat ini masih tertatih-tatih mengimbangi serbuan  animasi dari film-film impor. Sebut saja film animasi produk Jepang dan Amerika. Bahasa visual dalam film impor ini menjadi satu-satunya  teknik penceritaan yang ditampilkan, sehingga keliaran ranah imajinasi penonton diberi ruang yang luas. Di samping itu film-film ini mengusung semangat having fun dan tidak menggurui.  Beberapa film animasi  Indonesia terkesan serius dan sangat menggurui sehingga kebanyakan anak-anak sekarang  kurang begitu tertarik.
            Di samping itu  masalah distribusi untuk film animasi tradisi masih sangat terbatas, belum menjangkau publik  dalam tataran yang lebih luas. Terlebih lagi  hanya beberapa stasiun televisi yang membuka ruang animasi tradisi ini. Kebanyakan stasiun televisi lebih menyukai  film-film animasi produk luar. Hal ini jelas terkait dengan aspek  profit dan segmen  industrial yang menjadi misi utama mereka, terutama untuk menggaet rating pemirsa.
            Terlepas dari paradosk  tersebut, masih ada  terselip harapan di masa datang. Maraknya studio yang bergiat membuat film animasi Indonesia, di samping lahirnya  banyak asosiasi  yang konsen dengan animasi, maka jagat animasi Indonesia tentu akan berkembang  dengan ragam yang luas. Pada saatnya  nanti film  animasi tidak lagi semata dibuat  sebagai tontonan  anak-anak, melainkan  juga untuk remaja dan dewasa, sehingga  film animasi pada gilirannya  akan dipandang  sebagai genre film cerita lainnya  yang diapresiasi luas dan mendapat tempat di hati pemirsanya.
            Untuk itu sekarang ini komitmen dan kepedulian semua pihak ditantang untuk bisa lebih memberikan ruang hidup pada film-film animasi  tradisi yang syarat akan nilai humaniora ini untuk bisa  merambah ke semua kalangan agar seni tradisi tetap survival di tengah gempuran globalisasi. Kalau tidak    kita yang peduli lantas siapa lagi ?  Sebuah ekspetasi yang tentunya tidak berlebihan. Kontribusi semua kalangan sangatlah dibutuhkan agar komunitas negeri ini dapat menjadikan nilai seni tradisi sebagai pijakan dalam meniti ruang kehidupan yang normatif melalui berbagai media termasuk film animasi ini.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya

SMK Wiyasa Magelang
Sikap  Kritis  Guru



Oleh
Ch. Dwi Anugrah

Menarik sekali tulisan  Doni Koeseoma (Kompas, 6/5- 2017) bertajuk “Sindrom Ular Karet”. Dieksplanasikan  persoalan  utama dunia pendidikan  adalah kualitas pembelajaran. Kebijakan pendidikan  mestinya  menumbuhkan  semangat belajar otentik.  Namun sampai saat ini kebijakan pendidikan sudah  terjebak dalam sindrom ular karet yang berkepanjangan.  Sindrom ular karet  bisa menggambarkan dengan lebih ekspresif  dan imajinatif tentang manajemen pendidikan.
Bila ditelisik lebih jauh,  sekarang ini kultur manipulasi selalu mewarnai kinerja pendidikan di Indonesia.  Mulai dari  ketidakjujuran dan kebocoran soal UASBN. Kebocoran bisa bermula dari  oknum guru di KKG (Kelompok Kerja Guru) atau  MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang bertanggung jawab membuat soal, di kepala sekolah, dan tempat-tempat penggandaan soal UASBN.
Kasus di atas merupakan kultur ketidakjujuran yang telah menjadi semacam kanker yang menggerogoti  tubuh pendidikan di Indonesia. Meskipun UN (Ujian Nasional)  atau UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional)  tidak lagi menjadi syarat  utama kelulusan, kebocoran soal tetap terjadi layaknya agenda rutin yang setiap tahun mesti terjadi. Berbagai praktik kecurangan masif dan sistematis selama pelaksanaan ujian  tetap berlangsung.
Di samping itu, maraknya katrol nilai  peserta didik  harus memiliki nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)  meskipun peserta didik tersebut tidak layak mendapatkan nilai KKM seakan sudah menjadi rutinitas budaya yang dianggap ringan. Malahan pada  nilai sikap kebanyakan para guru memberikan nilai B, agar peserta didik tersebut naik kelas.
Bila hal itu dilanggengkan, semakin memperparah kegagalan pendidikan kita.  Pendidikan kita telah gagal melahirkan individu pembelajar  otentik yakni mereka yang mau belajar dari kelemahan dan kekurangannya. Di sini peran sentral guru untuk membantu peserta didik menjadi pembelajar  yang baik menjadi sangat signifikan.
Namun faktanya masih banyak dari oknum guru atau kepala sekolah yang melakukan perbuatan tercela dengan mengorbankan   profesinya. Seharusnya mereka menjadi panutan dalam membumikan karakter kejujuran, tetapi realisnya malah bertolak belakang.
Fenomena tersebut kiranya perlu dicari akseptasi atau pengakarannya. Dalam pusaran ketikdakjujuran yang marak terjadi, alangkah bijaknya kalau semua pihak bisa mengupas dan mengkaji permasalahannya dari berbagai sudut pandang yang lebih obyektif. Sementara ini tudingan kiranya banyak dilontarkan ke pihak sekolah baik kepala sekolah maupun guru.

Keterpaksaan Nilai KKM
Bila ditelisik lebih jauh, posisi guru memang masih rentan dengan berbagai intervensi dalam menjalankan profesinya. Sebagai contoh nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang rata-rata ditentukan oleh sekolah dengan standar tinggi kadang para guru juga mengeluh. Guru sering dituntut kepala sekolah menentukan standar nilai KKM tinggi agar reputasi sekolah di mata publik baik. Di samping itu kepala sekolah  juga mendapat instruksi dari  lembaga di atasnya atau pemerintah daerah untuk memberikan nilai KKM tinggi. Dengan standar nilai tinggi tentunya  daerah juga akan dapat  imbasnya, bahwa pembinaannya kepada sekolah-sekolah di bawah jajarannya  berlangsung dengan baik  dan menunjukkan hasil signifikan.
Para guru sendiri dengan penuh keterpaksaan harus memberikan nilai KKM kepada peserta didik  walaupun realisnya mereka belum  mampu memenuhi standar nilai tersebut. Terlebih lagi nilai KKM sebagai syarat agar peserta didik boleh mengikuti Ujian Nasional atau kenaikan kelas. Hal yang sangat mengkhawatirkan peserta didik akan terdemotivasi dalam belajar. Mereka akan malas belajar, karena sudah tertanam keyakinan bahwa nilai mereka akan diberi dalam standar nilai KKM oleh guru. Dengan demikian semangat kompetitif untuk mendapatkan prestasi tereduksi oleh  sistem penilaian KKM yang ditentukan oleh sekolah.
Tak bisa dinafikan, berbagai kebijakan dan bergulirnya wacana pendidikan kita belakangan ini justru telah menimbulkan peta konflik horizontal di dalam komunitas pendidikan. Konflik pendidikan itu terjadi dalam ikon pertentangan di antara sesama guru (mereka yang cemas kehilangan pekerjaan karena tekanan sekolah); guru dengan orangtua  (mereka yang cemas anaknya gagal); guru dengan peserta didik (mereka yang cemas akan masa depannya); dan guru dengan kepala sekolah (mereka yang ingin sekolah yang dipimpinnya mengalahkan sekolah lain). Pertentangan lebih jauh  menyangkut guru dengan Kepala Dinas Pendidikan (mereka yang ingin lembaga atau departemennya berprestasi); serta pertentangan guru dengan pimpinan daerah (yang ingin daerahnya dipandang nomor satu), dan seterusnya  (Susi Vitri,  28/7-2007).
Tak bisa dinafikan guru kini terjebak di tengah-tengah pusaran konflik tersebut antara mementingkan nama baik sekolah dan prestasi riil peserta didik; antara menjaga kondite daerah dan profesionalisme kerja; antara keinginan membantu peserta didik dan berbuat curang, Semua itu dilakukan hanya semata-mata ditujukan demi menjaga  citra dan peringkat (rangking); yang saat ini sudah menjadi  semacam berhala dalam pendidikan di negeri ini.
Pemberhalaan citra dan peringkat inilah yang memupuk dan melestarikan kultural kompetitif dalam dunia pendidikan kita. Bukannya mendorong kebersamaan dan kepedulian. Wacana pendidikan kita saat ini  justru  dengan amat bangga dan bersemangat laksana api yang berkobar  mengelu-elukan budaya persaingan. Dimana-mana orang bicara atas nama “persaingan global, persaingan global, era globalisasi…..”
Kata-kata tersebut sekarang ini seperti mantra saja. Melesat tanpa kendali bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Kita tidak  lagi menyadari bahwa budaya semacam ini lahir karena kebijakan pendidikan yang hanya mementingkan logika pasar. Di sini guru dikorbankan demi kepentingan yang tidak berpihak ke nurani guru sebagai pendidik.
Para guru mau bersuara tidak mempunyai kekuatan. Posisi mereka merasa terancam ketika  bersikap kritis. Ada yang mendapat stigma tidak loyal, oposan, pembangkang, dan berbagai terminologi yang menyudutkan guru. Seharusnya sikap  kritis konstruktif dapat menjadikan lembaga tempat guru bernaung akan lebih berkembang.  

Sikap Kritis
Dengan demikian sudah saatnya sekarang ini para guru untuk berani bersiap kritis dalam menyuarakan nuraninya. Bila keberanian untuk mengutarakan pendapatnya itu tidak dikeluarkan, niscaya publik akan mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Keberanian mengutarakan kritik kondusif dengan berbagai alternatif solusinya kepada para pengambil kebijakan  merupakan langkah yang sangat terpuji. Untuk itu, gerakan moral para guru dalam  menyuarakan nuraninya itu perlu mendapat dukungan dari semua pihak, karena sikap mereka merupakan refleksi dari prinsip-prinsip demokrasi pendidikan yang harus dikedepankan. 
Termasuk pemaksaan kehendak harus memberikan nilai KKM bagi peserta didik yang seharusnya tidak memenuhi syarat harus berani untuk disuarakan. Pemaksaan kehendak dari kelompok tertentu kepada guru untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji harus segera diakhiri
Guru tidak usah khawatir bila ada intimidasi dalam menjalankan profesinya. Terlebih lagi para guru sekarang lebih bebas untuk mengutarakan pendapatnya seiring dengan nafas reformasi yang terus bergulir dengan ditandai munculnya perlindungan hukum bagi guru. Perlindungan hukum ini sejalan dengan amanat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya pasal  39. Perlindungan hukum ini  salah satunya harus wajib  diberikan oleh pemerintah.
            Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen secara eksplisit disebutkan bahwa para guru berhak mendapatkan perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, intimidasi, perlakuan diskriminatif, atau perlakuan tidak adil  dari pihak peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain (ayat 3).  Di samping itu dalam ayat 4 juga ditegaskan bahwa para guru berhak mendapatkan perlindungan profesi terhadap  pemutusan hubungan kerja yang tidak  sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lainnya yang dapat menghambat  guru dalam melaksanakan tugasnya.
Di samping itu telah terbit payung hukum yang lebih detail melalui Permendikbud No. 10 tahun 2017 tentang Perlindungan  bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan  yang mencakup perlindungan hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak  atas kekayaan intelektual.
Sudak bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa guru berada dalam posisi yang lemah bila dikomparasikan dengan sekolah atau istitusi tempatnya bekerja. Sekolah mempunyai otoritas mengeluarkan guru, sedangkan guru sebagai pegawai biasa tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Guru sangat tergantung kepada sekolah sebagai majikannya. Maka, secara  moral bila pemeringah ingin secara total membenahi bidang pendidikan, perlindungan guru perlu mendapatkan prioritas dibandingkan yang lain. 
            Untuk  itu sikap kritis para guru itu diharapkan tidak memunculkan sikap negative thinking . Kita percaya sikap mereka itu masih dalam batas normatif dan mereka masih konsisten memegang sikap profesionalismenya sebagai guru. Oleh karena pemerintah perlu menanggapinya dengan penuh kearifan, empatik, terbuka, dan peka untuk selanjutnya mengambil langkah kongkrit dalam upaya mencarikan solusi terbaik. Sikap responsif dan empatik perlu lebih diprioritaskan ketimbang sikap defensif, arogan, dan birokratis. Sikap defensif dengan tudingan yang bermacam-macam tidak akan menyelesaikan masalah melainkan  akan menambah permasalahan baru yang menyulitkan semua pihak.
            Tinggal sekarang ditungu   bentuk kongkret wujud kekritisan guru. Karena kadang mereka sikap kritisnya hanya di belakang. Mereka ketika di forum diam, tetapi ketika di belakang pada gerundelan. Karena  perlu  disadari, sikap kritis era sekarang ini memang diperlukan.  Tentunya harus dibarengi  dengan konsep solutif. Bila tidak sependapatt dengan suatu kebijakan, tentunya diperlukan sikap kritis yang dibarengi dengan ide-ide pencerahan termasuk  alternatif  jalan keluarnya. Sikap kritis bisa disuarakan lewat berbagai media baik media cetak maupun elektronik.



Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang

Alumnus Magister Pendidikan UST Yogyakarta 
Kebijakan Guru  8 Jam di Sekolah


Oleh Ch. Dwi Anugrah

Seperti yang dilansir oleh banyak media,  Mendikbud Muhadjir Effendi melakukan gebrakan kebijakan yakni guru pns atau non pns bersertifikasi hanya diwajibkan mengajar 8 jam per minggu. Aturan tersebut mengeliminasi kebijakan sebelumnya yang mewajibkan guru mengajar dengan kumulatif 24 jam per mingu.
Selama ini kewajiban mengajar minimal 24 jam per minggu dijadikan syarat untuk mendapatkan tunjangan profesi guru. Jika tidak memiliki 24 jam mengajar tatap muka dalam kelas, guru tidak memperoleh tunjangan. Syarat ini juga berlaku bagi guru honorer penerima insentif dan tunjangan fungsional baik pns maupun non pns.
           Nantinya guru cukup mengajar di satu sekolah saja. Harapan dari kebijakan tersebut  para guru terus memacu diri dan memahami pentingnya profesi yang sedang dijalani. Konsekuensinya guru harus tetap berada di sekolah selama 8 jam mulai hari Senin sampai dengan Jumat. Pemberlakuan berada di sekolah selama 8 jam perhari itu diperlakukan pada semua guru yang mendapatkan  tunjangan profesi, baik sekolah negeri maupun swasta.
Dengan berada di sekolah selama 8 jam sehari, maka guru tidak perlu lagi keluar sekolah  lain untuk mengajar guna mendapatkan  tunjangan sertifikasi. Jika tidak ada mata pelajaran, guru harus  tetap berada disekolah untuk mengadakan  tatap muka di luar kelas dengan       peserta didik      atau    melakukan        pendampingan personal. Kebijakan ini dilakukan untuk lebih memperkuat program    pendidikan     karakter  yang selama ini menjadi parameter dalam segala lini kehidupan (http://news.okezone.com/read/2016/12/06/65/1560281/mendikbud-buat-aturan-guru-sertifikasi-wajib-di-sekolah-8-jam).

Konsentrasi Terpecah
Kebijakan tersebut kiranya perlu menjadi bahan pertimbangan semua pihak, karena memang fakta yang ada di lapangan  tugas guru terpecah menjadi beberapa konsentrasi yang harus dilakukan, terutama yang beban mengajarnya kurang dari 24 jam tatap muka di kelas. Mereka harus pontang panting mencari tambahan di luar satuan adiministrasi pangkal atau sekolah induknya. Beruntung yang satu kota, ada juga yang mengajar di luar kota dengan jarak tempuh puluhan kilometer. Secara faktual para guru tersebut juga sudah mengalami kelelahan fisik di perjalanan. Mana mungkin bisa mengajar dan mendidik  peserta didik secara optimal. Apalagi ada sekolah yang tidak mau kompromi satu hari para guru harus mengajar di dua sekolah sekaligus, bahkan ada yang sampai 3 sekolahan. Kondisi tersebut jelas tidak akan bisa efektif dan bila dilanjutkan nasib peserta didik yang menjadi korban, karena gurunya sudah kehabisan energi di perjalanan.
Menyikapi gagasan Mendikbud  tersebut, perlunya ada langkah-langkah kebijakan strategis yang perlu dilakukan oleh pemerintah. Pertama, sosialisasi program kebijakan sampai tingkat akar rumput, agar semua dapat menerima kebijakan dalam satu persepsi atau satu kesepahaman. Kalau langkah kebijakan ini tidak dilakukan ada kekhawatiran, pemahaman kebijakan hanya sampai pada kalangan tertentu saja, sehingga para guru yang menerima kebijakan tidak dapat menerima secara total. Dampaknya jelas, masing-masing guru akan menyimpulkan kebijakan menurut  persepsinya masing-masing. Dengan demikian guru nanti akan menjadi korban. Karena sudah bukan rahasia lagi, sementara ini kebijakan yang diterima dari pusat tidak dipahami oleh pejabat-pejabat di tingkat daerah, sehingga informasi yang disampaikan tentunya salah, sehingga guru yang menjadi korban. Tak jarang ketika para pejabat Dinas Pendidikan tersebut dikonfirmasi akan informasi yang disampaikan salah persepsi, mereka tidak dengan legawa minta maaf, tapi malahan tidak berkenan.
Kedua, Peraturan Menteri perihal kebijakan baru dengan diktum guru mengajar 8 jam tatap muka atau 40 jam di sekolah perlu segera diterbitkan dan diterima oleh masing-masing guru dalam waktu yang tidak terlalu lama. Paling tidak bulan  Mei  2017 kebijakan dengan segala perangkat  regulasinya sudah diterima oleh para guru. Dengan demikian para guru yang kekurangan jam, sudah persiapan untuk kembali ke sekolah induk. Di samping itu, juga dapat meringankan beban waka kurikulum masing-masing sekolah, karena tiap bulan Mei sampai Juni  waka kurikulum mempunyai agenda rutin  untuk menyusun jadwal tahun pelajaran baru diharmonkan dengan komposisi personil masing-masing guru yang tersedia.  Apabila kebijakan tersebut waktunya mepet dengan agenda penyusunan pembagian tugas mengajar, tentunya penyusunan jadwal pembelajaran dan pembagian tugas mengajar guru akan carut marut dalam tataran implementasinya.
Ketiga, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi kinerja guru secara komprehensif. Monitoring dan evaluasi ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana tingkat capaian guru atas kinerjanya, baik yang jam mengajarnya banyak atau tidak. Untuk yang jumlah jamnya banyak  aspek penilaian bisa dilihat dari resultansi kinerjanya yang dapat terukur. Sedangkan mereka yang jumlah jamnya minimal aspek penilaian dapat dilakukan resultansi kinerja  di sekolah tersebut yang ditambah dengan pembelajaran pendidikan karakter. Apabila temuan dari monitoring dan evaluasi menunjukkan indikator kinerja guru rendah, sanksi tegas perlu segera diaplikasikan. Seperti yang dirasakan saat ini, tunjangan sertifikasi dirasakan tidak adil. Guru yang kinerjanya bagus atau tidak tunjangannya tetap sama. Guru berprestasi atau tidak juga tunjangan yang diterima sama, malahan yang kadang bikin guru-guru berprestasi mengelus dada, rekan kerjanya yang biasa-biasa saja malah tunjangan yang diterima lebih besar. Harusnya para guru yang berprestasi ini mendapat reward atas capaian yang sudah diraih.
Keempat, mengoptimalkan kinerja pengawas sekolah. Peran pengawas sekolah ini sangat strategis dalam melakukan pendampingan kepada kepala sekolah dan guru guna meningkatkan kualitas pendidikan di masing-masing satuan pendidikan. Namun, sampai saat ini masih dirasakan peran mereka belum optimal. Kadang ketika melakukan supervisi di sekolah tak lebih hanya transit di ruang kepala sekolah, tidak banyak melakukan pendampingan langsung  kepada kepala sekolah dan guru dalam tataran praksis, seperti menyupervisi guru saat proses pembelajaran atau melakukan pendampingan administrasi guru secara langsung sehingga persepsi guru sama dalam menerjemahkan pokok-pokok aturan administrasi guru. Padahal kalau ditelisik lebih jauh secara garis besar ada dua kompetensi yang harus dimliki, yakni kompetensi menilai dan kompetensi membina. Wawasan pengawas sekolah dalam bidang penilaian sangatlah dibutuhkan. Mulai dari memahami konsep penilaian, jenis penilaian, indikator penilaian, instrumen penilaian, mengolah hasil penlaian, sampai kepada  memanfaatkan hasil penilaian untuk pembinaan, merupakan hal wajib yang harus dikuasai pengawas sekolah. Selain itu, melaksanakan penilaian dengan kiat yang tepat juga merupakan bagian dari komeptensi yang tidak boleh dilupakan. Sehubungan dengan ini, ada empat kelompok tugas pengawas sekolah yaitu: (1) merencanakan penilaian yang dilengkapi dengan instrumennya; (2) melaksanakan penilaian sesuai dengan kaidah-kaidah  penilaian; (3) mengolah hasil penilaian dengan teknik-teknik pengolahan yang ilmiah; dan (4) memanfaatkan hasil penilaian untuk berbagai keperluan.Kompetensi dalam membina juga demikian halnya. Pengawas sekolah haruslah memahami konsep pembinaan, jenis-jenis pembinaan, strategi pembinaan, komunikasi dalam membina, hubungan antarpersonal dalam membina, dan sebagainya. Sekaitan dengan pembinaan, pengawas sekolah juga harus piawai merencanakan pembinaan, melaksanakan pembinaan, menilai hasil pembinaan, dan menindaklanjuti hasil pembinaan. Dengan kompetensi-kompetensi itu tentu keberadaan pengawas di satuan pendidikan benar-benar diharapkan dan dirindukan.Berdasarkan hal itu tugas pokok pengawas sekolah dapat dirumuskan selaras dengan ayat 1, pasal 2, Kepmenpan Nomor 118/1996 sebagai beirkut, ”Pengawas Sekolah mempunyai tugas pokok menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggungjawabnya. 
Dengan demikian seharusnya para pengawas tersebut dengan penuh kesadaran perlu membumikan kembali  tugas pokok utama  yang diembannya yaitu  memotivasi para kepala sekolah dan guru agar memiliki antusiasme  dan hati yang berkobar-kobar dalam  menemani perjalanan hidup para peserta didik di satuan pendidikannya.


Menguji     Mentalitas  
Wajib berada di sekolah 8 jam pada dasarnya menguji mentalitas guru harus mampu menyelesaikan semua kewajibannya. Semua pekerjaan  harus diselesaikan di sekolah. Peserta didik maupun  guru tinggal mengoptimalkan  perannya di lingkungan  sehingga tudingan dari berbagai pihak yang menyangsikan kinerja guru dapat terbantahkan.
Guru sekarang janganlah terjebak pada aspek rutinitas kerja yang mengerjakan hal-hal yang sama dari tahun ke tahun. Pada umumnya mereka tidak lagi berbeda dengan  manual worker yang cara kerjanya  sangat mekanistik, tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Sementara peserta didik sebagai customer memiliki pengalaman baru, pengetahuan yang beragam, dan terampil mengoperasionalkan teknologi baru (St. Kartono, 2016).
Sungguh sangat ironis, tidak sedikit sesama guru yang berhenti di golongan kepegawain tertentu  lebih dari delapan tahun, padahal cukup  dengan menyelesaikan  satu makalah penelitian tindakan kelas atau karya tulis ilmiah populer di media massa. Tentunya realitas tersebut sangat paradoksal dengan nasihat yang sering diucapkan di depan peserta didik bahwa mereka harus antusias dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan hidup.
Terlebih lagi guru di zaman kini telah memberandol harga dirinya dengan simbol materi. Menjadi ironis  ketika halaman parkir banyak sekolah kian riuh  dengan mobil para guru. Obrolan guru tak beranjak dari  persoalan gadget atau diskon di brosur berbagai foto atau banyak bermain Whatshap (WA) ketimbang membangun ruang dialog untuk  lebih progressnya kualitas pembelajaran yang diampu. Sementara itu sekolah sebagai lembaga akademis  sepi dengan karya guru-gurunya. Harga diri dianggap sepadan dengan  kebijakan makan di berbagai  gerai  bersama koleganya.  Jika situasi guru tersebut terjadi di sekolah swasta, implikasi peserta didiknya  yang datang hanya berkemampuan  mediocre. Implikasi mediocre  bisa diterjemahkan tidak jelek-jelek amat, tetapi juga tidak pernah unggul-ungul.  
Kalaupun itu terjadi  pada guru di sekolah negeri, mereka tidak pernah terusik  oleh fluktuasi naik turunnya jumlah peserta didik yang masuk.  Akan tetapi, situasi ironis tersebut kian mengukuhkan kekhawatiran, bahwa guru  memang tidak lebih dari pegawai administratif  dengan rutinitasnya. Di zaman kini, sebagaian besar jumlah guru tidak lagi berada dalam tekanan untuk memenuhi  kebutuhan dasar atau mencukupkan kondisi finansial yang dimiliki, maka pergeseran kebutuhan  guru tentunya mengarah pada aktualisasi diri.
Mengaktualisasikan diri dengan karya pengembangan diri akan menjadikannya  diperhitungkan di kancah intelektual. Guru yang demen diskusi, gemar bacaan mutakhir, dengan sendirinya akan mengangkat  harga dirinya. Dengan demikian, negara pantas memberikan  penghargaan finansial  secara lebih  lewat berbagai tunjangan, tanpa disertai cibiran sinis sesama pegawai bukan  guru.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait dengan  8 jam di sekolah kiranya perlu diapresiasi. Kiranya kebijakan tersebut tentunya juga dilandasi untuk mengoptimalkan proses pendidikan agar resultansinya menjadi  lebih baik. Dengan kewajiban guru berada di sekolah  selama 40 jam perminggu atau 8 jam perhari diharapkan tidak ada lagi guru  yang harus berpindah-pindah  dari sekolah satu ke sekolah lain hanya untuk memenuhi  kewajiban mengajar  24 jam perminggu  sebagaimana  yang berlaku selama ini.
Dengan kebijakan  tersebut  diharapkan pendidikan karakter  bagi para peserta didik juga berjalan efektif karena guru tidak akan  dibebani  dengan tugas-tugas administratif yang rumit  tetapi lebih fokus. Hal itu tentunya selaras  program revolusi mental  yang  diharapkan  dapat terwujud melalui  pendidikan karakter yang lebih intensif dilakukan para guru di sekolah.
Namun perlu disadari, peraturan baru akan menjadi sia-sia ketika orientasi  guru masih  berkutat pada pemenuhan hak materi, tanpa dilandasi semangat  etos kerja. Untuk itu guru dalam melaksanakan kebijakan perlu dilandasi dengan semangat kejujuran, kedisiplinan, tertib administrasi dan akuntabilitas dalam implementasinya  sesuai dengan norma dan regulasi yang berlaku.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang