Selasa, 12 Juli 2016


MEREBAK GEMERLAPNYA  MUSIK
CAMPUSARI

Oleh Ch. Dwi Anugrah


Kangeku tanpa upama
Mung sliramu kang dadi telenging ati

Nanging tansah ngleledha
Ngelingana nalika ari kepungkur ………

Wus dangu anggonku nunggu
Pitung sasi lawase nggonku ngenteni

            Bagi yang terbiasa dan dhemen tembang campursari, syair di atas tidak terasa asing. Bawa Pangkur Pelog 6 dilanjutkan langgam “Kangen”, ciptaan Manthous dengan penyanyi cantik asal Sragen yang suaranya mendayu-dayu Anik Sunyahni. Tembang tersebut seakan menjadi pelipur lara, di sela-sela kepenatan dan kesibukan menjalankan aktivitas sehari-hari.

Campursari identik dengan ritus pesta. Demikian yang terjadi di desa-desa hampir di seluruh penjuru kebudayaan Jawa belakangan ini. Hampir semua perayaan, pesta, dan upacara ritual menampilkan Campursari. Terlebih saat pesta Agustusan, desa dan perkampungan urban bakal nanggap campursari sebagai media penyaluran ekspresi seninya. Genre musik ini nyaris mengalahkan musik dangdut sekalipun. Padahal dangdut popularitasnya melebihi jenis musik industri lainnya. Setidaknya di wilayah Kebudayaan Jawa, mereka harus mengakui betapa dasyatnya pengaruh musik Campursari.

Campursari adalah formula paling akhir dari sinkretisme kesenian Jawa dalam hal ini musik. Bisa diingat kembali perjalanan musik di Jawa Tengah, taruhlah misalnya di tahun 40-an dengan munculnya lagu “Bengawan Solo” yang sampai saat ini masih membikin orang-orang mancanegara kesengsem. Karya komponis gesang itu disebut keroncong (semacam musik Portugis yang diartikulasikan secara lokal). Musik jenis itu mengalami evolusi lebih lanjut dengan munculnya generasi pencipta pada dekade berikutnya setelah Gesang di antaranya adalah Anjar Any. Di tahun 60-70 an mulai populer musik yang disebut berjenis langgam antara lain karya Anjar Any Yen ing tawang ana lintang. 

          Kemudian pada era 1980-1990 an musik-musik yang ada sebelumnya dicampur aduk sedemikian rupa dengan lagu-lagu lama yang diarensemen dengan format baru. Genre musik tersebut sering dikenal dengan sebutan campursari. Tokoh yang tidak asing pada waktu itu dan sekarang masih berkibar adalah Manthous dengan lagu-lagu legendarisnya seperti, Nyidhamsari, Tak Eling-Eling, Potretmu , Panjerina dan masih banyak lainnya yang telah diproduksi menjadi ribuan kaset maupun CD di pasaran bebas

     


                                            
                                         Semarak penyanyi campursari (Foto: Koleksi Pribadi)

Mudah Dicerna

        Kekuatan campursari sebagai genre musik tradisional adalah mampu menggring semua jenis musik masuk dalam garapannya. Di samping praktis, juga dapat  “mewakili” genre musik untuk memenuhi banyak keperluan. Bermula dari perpaduan keroncong dengan gamelan, sekarang malah bisa apa saja, dangdut, pop, musik rakyat, dan elemen musik jenis lainnya. Dia juga sangat menghibur. Mudah dicerna, tak banyak tuntutan kualitas atau profesionalisme konvensi yang ketat seperti genre musik klasik.

Di samping itu campursari juga mampu memberi image modern yang merefleksikan kehidupan perilaku komunitas pendukungnya. Anatomi general campursari  nampak pada perpaduan alat musik karawitan (pentatonis) dengan musik Barat (diatonis).Instrumen Barat yang biasa digunakan berupa alat musik keroncong. Meskipun begitu dia juga tidak menafikan masuknya  berbagai alat musik lain. Termasuk yang paling trend sekarang dicampur dengan dangdut dan musik pop lainnya.

                                                                                                                          Citra Modernitas

                 Fenomena campursari yang merebak dewasa ini merupakan ikon dari fenomena sosial budaya secara alami. Munculnya jenis musik ini merupakan refleksi komunitas Jawa sekarang yang sedang dalam kancah pergaulan interkultural dalam mengaktualisasikan modernitas. Senada dengan asumsi tersebut Rahayu Supanggah, Doktor Etnomusikologi dari STSI Surakarta itu mengungkapkan, bahwa citra modernitas yang ingin dicapai masih terbatas pada modernitas semu. Baru sosok visual atau menyentuh kulit luarnya saja. Hal itu ditandai dengan penggunaan referensi artifisial berupa teknologi instrumen Barat, seperti Keyboard dengan berbagai programnya yang berbau computerized.
            Selaras dengan pendapat Rahayu Supanggah, pengajar musik ISI Yogyakarta Budi Raharja mengungkapkan alasan pokok penggunaan Keyboard hanya alasan prestise dan praktis. Masyarakat menganggap alat berteknologi modern tersebut akan mengangkat prestise musik campursari secara holistik (Gong : 2001).
            Lepas dari berbagai diskursus yang melingkupi, namun realitasnya terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur campursari telah menjadi buah industri yang laris. Simak saja, dalam sebulan pasti ada dua atau tiga kaset yang beredar. Kaset-kaset campursari itu lahir dari perusahaan-perusahaan  rekaman di daerah seperti, Puspita Record, Dasa Record, Maju Lancar Record, Fajar Record, dan beberapa industri rekaman lainnya.
Secara kultural bagi komunitas pendukung campursari, jenis musik hibrida ini tidak bisa dipisahkan dengan Manthous, yang bukan saja sebagai primadona, tapi sekaligus raja yang menjadi pioner berkembangnya campursari. Manthous identik dengan campursari, begitu pula sebaliknya, campursari adalah Manthous.Bersama kelompok bentukannya Campursari Gunung Kidul (CSGK) adalah mentor yang menjadi pusat orientasi bagi yang memainkan musik kegemaran semua kalangan ini.
            Pengaruh yang kuat di daerah tidak bisa dielakkan dengan munculnya banyak epigon-epigon ke wilayah komunitas Jawa. Fenomena tersebut ditandai munculnya banyak kelompok. Di Kabupaten Mageang saja, katakanlah masing-masing kecamatan mempunyai 3 kelompok, maka kumulatif total grup bisa mencapai 63 kelompok. Sebagai contoh kalau kita naik ke daerah Srumbung lereng Gunung Merapi dapat dijumpai Grup Campursari “SIDO ASIH” dengan instruktur Agus Haryanto. Walau usianya masih kemarin sore, namun kelompok ini sudah dikenal  di seluruh Magelang. Malahan dengan pemain dan penyanyi yang masih relatif muda dan menggairahkan, sudah mampu menembus pasaran baik di Yogyakarta maupun Jakarta. Tak bisa ditinggalkan grup campursari “Jampi Sayah” Muntilan Magelang dengan lagu populernya “Manuke Cucak Rowo” yang mendulang sukses di pasaran publik.
            Klausul membanjirnya kelompok di berbagai daerah, bukan semata memunculkan persaingan yang semakin berat, tapi persoalan kualitas bakal menjadi bumerang eksistensi  campursari sendiri. Sekarang dengan  mudah bikin grup campursari, tanpa mempersiapkan kualitas musikal para pelakunya, sehingga kesannya adalah musik asal jadi. Karena itu campursari perlu lebih disosialiasikan secara faktual, baik melalui sarasehan, seminar, festival yang dilanjutkan dengan diskusi agar masing-masing kelompok tidak hanya memainkan kulitnya saja, tanpa melihat kedalamannya.
         Dilihat dalam konteks otonomi daerah campursari ini menarik, karena pertama-tama dia tumbuh menjadi industri dan kedua telah menunjukkan geliat dalam mengekspresikan budaya lokal yang selama ini mulai ada keterpenggalan generasi. Diharapkan dengan berkembangnya musik campursari ini dapat memberi nilai tambah, terutama sebagai tali perekat untuk lebih mengenalkan seni budaya Jawa yang sesungguhnya ke berbagai lapisan masyarakat.
                   


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang


Efektivitas Cooperative Learning



Oleh Ch. Dwi Anugrah

Seperti diketahui elaborasi  model pembelajaran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Model-model pembelajaran konvensional yang memposisikan peserta didik hanya sebagai obyek kini perlu  dikaji ulang dengan lebih mengaplikasikan model yang lebih modern. Sejalan dengan pendekatan konstruksionisme dalam pembelajaran, salah satu model  pembelajaran yang kini  banyak mendapat respon adalah pembelajaran  kooperatif atau cooperative learning.
Pada model cooperative learning peserta didik diberi kesempatan  berkomunikasi  dan berinteraksi sosial dengan  temannya  untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sementara guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator aktivitas peserta didik. Implikasinya dalam pembelajaran ini aktivitas pengetahuan dibangun sendiri secara pro aktif oleh peserta didik dan mereka bertanggung jawab atas  hasil pembelajarannya.
Secara sederhana kata cooperative berarti mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu tim. Dengan demikian cooperative learning dapat diartikan belajar bersama-sama, saling membantu  antara satu dengan lainnya dalam belajar dan memastikan bahwa setiap peserta didik  dalam kelompok  dapat mencapai tujuan  atau tugas yang telah ditentukan sebelumnnya. Lebih jauh lagi dapat dipahami bahwa cooperative learning terkait erat dengan teknik pengelompokan yang di dalamnya peserta didik dapat bekerja secara terarah pada tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-6 peserta didik.
Tujuan utama  dalam aplikasi  model  cooperative learning  adalah agar peserta didik  dapat belajar secara  berkelompok  bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai  pendapat dan  memberikan  kesempatan kepada orang lain  untuk mengemukakan gagasannya  dengan cara menyampaikan pendapat mereka  secara berkelompok.
Dengan mengimplementasikan model pembelajaran  cooperative learning, peserta didik diharapkan  dapat meraih keberhasilan dalam belajar. Di samping itu  juga bisa melatih  peserta didik untuk  memiliki ketrampilan, baik ketrampilan  berpikir (thinking skill) maupun ketrampilan sosial (social  skill), seperti ketrampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima saran dan masukan dari orang lain, bekerjasama, rasa setia kawan, dan mengurangi timbulnya perilaku yang menyimpang dalam kehidupan di kelas.
Di samping itu model pembelajaran ini  memungkinkan peserta didik  untuk mengelaborasikan pengetahuan, kapabilitas, dan ketrampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis. Peserta didik  bukan lagi sebagai obyek pembelajaran, namun bisa juga berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya.
Cooperative learning  menyediakan banyak contoh yang perlu dilakukan oleh peserta didik di antaranya, pertama peserta didik terlibat  dalam tingkah laku mendifinisikan, menyaring,  memperkuat sikap, kemampuan, dan tingkah laku dalam partisipasi sosial.  Kedua, mempelakukan orang lain dengan penuh pertimbangan kemanusiaan dan membeiikan semangat  penggunaan pemikiran rasional ketika   mereka bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Ketiga, berpartisipasi dalam tindakan-tindakan kompromi, negosiasi, kerjasama, konsensus, dan pentaatan aturan mayoritas ketika bekerja sama untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka dan membantu meyakinkan bahwa setiap anggota kelompoknya melakukan kegiatan pembelajaran. Ketika mereka  berusaha mempelajari isi dan kemampuan yang diharapkan, mereka juga menemukan dan dapat memecahkan konflik, menangani berbagai macam problematika  dan membuat opsi-opsi  yang merefleksikan situasi-situasi personal dan sosial yang mungkin mereka temukan dalam perkembangan dunia ini (Isjoni, 2009).

Langkah Efektif
Langkah-langkah yang perlu ditempuh agar  model cooperative learning ini efektif bisa dilakukan dengan strategi guru membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi empat bagian. Sebelum bahan pelajaran diberikan, guru perlu memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran saat itu. Guru bisa menuliskan topik di papan tulis dan menanyakan  apa yang peserta didik ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan yang dinamakan brainstorming ini dimaksudkan untuk lebih mefokuskan perhatian peserta didik akan kesiapan pada materi yang akan dipelajari.
Langkah selanjutnya bisa dilakukan dengan pembagian peserta didik menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4-6 peserta didik.  Bagian pertama bahan diberikan  pada peserta didik yang pertama, sedangkan peserta didik kedua menerima bahan bagian kedua dan seterusnya. Setelah selesai mengerjakan bagain masing-masing, mereka saling berbagi mengenai bagian yang dikerjakan masing-masing tersebut. Dalam aktivitas ini peserta didik bisa saling melengkapi  dan berinteraksi  antara satu dengan lainnya. Kegiatan ini diperlukan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran pada bagian akhirnya. Diskusi bisa dilakukan antara pasangan dalam kelompok atau dengan seluruh kelas.
Diskusi merupakan unsur penting dalam cooperative learning. Dengan berdiskusi dapat memunculkan keanekaragaman pendapat dan sudut pandang dari berbagai anggota kelompok. Karena itu, partisipasi peserta didik secara luas sangat diperlukan. Dalam diskusi hendaknya dihindari dominasi seseorang dalam berbicara sehingga guru harus memperhatikan jalannya diskusi, di samping untuk menghindari dan juga membatasi agar topik tidak meluas ataupun keluar dari konteksnya.

Peran Guru
Dalam implementasi model cooperative learning dibutuhkan peran, kemampuan, kemauan, serta kreativitas guru dalam mengelola lingkungan kelas. Sehingga dengan menggunakan model  ini guru bukannya  bertambah pasif, tapi harus bertambah aktif, terutama saat  menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)  harus matang dan terukur, pengaturan kelas saat pelaksanaan, serta membuat tugas untuk dikerjakan peserta didik bersama dengan kelompoknya.
Di samping itu guru perlu mengkondisikan  kelas sebagai  laboratorium demokrasi, supaya peserta didik terlatih dan terbiasa berbeda pendapat. Kebiasaan ini penting dikondisikan sejak di bangku satuan pendidikan (sekolah),  agar peserta didik terbiasa berbeda pendapat, jujur, sportif dalam mengakui kekurangannya sendiri dan siap menerima pendapat orang  lain yang lebih baik, serta mampu  mencari pemecahan masalah.
Perbedaan pendapat  yang mengarah pada  konflik interpersonal asalkan menurut aturan diskusi yang baik disertai sikap  positif, sesungguhnya dapat membantu menumbuhkan  kesehatan mental peserta didik. Hal yang perlu dihindari ialah bila perbedaan pendapat itu menjurus pada konflik yang bersifat interpersonal yang dapat merugikan kesehatan mental peserta didik.
Untuk itu sebagai penjabaran dari iklim demokrasi kiranya seorang peserta didik  harus dapat menerima pendapat  dari peserta didik lainnya. Sebagai misal peserta didik satu mengemukakan pendapatnya, kemudian peserta didik lainnya mendengarkan di mana letak kesalahannya, kekurangan  atau kelebihannya, kalau ada kekurangan bisa saling melengkapi.
Melalui teknik saling menghargai pendapat peserta didik yang lain dan saling membetulkan kesalahan bersama dapat dijadikan bahan untuk memperkuat  pemahaman terhadap materi pelajaran yang diajakan semakin luas dan mendalam.



Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang



Minggu, 10 Juli 2016

Empu Tari

Minimnya Kaderisasi Para Empu Tari

Oleh Ch. Dwi Anugrah

           Eksistensi, kontinuitas, dan perkembangan seni tari baik di Yogyakarta maupun Surakarta telah melalui jejak waktu panjang harmoni dengan perubahan pelaku tari dan nilai yang hadir pada zamannya. Proses itu tentunya tidak hanya instan, namun membutuhkan pengkajian, pengendapan, dan pemikiran baik pada  masa itu maupun asas benefitnya  bagi generasi masa depan.
Pada dasarnya kehadiran seni tari pada masa tari tersebut tercipta ternyata dapat dirasakan membawa makna yang sangat mendalam bagi kehidupan komunitas luas. Gerak akselerasinya mempunyai implikasi intensif dalam memberi aspirasi manusia terhadap lingkungannya yang sarat akan pernik-pernik kompleksitas permasalahan yang melingkupinya.
Pada waktu itu para empu tari Jawa yang mewariskan wasiat tari kepada generasi penerusnya  secara sadar selalu berpijak pada pola normatif dan konsepsi seni yang ada korelasinya dengan sosio kultural pada zamanya. Konsep-konsep tersebut dapat diciptakan  secara akuratif yang menguras pemikiran, waktu, dan tenaga itu ternyata  tidak hanya  sekadar berkisar masalah estetika semata, namun lebih  mencakup berbagai aspek pola subsistensi manusia. Hal ini mengandung implikasi para empu tari Jawa memandang persoalan-persoalan estetis mencakup teba wilayah kehidupan manusia  yang luas dan kompleks, serta memandang tari sebagai salah satu refleksi budaya.
Berbagai gagasan pemikiran, wawasan, dan pendekatan penciptaan karya dan kepenarian itu berlanjut dalam proses dan mewujud dengan kekayaan ragam, bentuk, jenis, kualitas, gaya, detail ungkap, serta makna filosofisnya sungguh merupakan prestasi kreatif yang luar biasa dan patut menjadi kaca benggala bagi generasi sekarang.
Sebagai salah satu pengetahuan tradisional dalam tari, apa yang dilakukan oleh para empu tari itu patut dihargai dan dihormati dengan cara generasi sekarang lebih memberi makna dan memahaminya serta menjadikan karya para empu tari sebagai stimulus yang menantang. Paling tidak dapat sebagai pemicu merevitalisasikan potensi kreatif tersebut dengan berbagai aktivitas  yang mengarah pada kreativitas.
Pada masa lalu kreativitas sering diasumsikan sebagai bakat, pembawaan, atau warisan biologis yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Itulah sebabnya perubahan-perubahan di dalam tari tradisi hanya dapat dilakukan oleh para empu tari yang menguasai bidangnya. Namun paradigma pemikiran tersebut sudah mulai bergeser seiring  munculnya berbagai lembaga pendidikan formal kesenian sebagai parameter analisis pemikiran dalam perangkat disiplin ilmu.
Secara substansial kreativitas merupakan kapasitas manusia untuk memproduksi komposisi, hasil, atau ide-ide inovasi yang sebelumnya tidak dikenal oleh penyusunnya sendiri. Kreativitas dapat dilakukan berdasarkan bahan-bahan tradisi atau bahan-bahan baru yang diolah dalam format yang lebih proporsional.
Pemahaman terhadap nilai-nilai tradisi dan hakikat kreativitas inilah yang merupakan  bekal utama seorang seniman dalam mengolah bentuk, corak, langgam atau semangat tradisi selaras dengan tingkat elaborasi kehidupan manusia tersebut. Tanpa pemahaman intens terhadap nilai-nilai tradisi hanya membuahkan karya bagus tapi kering dan tidak memiliki aura.

Daya Hidup

            Lain halnya dengan para empu tari Jawa dalam mencipta  memang membutuhkan beberapa tahapan proses yang tidak dipandang  mudah. Kreativitas para empu itu baik dalam kepenarian maupun penciptaan telah dilandasi dengan apa yang dikenal dengan, pertama net yakni esensi ataupun roh daya cipta yang mampu membuat karya tari dan sosok kepenariannya menjadi hidup. Kedua krenteg, yaitu dorongan dari lubuk hati yang paling dalam untuk melakukan proses kreatif.  Ketiga karep yang mengandung makna  tujuan atau kehendak  agar kepenarian  dan karya tarinya  mempunyai makna  dan bermanfaat bagi subisistensi manusia (Wahyu Santoso P:2006).
            Proses terus menerus dari net, krenteg, dan karep membutuhkan daya hidup dengan power energi dari dalam  jiwa.  Dalam proses yang dibarengi laku spiritual (asketik) seperti puasa, meditasi, tapa brata, pati geni dan berbagai cara prihatin lainnya. Dengan mengaplikasikan pola pikir dan pola tindak dalam berbagai laku tersebut memungkinkan kepenarian  dalam karya tarinya dapat menembus batas-batas kesukuan, membuka  kesadaran kontemplatif yang sekaligus merajut  ruang transendental.
            Di Yogyakarta kita mengenal beberapa tokoh tari yang sudah diklasifikasikan sebagai empu, sebut saja Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejokusumo  sebagai pendiri KBW (Kridha Beksa Wirama) yang merupakan organisasi tari pertama yang berdiri di luar tembok kraton, GBPH Suryobrongto, KRT  Sasmintadipura, RM Dinusatomo, serta beberapa tokoh lainnya  yang dengan penuh totalitas telah memberikan kontribusi baik pikiran, tenaga, dan loyalitasnya demi tetap solidnya eksistensi seni tari dalam kancah berbagai kehidupan  yang semakin mengglobal.

                        
                                                  Karya tari yang bagus, namun sampai saat ini 
                                                  jarang ditemui empu tari yang mumpuni 
                                                             (Foto: Koleksi Pribadi)

            Adapun bila dilihat dari  perspektif filosofis yang terdapat dalam Joged Mataram ternyata banyak hal yang menjadi pijakan penciptaan para empu tari tersebut. Di antaranya bisa dicermati dalam konsepsi Joged Mataram yang terdiri dari 4 prinsip utama,   pertama sawiji adalah melakukan konsentrasi total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa, implikasinya seluruh sanubari penari dipusatkan pada satu peran yang dibawakan untuk  menari sebaik mungkin dalam batas kemampuannya dengan mengaplikasikan segala potensi yang dimiliki.
            Kedua greget, adalah dinamika atau semangat di dalam jiwa seseorang atau kemampuan mengekspresikan kedalaman jiwa dalam gerak dengan pengendalian yang sempurna. Ketiga sengguh, yakni kiat menciptakan kepercayaan diri pada kemampuan personal tanpa mengarah atau menjurus pada arogansi. Sedangkan keempat ora mingkuh yang merupakan sikap pantang mundur dalam menjalankan kewajibannya sebagai penari dan tidak takut menghadapi kesulitan.
            Pada dasarnya filsafat Joged Mataram tersebut diaplikasikan dalam seni tari Jawa dengan destinasi untuk mendapatkan keseimbangan lahir dan batin. Selain itu dalam Joged Mataram juga menjadi dasar universal agar penari mencapai tingkat perfeksionis dalam membawakan karater tari yang dibawakan namum masih dalam tingkat kesadaran.
            Di Surakarta dikenal juga beberapa empu tari yang sampai akhir hayatnya tetap mempunyai komitmen untuk menjaga eksistensi, keberlanjutan, dan elaborasi tari. Tokoh-tokoh tersebut antara lain GPH Prabuwinoto, KRT Kusumokesowo, Ngaliman Condropangrawit, KRT Tandhakusuma, KRT Wiratmodipura,  RM Rono Suripto, Nyi Bei Mintararas, Ibu Tarwo Sumosutargya, dan banyak tokoh lainnya.
            Tulisan Sastra Kartika dalam “Serat Kridhwayangga” (1925) banyak sekali memuat informasi terkait dengan ikon tari Jawa gaya Surakarta. Manifestasi dari konsepsi yang terdapat dalam Serat Kridhwayangga itu merupakan dasar-dasar gerak yang melekat dan menyatu dalam satu kesatuan yang disebut patrap beksa (sikap laku tari).
            Secara eksplisit para empu tari Jawa itu telah mampu mengklasifikasikan tari Jawa gaya Surakarta dalam beberapa patrap beksa, antara lain sata ngetap swiwi (ayam mengepakkan sayap) digunakan untuk peran tari halus luruh (muda),  kukila tumiling (burung menggerakkan kepala) digunakan untuk peran tari halus lanyap (lincah), pucang kanginan (nyiur tertiup angin) lebih cenderung untuk tari putri, wreksa sol (pohon tumbang tercerabut dari akarnya) digunakan untuk peran tari raksasa, dan masih banyak lagi pola patrap beksa untuk masing-masing karakter yang jumlahnya kurang lebih ada sepuluh.
            Berpijak dari pemaparan patrap beksa tersebut, sudah bisa diprediksikan bahwa para empu tari Jawa dalam mengawali penciptaaannya cenderung melakukan observasi intensif dalam tahapan proses yang cukup lama, terutama untuk menyikapi berbagai fenomena alam dan lingkungan yang menjadi ide elementer dari proses penciptaannya.
            Tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Para empu tari itu terus melakukan proses kreatifnya dengan terus melakukan pengkajian yang tidak mengenal stagnasi sampai hasil ciptaannya mewujud seperti yang dikenal sampai sekarang. Karya-karya mereka bisa dikatakan cukup fenomenal, seperti  Bedhaya, Srimpi, Wireng, Wayang Wong. Bahkan perangkat evaluasi sebagai penari dipikirkan dalam suatu konsep yang dikenal dengan hasta sawanda sebagai regulasi atau pedoman penari dalam melakukan teknis gerak yang proporsional.

Kaderisasi
            Mencermati kiprah para empu tari tersebut menjadi fakta yang  tak terbantahkan, kalau karya mereka  tetap melegenda dan cukup fenomenal sampai sekarang. Namun seiring perjalanan waktu dengan surutnya beberapa empu tari, seperti KRT Sasmintadipura, Bagong Kussudiarjo dari Yogyakarta dan Rama Yasa Sudarmo pendiri Padepokan Cipto Budaya dari Tutub Ngisor Kabupaten Magelang, serta terakhir KRT Tandhakusuma dari Surakarta,  tampak nyata bahwa telah terjadi krisis para empu tari.
            Tak bisa dinafikan sekarang ini memang telah banyak muncul  koreografer seiring dengan eksisnya lembaga pendidikan formal seni tari (ISI, STSI, SMKI) dan beberapa lembaga non formal seperti sanggar-sanggar tari. Namun karya-karya mereka itu pada umumnya walaupun tidak bisa digeneralisir masih sebatas show ataupun karya wadhag saja. Sedangkan yang mengarah sampai titik kulminasi tingkat taksu dilengkapi dengan karyanya yang langgeng dan dapat dikonsumsi publik dari berbagai kalangan masih dapat dihitung dengan jari.
            Kiranya faktor yang perlu segera dipikirkan yakni munculnya kaderisasi baru sebagai penerus atau inovator dari jejak-jejak para empu tari tersebut. Namun juga perlu disadari menjadi sebutan empu tari itu memang menuntut akuntabilitas moral yang cukup besar. Karena disadari  empu tari itu dipahami sebagai seseorang yang menggeluti dan menekuni tari dalam durasi waktu cukup lama hingga intensitas dan virtuositasnya dapat bertahan dan berlanjut hingga publik bisa menerima.
            Akan tetapi tidak ada salahnya mulai sekarang krisis empu tari itu perlu disikapi.Di samping penciptaan kaderisasi, komunitas seniman khususnya tari dapat lebih konsentrasi pada proses penciptaan yang kompetitif dalam kadar kualitas dengan menyampingkan unsur-unusr konsumtif seperti karya-karya populer yang instant dan cepat hilang dimakan waktu.
           

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang


           


Teknik Scaffolding

Teknik Scaffolding
Dalam
Penanaman Nilai Karakter




Oleh Ch. Dwi Anugrah

            Pendidikan karakter yang marak dibicarakan publik belakangan ini akan semakin penting dan strategis, terutama jika dikaitkan dengan  tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam menyiapkan generasi masa depan dalam menghadapi  tantangan global dengan permasalahan yang semakin berat dan kompleks.
            Untuk menghadapi tantangan di era global tersebut, diperlukan sumber daya manusia yang berpengetahuan, berketerampilan, dan berkarakter kuat. Dengan mengoptimalkan sumber daya manusia tersebut, bangsa ini akan semakin maju. Bangsa yang maju bukan hanya ditentukan oleh faktor kekayaan alamnya saja, tetapi lebih dari itu, di antaranya  kompetensi   atau teknologi yang dikuasai,  dorongan semangat  serta  karakter  yang dimiliki.
            Saat ini pemerintah telah mencanangkan  pengintegrasian pendidikan karakter ke semua mata pelajaran  mulai pendidikan dasar sampai dengan  pendidikan menengah. Namun dalam praktiknya, arah pendidikan karakter di satuan pendidikan masih terbatas pada indoktrinasi belum internalisasi.
            Indoktrinasi mempunyai implikasi pendidikan karakter tersebut diajarkan, yakni peserta didik diberitahu bahwa mereka harus jujur, percaya diri, disiplin, dan memiliki rasa tanggung jawab. Sebagai contoh, ketika guru mengajarkan tentang karakter seni tari, peserta didik disuruh mengidentifikasi alur karakter seni tari, latar, rias - busana, dan pesan karakter. Setelah peserta didik berhasil mengidentifikasi  unsur-unsur karakter seni tari tersebut,  peserta didik diberitahu  agar mereka mencontoh  perilaku baik seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh protagonis dalam karakter seni tari dalam wayang. Pembelajaran seperti itu adalah bentuk-bentuk indoktrinasi  dalam pendidikan karakter yang menekankan   nilai-nilai itu diajarkan  atau ditransfer oleh guru.
            Berbeda dengan indoktrinasi yang cenderung  mengajarkan nilai internalisasi  adalah upaya pemilikan dan penggalian nilai-nilai moral agar menjadi milik peserta didik. Nilai moral atau karakter tersebut  menyatu, menjadi bagian tidak terpisahkan  dari perilaku  peserta didik  dalam kehidupan baik saat ini maupun  di masa mendatang. Dalam internalisasinya, tugas guru adalah  mendorong peserta didik  untuk menjadi  pemilik nilai-nilai moral atau karakter tersebut. Selanjutnya  mengupayakan agar nilai-nilai itu melekat dalam diri peserta didik dan mendorong peserta didik  agar merealisasikan  nilai-nilai itu  dalam segala  gerak langkah maupun  perilaku kesehariannya.
            Nilai-nilai  itu direfleksi, diceritakan sendiri oleh peserta didik berdasarkan apa yang telah dialami, dirasakan, sehingga nilai-nilai itu menjadi milik peserta didik. Nilai-nilai karakter itu akan melekat kuat dalam diri peserta didik  jika nilai-nilai itu  diikat  dengan pengalaman, emosi, dan motivasi  personal (Endah Tri Priyatni, 2013).
            Dalam proses internalisasi, guru perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merefleksi  dan menceritakan  nilai-nilai moral  yang diperoleh ketika menyaksikan kejadian aktual, peristiwa yang dialami sendiri sewaktu menonton seni pertunjukan, membaca novel, cerpen, atau puisi. Peserta didik dapat merefleksi  atau menceritakan nilai-nilai   pada dirinya  yang sudah dialami, dilihat, atau dipahami dari bacaan atau peristiwa aktual. Cara ini akan lebih tahan lama dan melekat daripada guru yang menceritakan  atau mengajarkan  nilai-nilai tersebut kepada peserta didik.
            Tujuan akhir dari internalisasi adalah dimilikinya nilai-nilai karakter  itu secara otonom. Guru harus mendorong peserta didik agar menjadi pemilik  nilai-nilai moral secara otonom.  Dengan demikian dampak yang diharapkan  dapat terealisasinya  nilai-nilai moral itu secara otomatis dalam segala perilaku peserta didik tanpa ada perintah atau komando.

Rasa Percaya Diri  
            Pada dasanya rasa percaya diri itu adalah  kombinasi antara  sikap mental  dan pemilikan kemampuan. Untuk menumbuhkan keyakinan bahwa seseorang  merasa mampu  dalam melaksanakan tugas, diperlukan teknik scaffolding. Istilah scaffolding atau  mediated learning adalah teori  yang dikemukan oleh Vigotsky dalam bukunya “Mind in Society” (1978), yang mengeksplanasikan bahwa scaffolding  menekankan  pada penggunaan dukungan atau bantuan  tahap demi tahap dalam belajar dan pemecahan masalah. Ada beragam bantuan yang diberikan  tergantung pada tingkat kesulitan  yang dialami peserta didik, misalnya, memecah tugas menjadi lebih kecil, mengatur bagian-bagian, mengajak berpikir ulang,  membahasakan proses berpikir jika tugasnya kompleks, melaksanakan pembelajaran kooperatif, melakukan dialog  dalam kelompok kecil, memberi petunjuk konkret, melakukan tanya jawab, memberikan pendampingan personal, atau melakukan pemodelan.
            Di samping itu  bila diperlukan bantuan,  dapat berupa kiat  untuk  mengaktifkan latar belakang pengetahuan yang dimiliki peserta didik, memberikan akses tentang strategi belajar efektif, dan  prosedur-prosedur  kunci untuk melaksanakan tugas atau memecahkan masalah yang dihadapi peserta didik agar tidak frustasi  karena mengerjakan  tugas atau  suatu keterampilan yang sulit dicapai.
            Pemberian dukungan setahap-demi setahap ini bukan berarti  peserta didik diajar  sedikit demi sedikit  dari seluruh komponen suatu tugas.   Dengan bantuan pendampingan personal yang efektif,   pada suatu saat  akan terwujud menjadi suatu kapabilitas untuk  menyelesaikan tugas  kompleks tersebut.  Teknik scaffolding digunakan untuk  mencapai kompetensi kompleks, menantang, dan realistik. Untuk mencapai kompetensi tersebut  diperlukan tangga, tahapan, atau  bantuan agar peserta didik dapat mencapai kompetensi  yang kompleks tersebut secara  mudah dan bertahan lama.
            Penggunaan teknik scaffolding dalam pembelajaran ini  menjadikan guru berpikir tentang tahapan atau tangga yang dapat digunakan agar peserta didik dengan mudah dapat  mengimplementasikan tugas  secara menyeluruh dalam tahap demi tahap.  Tahapan tugas tersebut  merupakan rangkaian kegiatan  hierarkhis yang diperlukan untuk mencapai kompetensi optimal yang seharusnya dikuasai peserta didik.

Aplikasi Scaffolding
            Sebagai contoh, aplikasi scaffolding untuk menumbuhkan rasa percaya diri dalam pembelajaran karakter seni tari pada jenjang sekolah menengah kejuruan akan dipaparkan dalam beberata tahapan. Pertama, kegiatan awal. Pembelajaran dibuka guru dengan meminta  salah seorang peserta didik untuk memimpin doa. Setelah itu guru menayangkan tayangan tokoh wayang dan karakter seni tarinya  dengan  media LCD. Setelah selesai penayangan, guru bertanya kepada peserta didik tentang  apa yang baru ditayangkan untuk mengetahu ranah imajinasi peserta didik. Kemudian peserta didik serentak menjawab, tokoh wayang orang. Setelah itu,  guru melanjutkan pertanyaan, karakter wayang orang tadi menceritakan tokoh siapa dan bagaimana karakternya ? Dengan sigap peserta didik menjawab, tokoh tersebut adalah Gathutkaca ksatria Pringgandani dengan tipologi karakter putra gagah.
            Langkah selanjutnya guru menjelaskan bahwa pada hari itu peserta didik akan belajar mengenal dan mempraktikkan beberapa tipologi  karakter wayang orang dalam seni tari. Di samping itu tidak lupa guru memberikan motivasi bahwa  mengamati dan menarikan karakter  wayang dalam seni tari tidak sulit asalkan tahu caranya.
            Kedua, kegiatan inti. Pada kegiatan inti ini, guru menayangkan beberapa tokoh wayang baik itu putra maupun putri. Guru meminta peserta didik untuk mengamati  dan mengidentifikasi  nama tokoh-tokohnya,  tipologi karakter, beserta ragam geraknya. Dari pengamatan yang sudah dilakukan,  peserta didik dimohon untuk mengajukan pertanyaan terkait dengan hasil pengamatan. Seperti untuk tokoh Gathutkaca dalam menari, gerak spesifik apa yang  pantas diaplikasikan agar kesan sebagai sosok ksatria tetap kelihatan menonjol? Apakah untuk gerak putri baik itu karakter lanyap, seperti Srikandi  maupun luruh, seperti Sinta tetap menggunakan ragam gerak yang sama?
                 Dari hasil pengamatan, dengan didampingi guru peserta didik dimohon untuk menafsirkan hasil temuannya. Dalam pendekatan saintifik termasuk kegiatan mencoba atau mengumpulkan informasi dengan tujuan mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat.
                 Kegiatan selanjutnya, berdasarkan data yang ditemukan, guru membuka kegiatan diskusi kelas dan bertindak sebagai moderator. Fokus kajian diskusi adalah menyepakati atau merevisi  kebenaran data, pengamatan, jawaban pertanyaan yang diajukan, dan asumsi yang dikemukakan. Dari data dan bukti-bukti yang telah disepakati itu para peserta didik diminta  mengerjakan karya tulis secara individual yang menganalisis dan merumuskan nilai-nilai keindahan dan  nilai-nilai seni tari karakter wayang orang dalam seni tari. Adapun rambu-rambunya adalah berdasarkan data dan  bukti-bukti yang ada  secara logis, argumentatif, apresiatif, dipaparkan  dengan menggunakan  bahasa Indonesia yang jelas, logis, dan sistematis. Dari tugas penulisan peserta didik,  guru memilih 5 makalah terbaik untuk dipresentasikan.
                 Masih ada kegiatan terakhir yang harus dilakukan adalah menyajikan atau mengomunikasikan. Untuk aktivitas ini guru memandu kegiatan diskusi secara bergiliran di depan kelas. Pada akhir kegiatan diskusi diharapkan  diperoleh konklusi yang memuaskan tentang aspek estetika, aspek seni, dan aspek nilai seni tari dikorelasikan dengan karakter dalam wayang orang. Tidak lupa kegiatan ditutup dengan refleksi sebagai umpan balik antar peserta didik dan guru untuk bisa membuat kesimpulan yang diharapkan.
                 Teknik scaffolding dalam pembelajaran karakter seni tari bertujuan agar peserta didik yakin dan  percaya diri, bahwa menganalisis  karakter seni tari itu tidak sulit. Rasa percaya diri akan memberikan energi positif  yang akan  mengarahkan untuk  menghasilkan karya-karya kreatif. Dengan tahapan-tahapan yang jelas tersebut, peserta didik dipastikan  tidak banyak  menemui kesulitan  dalam menganalsisi karakter seni tari dan dapat menghasilkan  karya analisis seni tari  yang estetis dan mempunyai nilai seni. Dengan teknik scaffolding akan membangkitkan rasa percaya diri pada peserta didik  karena ia merasa berhasil menaklukkan kompetensi yang sulir.
                 Di samping itu,  teknik scaffolding dapat memperkuat implementasi kurikulum 2013. Dimana  kurikulum tersebut  mempunyai harapan untuk  mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan-tantangan di masa depan melalui sikap, pengetahuan, dan  keterampilan  untuk beradaptasi  serta bisa  bertahan hidup dalam lingkungan yang senantiasa berubah.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
     Pendamping Seni Budaya

     SMK Wiyasa Magelang

Jumat, 08 Juli 2016

Wayang Orang Sriwedari Surakarta

WAYANG ORANG  SRIWEDARI
ANTARA KEBESARAN DAN KEPRIHATINAN



Oleh Ch. Dwi Anugrah


Masa pemerintahan Sri Mangkunegara V (1881-1886) merupakan periode puncak perkembangan dan sekaligus awal  kemunduran wayang orang istana sebagai konsekuensi logis dari kebijaksanaan pengetatan ekonomi pemerintahan Sri Mangkunegara VI (1896-1916). Policy itu dilakukan dengan pertimbangan skala prioritas keuangan kerajaan, mengingat  aktivitas kesenian dan berbagai upacara dianggap suatu pemborosan yang membutuhkan biaya besar. Padahal situasi ekonomi kerajaan baru kolaps, karena merosotnya perusahaan kopi milik Mangkunegaran dikarenakan munculnya banyak penyakit dan hadirnya komoditi gula bit di Eropa. Kebijakan tersebut berdampak, volume kegiatan berkesenian dikurangi dan banyak para abdi dalem (pegawai istana) terkena pemutusan hubungan kerja. Para abdi dalem tersebut setelah dikeluarkan dari istana banyak yang meneruskan proses kegiatan berkesenian di tempat tinggalnya masing-masing.


Gambar 1. Tokoh wayang orang Srikandi (kiri) dan Mustakaweni (kanan)
(Foto: Koleksi Pribadi)

Langkah kebijaksanaan Sri Mangkunegara VI tersebut, membawa implikasi tersendiri bagi perkembangan wayang orang. Seni pertunjukan ini tidak lagi menjadi monopoli di dalam tembok istana, tetapi mengalami mobilitas budaya menjadi seni pertunjukan kota yang komersial. Di luar tembok istana wayang orang berkembang selaras  dengan selera komunitas kota, di antaranya mulai dikenalnya tata teknis pentas model panggung prosenium.  Bentuk panggung ini jelas bukan asli Jawa atau Indonesia, melainkan bentuk panggung Eropa yang dibawa ke Indonesia lewat lawatan rombongan kesenian Malaysia pada akhir abad ke-19.
Salah satu jenis tontonan yang menggunakan panggung Eropa itu, di antaranya adalah Wayang Orang Sriwedari. Sebagai sebuah lembaga milik Kraton Kasunanan Surakarta, Wayang Orang Sriwedari didirikan sekitar tahun 1910 untuk melengkapi fasilitas hiburan yang ada di Taman Sriwedari atau Kebon Raja. Suatu kawasan wisata tepat  di Jantung Kota Surakarta dengan penataan yang unik dan menarik, lengkap dengan flora dan fauna serta dilengkapi sajian hiburan kesenian klasik, film, jenis hiburan lainnya, serta rumah makan. Khusus Taman Sriwedari didirikan oleh R.A.A Sasradiningrat atas perintah Sri Susuhunan Paku Buwono X. Eksistensi taman ini nampaknya memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan seni budaya kraton yang didesain harmoni dengan tata kotanya. Di tempat ini raja sering berburu binatang dan bersantai di tempat khusus yang disediakan untuk beliau dan rombongan. Patut disayangkan, dewasa ini Taman Sriwedari tidak tertata secara tertib dan rapi sesuai aura aslinya, sehingga validitas tentang bentuk arsitektur dan taman kota di abad millennium sebagai sumber informasi makin tereliminasi.
Sebelum dibentuk grup Wayang Orang Sriwedari, sebenarnya secara bergantian pernah tampil di Taman Sriwedari grup-grup wayang orang kelilingan yang pada waktu itu sedang mengalami perkembangan pesat. Perintis grup wayang orang komersial itu ialah Gan Kam, seorang pengusaha Tiong Hoa kaya dari Surakarta. Bersamaan dengan pertumbuhan kota-kota besar di Jawa dan kaum urban, tampaknya wayang orang menjadi sangat popular. Waktu itu berdasarkan catatan James R. Brandon dalam bukunya Theatre in South East Asia (1967)  terungkap bahwa di Jawa terutama di kota-kota besar terdapat sekitar 20 grup besar wayang orang. Suatu prosentase yang cukup signifikan. Termasuk juga grup wayang orang milik Lie Wat Gien pernah main di Taman Sriwedari Surakarta yang banyak memukau penonton karena cukup atraktif.
Sedangkan para penontonnya didominasi oleh orang-orang Cina yang kaya, terutama para wanitanya. Fenomena yang banyak ditemui adalah sering munculnya kasus percintaan (love affair)  yang berdampak pada disharmonitas keluarga yakni para wanita Cina banyak jatuh cinta sama pemain tokoh Arjuna. Untuk mereduksi dampak negatif ini, oleh Gam Kam pemain tokoh Arjuna diganti dengan pelaku wanita. Kejadian itu merupakan awal pemain tokoh-tokoh Arjuna atau kesatria halus dalam pewayangan dimainkan oleh wanita  (transvestitie) dan selanjutnya menjadi kebiasaan dalam casting wayang orang. Di samping itu juga ada pertimbangan lain, apabila peran halus ditarikan oleh wanita akan menambah daya tarik sendiri, mengingat wanita adalah simbol kecantikan dan kehalusan yang menawan apabila dipandang mata, terutama oleh kaum laki-laki.

Perkembangan Menggembirakan
Kehadiran wayang orang sebagai seni istana di tengah-tengah komunitas umum merupakan kesempatan langka yang belum pernah ada sebelumnya. Keterlibatan etnis Cina pada difusi wayang orang sebagai pemilik atau juragan menunjukkan kepeduliannya terhadap kebudayaan Jawa. Sentuhan manajemen dalam wayang orang memiliki arti tersendiri bagi sebuah kesenian komersial. Terutama dengan mengutamakan kualitas penyajian yang mengarah pada segmen profit dan prinsip ekonomi sehingga pertumbuhan proses kreatif apresiasi seni istana di kalangan masyarakat cepat tersosialisasi.
Pada masa penjajahan Belanda elaborasi Wayang Orang Sriwedari mendapat atensi khusus dan langsung di bawah pengelolaan lembaga kepatihan. Bagi penari pria berprestasi diberi kedudukan pangkat abdi dalem dengan nama wibakso, penari wanita rini, dan pengrawit rawita. Nama-nama pemain terkenal yang pernah mengukir nama Wayang Orang Sriwedari antara lain Wugu Hardjowibakso seorang pemain Gatutkaca legendaris. Nalawibakso pemain Nala Gareng. Namun pada masa pemerintahan Jepang, aktivitasnya mengalami stagnasi, mengingat kontrol politik pemerintahan yang cukup ketat, termasuk bidang kebudayaan.



Gambar 2. Wayang  Orang Sriwedari adegan pertemuan Pandawa (kanan)
dan Kurawa (kiri) (Foto: Koleksi Pribadi)


         Pasca kemerdekaan Wayang Orang Sriwedari mengalami perkembangan yang menggembirakan terutama di bawah pimpinan Tohiran pada sekitar tahun 1950-an. Sosok  inovator baik dalam langkah regenerasi pemain, sistem produksi, maupun pemasaran. Maka tak mengherankan di bawah kendalinya, muncul para pemain terkenal misalnya Rusman Hardjowibakso seorang pemain terkenal tokoh Gatutkaca yang sangat dikagumi Presiden Sukarno, Darsi Pudyarini pemeran Srikandi, Surono Ronowibakso tokoh pemain Petruk terkenal. Karena reputasi dan kepiawaiannya, mereka  sering ditunjuk sebagai duta seni untuk melawat ke berbagai negara sahabat. Tahun 1951, ditunjuk  sebagai duta seni ke Philipina, Hongkong, Singapura, Tokyo, dan Honolulu. Tahun 1964 ditunjuk lagi melawat ke Pakistan Timur dan Amerika Serikat. Keikutsertaan mereka dalam misi kesenian ke luar negeri merupakan pengalaman berharga dan menjadi pemicu untuk tampil secara lebih perfek dan professional.

Proses Degradasi
Masa kejayaan Wayang Orang Sriwedari dan kemegahan spektakulernya sejak masa orde lama, di mana waktu itu mampu memberikan subsidi besar kepada pemerintah karena banyak diminati oleh komunitas publiknya, kini hanya berbagai keprihatinan besar melanda nasib seni pertunjukan ini. Dalam proses perjalanan waktu mengalami degradasi baik dari sisi penonton maupun kualitas penyajiannya  sejalan dengan keterlambatan alih generasi dan terbatasnya sumber daya manusia yang handal. Permalahan yang elementer dikarenakan lembaga ini belum berhasil menjawab tantangan zaman yang semakin kompetitif.  Untuk sementara yang banyak dituding adalah tidak berfungsinya manajemen secara professional. Berbicara manajemen tentunya menyangkut dalam cakupan holistik dan problematik, terutama terkait dengan masalah sumber dana dan terbatasnya sumber daya manusia.
Adapun faktor penyebab kemundurannya dapat dilihat baik internal maupun eksternal. Penyebab internal antara lain,pertunjukan masih bersifat statis dan konvensional, lambatnya alih generasi, dominasi pendidikan senimannya rendah, dan sistem produksinya tidak professional. Tidak bisa dipungkiri untuk mengemas agar menaruh simpati penonton dibutuhkan kapabilitas manajemen dengan menekankan kualitas SDM, kontrak prestasi,  dan dukungan konsisten untuk membangun wacana publik. Sedangkan penyebab kemunduran secara eksternal, dikarenakan banyaknya alternatif tontonan pasar yang lebih variatif, seperti TV, VCD, Film, dan jenis permainan baru. Di samping itu sistem pendidikan nasional yang kurang memperhatikan porsi pada mata pelajaran muatan lokal, seperti bahasa daerah, kesenian, ataupun sastra, tampaknya ikut mempercepat keterasingan dan tidak akrabnya kesenian tradisional dengan publiknya.
Untuk itu memang diperlukan kepedulian semua pihak untuk lebih memperhatikan keberlangsungan wayang orang sebagai asset budaya nasional. Baik itu dari elemen swasta ataupun pemerintah. Dari elemen swasta bisa diampu dari berbagai perusahaan-perusahaan, LSM, ataupun institusi lain sebagai maecenas. Sedangkan pemerintah perlu  memberikan skala prioritas pendampingan melalui dana alokasi APBN/APBD atau dana taktis lainnya. Seperti di Thailand dengan organisasinya The Thai National Theatre, sampai sekarang masih eksis dan terus diminati, karena para senimannya mendapat kesejahteraan sosial dan menjadi tanggungan negara. 


 Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang




Aktualisasi Ajaran Ki Hadjar Dewantara

Aktualisasi Ajaran Ki Hajar Dewantara




Oleh Ch. Dwi Anugrah


Dalam proses perjalalanan waktu,  pendidikan di Indonesia telah bergeser dari  cita-cita semula  yang telah diamanatkan oleh konstitusi  untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.  Pendididikan kini telah berlomba-lomba semata-mata untuk menyiapkan peserta didik  untuk terjun ke dunia pasar. Itu pun sampai sekarang sulit untuk dicapai.  
Adapun faktor penyebabnya di antaranya kita telah lupa pada substansi dan filosofis pendidikan yang dirintis oleh the founding father yang pada hakikatnya pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia dan membentuk pribadi utuh bagi para peserta didik.
Jauh sebelaum Indonesia merdeka, Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswanya  telah mengupayakan agar anak-anak rakyat  yang dididik mempunyai  watak kepemimpinan dan berpengetahuan luas untuk mengelaborasikan kebudayaan Nasional. Oleh sebab itu,  beliau memasukkan  metode kepempimpinan bagi pengembangan pendidikannya. Metode kepemimpinan yang dimaksud  yaitu, seorang guru  adalah pamong sekaligus pemimpin, karena itu ia harus  mampu memberi  teladan ing ngarsa sung tulada dan mampu memberi motivasi ing madya mangun karsa, serta mampu  memberi dorongan  tut wuri handayani.
Yang melatarbelakangi  timbulnya semangat  dan semboyan seperti itu adalah pandangan hidup atau filsafat  pendidikan yang dimiliki oleh Ki Hadjar. Menurut beliau  pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia secara manusiawi. Peserta didik seyogyanya dibimbing  sesuai dengan kodrat alamnya. Pendidikan pada dasarnya merupakan kiat untuk memfasilitasi perkembangan bakat peserta didik, sesuai dengan kodrat yang ada, dan menjaga unsur-unsur destruktif  yang bisa menghambat atau bahkan membunuh bakat peserta didik itu sendiri.
Menurut pandangan Ki Hadjar, pendidikan  kolonial bersandar penuh pada metode pendidikan Barat yang sudah usang yakni: regering, tuct, dan orde (perintah, hukuman, dan ketertiban). Akibatnya peserta didik  terasing dari kehidupan sosial budaya bangsanya  dan membentuk kepribadian yang tidak utuh yaitu kepribadian yang hanya mementingkan sikap intelektualistik, materialistik, dan ketergantungan ekonomis. Pencapaian tujuannya hanya menjadi pegawai pemerintah.
Melalui pembaharuan terhadap model pawiyatan (pesantren) yang diproyeksikan sebagai sistem nasional dan berorientasi pada nilai budaya, kebangsaan dan kerakyatan maka lahirlah Tamansiswa. Lembaga ini mengusung misi mulia  yaitu melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Indonesia serta mewujudkan masyarakat berpendidikan yang tertib dan damai.

Sistem Among
            Sejak berdirinya sampai menikmati alam kemerdekaan, perjuangan Tamansiswa tidak terlepas dari sistem among sebagai landasan pendidikannya. Sistem among merupakan embrio  sistem pendidikan nasional Indonesia. Perjalanan panjang sistem pendidikan nasional  telah sampai pada “zaman kebingungan”. Karakter bangsa  yang diharapkan  terbangun oleh pendidikan ternyata telah tergerus oleh pragmatisme pendidikan.
Among berasal dari kata Jawa mengabdi melalui bimbingan. Kata ini juga digunakan untuk  menautkan korelasi antara pengasuh anak dengan anak kecil (bocah) yang dijaganya. Kata ini juga ditemukan kembali dapa dunia pewayangan dalam hubungan antara panakawan, terutama Semar dengan  momongannya, seperti Arjuna.
            Sebelum kemerdekaan, sistem among dimaksudkan sebagai sistem perlawanan  atas sistem pendidikan kolonial yang tidak sesuai  dengan kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia. Pendidikan kolonial didasari oleh  regering, tucht, and orde, atau perintah, hukuman, dan ketertiban atau paksaan.
            Sistem among, hendaknya diimplementasikan dengan orde and vrede, ialah tertib dan damai atau tata tentrem. Pamong tidak boleh memaksa, meskipun sekadar  memimpin. Ia juga  tidak dalam rangka nguja atau membiarliarkan. Intervensi kehidupan peserta didik  diperbolehkan ketika peserta didik  tersesat di jalan yang salah.
            Pijakakan sistem among berada pada dua dasar, yaitu kemerdekaan dan kodrat alam. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan  dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin peserta didik sehingga dapat hidup merdeka, mandiri, dan bekerja. Sedangkan kodrat alam sebagai syarat untuk mencapai  kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya menurut hukum evolusi.
            Selain konsep-konsep tersebut, ajaran Ki Hadjar Dewantara  yang dinilai relevan dengan zaman sekarang  adalah hidup hemat dan sederhana diharmonikan dengan keadaan atau kekuatan ekonomi kekeluargaan.  Semangat kekeluargaan tersebut mengandung  makna “kesatuan hidup” yang merupakan landasan cinta kasih bagai oase yang tak pernah kering.
            Di samping itu ada ajaran Ki Hadjar yang disebut Tringa. Ajaran ini sangat bermanfaat  dan dekat dengan kehidupan keseharian kita. Tringa merupakan akronim dari ngerti, ngrasa, ngelakoni. Hal ini mengingatkan  kita agar selalu  mengerti segala ajaran hidup  dan cita-cita. Kita juga perlu dapat merasakan  dan sadar akan  arti cita-cita tersebut. Untuk itu diperlukan kesadaran serta kesungguhan dalam melaksanakannya.  
            Dengan demikian sistem among yang dicanangkan oleh Ki Hadjar Dewantara ini merupakan cara pendidikan yang dipakai dalam sistem pendidikan Tamansiswa, dengan maksud  mewajibkan guru sebagai pendamping supaya mengingat dan mengedepankan kodrat peserta didik, dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya. Oleh karena itu alat perintah, paksaan, dan hukuman yang biasa dipakai dalam pendidikan zaman dahulu, perlu diganti dengan aturan: memberi tuntunan dan menyokong pada peserta didik di dalam mereka bertumbuh dan berkembang karena kodrat iradatnya sendiri, melenyapkan segala yang merintangi pertumbuhan dan perkembangan mereka serta perlunya mendekatkan peserta didik kepada alam dan komunitasnya (Nur Wangid, 2009).
            Ki Hadjar Dewantara dalam Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Gadjah Mada tahun 1956 bertepatan dengan 60 tahun Tamansiswa menjelaskan pendidikan kita sekarang baik yang swasta maupun negeri pada umumnya  merupakan doordruk (klise) dari sekolah sistem Belanda. Bahkan cenderung  menyimpang  menjadi materialistis, kololialistis, dan kapitalis.
            Selanjutnya Ki Hadjar, melontarkan wacana, seandainya bangsa Indonesia tidak terputus naluri  dan tradisinya akibat penjajahan serta tidak kehilangan garis kontinuitasnya dengan zaman lampau, maka bangsa Indonesia  pasti sudah mempunyai bentuk, isi, dan irama yang lain daripada  yang terlihat sekarang.
            Oleh karena itu, Tamansiswa memandang pendidikan karakter dari sudut pandang kebangsaan perlu dikedepankan. Sesui ciri khas pertama Tamansiswa, maka bangsa kita harus pandai bersyukur akan nikmat dan kodrat alam  Indonesia yang berupa kesatuan  berbagai  etnis dan multikultur yang menyatu sebagai sebuah bangsa. Ketika para peserta didik dan mahasiswa kita terlalu disibukkan dengan prestasi pendidikan formal, maka pendidikan karakter berwawasan kebangsaan itu semakin terpinggirkan.

                   Aktualisasi Era Sekarang                                                   
          Dengan demikian pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hadjar adalah  perlunya guru memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa. Tidak hanya sekadar  proses alih  ilmu pengetahuan saja, tetapi sekaligus  pendidikan juga sebagai proses transformasi nilai (transformation of value) agar peserta didik terbentuk sebagai pribadi yang utuh dan mandiri.
            Ketika kurikulum dielaborasikan sendiri oleh satuan pendidikan dengan KTSP dan setiap guru harus mengembangkan sendiri silabus dan rencana pembelajarannya, maka sesungguhnya sudah terbuka lebar peluang mengimplementasikan sistem among dalam pembelajarannya.
            Memberikan layanan pada kecenderungan peserta didik agar tumbuh secara maksimal tanpa adanya perasaan takut adalah contoh aktual. Mengutamakan pendekatan personal  dalam pembelajaran dengan memperhatikan kodrat peserta didik adalah contoh lainnya. Di lain pihak, pamong atau pendidik perlu membuka peluang  tumbuhnya inisiatif serta kemampuan  peserta didik untuk berbuat sesuatu.
            Nampaknya sekarang ini, pragmatisme pendidikan telah mencengkeram ruh pendididikan merdeka, Kemandirian peserta didik  untuk berkarya telah terabaikan oleh selembar ijazah formal. Belajar sekarang hanya sekadar untuk naik kelas dan lulus. Target lulus ujian nasional dengan patokan angka-angka spektakuler semakin menjauhkan dari ruh pendidikan sistem among.
            Untuk itu, bila semua stakeholders pendidikan mau menengok kembali pada sistem among yang dirintis oleh Tamansiswa, paling tidak dapat merefleksi kembali bahwa hakikat pendidikan pada dasarnya adalah perlunya nuansa kasih sayang, kejujuran, keiklasan, dan sikap religiositas dalam bingkai suasana kekeluargaan.


Ch. Dwi Anugrah
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang


Kamis, 07 Juli 2016

Pembelajaran Humanistik

Strategi Pembelajaran Humanistik



Oleh Ch. Dwi Anugrah

Melihat berbagai fenomena yang terjadi selama ini, menjadikan bangsa Indonesia menjadi semakin dewasa. Mulai dari hal-hal yang kecil sampai masalah yang lebih luas. Menyimak perputaran waktu dari hari ke hari, paling tidak semua komponen bangsa ini termasuk guru di dalamnya perlu selalu punya komitmen untuk perbaikan diri. Guna menunjang keberhasilan pembelajaran guru perlu mencari strategi pembelajaran yang dianggap efektif.
Dalam dunia pendidikan, strategi pembelajaran dapat dimaknai sebagai  suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan peserta didik  agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien (Kemp, 1995). Untuk itu, guna dapat melaksanakan tugas secara profesional, seorang guru memerlukan  wawasan yang mantap  tentang berbagai kemungkinan strategi pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran, baik dalam arti efek instruksional maupun efek pengiring, yang ingin dicapai  berdasarkan rumusan-rumusan tujuan pendidikan yang utuh.
Salah satu stategi pembelajaran  yang dapat diterapkan guru adalah stategi humanistik. Menurut teori humanistik belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Teori belajar humanistik sifatnya abstrak dan lebih mendekaji kajian filsafat. Teori ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep. Dalam teori pembelajaran humanistik, belajar merupakan proses yang dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia, yakni untuk mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal. Dal hal ini, maka teori humanistik ini bersifat eklektik (memanfaatkan / merangkum semua teori apapun dengan tujuan untuk memanusiakan manusia).
Salah satu ide penting dalam teori belajar humanistik adalah peserta didik  harus mempunyai kemampuan untuk mengarahkan sendiri perilakunya dalam belajar (self regulated learning), apa yang akan dipelajari dan sampai tingkatan mana, kapan dan bagaimana mereka akan belajar. Peserta didik  belajar mengarahkan sekaligus memotivasi diri sendiri dalam belajar daripada sekadar menjadi penerima pasif dalam proses belajar. Peserta didik  juga belajar menilai kegunaan belajar itu bagi dirinya sendiri.
Aliran humanistik memandang belajar sebagai sebuah proses yang terjadi dalam individu yang melibatkan seluruh bagian atau domain yang ada yang meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan kata lain, pendekatan humanistik menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Untuk itu, metode pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, peran guru   disarankan untuk menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, mengedepankan  kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran.
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi peserta didik. Di samping itu   guru perlu memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Adapun yang tak kalah pentingnya, guru perlu memfasilitasi pengalaman belajar dan mendampingi  peserta didik  untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Dalam hal ini, piswa berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik  memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Adapun kelebihan strategi pembelajaran humanistik ini adalah pertama, teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Kedua, indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah peserta didik  merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Ketiga, peserta didik  diharapkan menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
Dengan demikian startegi pembelajaran humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong peserta didik berpikir induktif yakni pola pikir yang berpijak pada fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian diteliti dan akhirnya ditemukan pemecahan persoalan yang bersifat umum. Di samping itu, dalam pembelajaran humanistik cenderung mengedepankan  faktor pengalaman dan keterlibatan peserta didik secara aktif dalam belajar.

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang