Pembenahan  Guru 
Pembelajar 
Oleh Ch.
Dwi Anugrah
Bila   dikomparasikan  dengan 
Negara  Asia Tenggara  lainnya, kualias pendidikan di Indonesia
dikatakan masih  rendah. Salah satu
faktor penyebabnya masih banyaknya guru yang belum professional.  Hal itu bisa dilihat dari capaian hasil UKG (Uji Kompetensi Guru)  pada tahun 2015 menunjukkan nilai rata-rata
nasional yang dicapai  baru  56,69. Berdasarkan pemetaan resultansi
UKG  tersebut,  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies
Baswedan pada tanggal 21 Mei 2016  meluncurkan
program Guru Pembelajar (Kompas, 15/6-2016)
Program ini merupakan
 upaya peningkatan kompetensi guru yang
melibatkan pemerintah serta partisipasi publik yang meliputi pemerintah daerah,
asosiasi profesi, perguruan tinggi, dunia usaha dan dunia industri, organisasi
kemasyarakatan, serta orangtua peserta didik. Bentuk pelibatan publik dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti memberikan dukungan bagi
terselenggaranya Program Peningkatan Kompetensi Guru Pembelajar, baik dalam
model  tatap muka, dalam jaringan
(daring), maupun pembelajaran kombinasi antara daring dan tatap muka.
Program yang
dirancang spesifik itu merupakan kelanjutan dari UKG  yang melibatkan  4.949.110 guru di seluruh Indonesia  pada tanggal 9-27 November 2015 lalu. Resultansi
UKG tersebut  telah memberikan  evidensi 
tentang jumlah guru yang  perlu
mengikuti  program Guru Pembelajar, agar
kompetensi  guru mengalami  peningkatan secara berkesinambungan. Seperti
yang ditargetkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalah hal ini
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK)  yang berusaha lebih keras agar dapat mengejar
target yang ditetapkan pada tahun 2016 yaitu rata-rata nilai UKG masing-masing
guru  65.
Gagasan itu bisa  dibaca sebagai pola pikir yang sangat mendasar
yaitu daripada membenahi kurikulum, seperti era pemerintahan sebelumnya,
pemerintah sekarang lebih  tertarik untuk
meningkatkan kualitas guru, karena guru pada abad 21, di mana pengembangan  sistem pendidikan  merupakan salah satu  faktor utama dalam menilai keberhasilan  pembangunan 
sebuah  negara, fungsi dan peranan
guru juga ikut bergeser. Jika dulu  guru
hanya berperan sebagai pendidik, saat ini guru 
dituntut  untuk mengelaborasikan  profesionalitasnya, tidak hanya di lingkup
belajar mengajar, tetapi juga perlu turut berperan dalam mengembangkan dunia
pendidikan dalam arti luas. 
Pergeseran
nilai-nilai, kuatnya arus informasi dan besarnya tuntutan komunitas untuk
mendapatkan pendidikan yang lebih baik telah mendorong  fungsi dan peranan seorang guru  ke sebuah posisi baru. Posisi guru tidak  hanya dituntut  untuk hadir 
di kelas, tetapi juga diharapkan bisa berperan  sebagai agent
of change, agen pembaharu yang 
memiliki posisi strategis dalam menentukan  nasib bangsa di masa depan. 
Peran
Sentral 
Sebagaimana diketahui
premis atau dasar pemikiran  bahwa guru
menjadi peran sentral dalam penyelenggaraan pendidikan  itu terlihat dalam politik pendidikan  yang dituangkan  dalam sistem perundang-undangan,    kongkritnya dalam UU No. 14/2005 tentang
Guru dan Dosen. 
Ketika ditelusuri
lebih jauh,  dalam Peraturan  Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia  No. 16/2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik  dan Kompetensi Guru  diperoleh 
empat unsur kompetensi, yakni pedagogis, professional, kepribadian, dan
sosial. Implikasinya guru dituntut 
menguasai materi  yang diajarkan dan
mengembangkan keprofesian melalui tindakan reflektif (professional).  teknik-teknik pengajaran kepada peserta
didik, meliputi penguasaan karakteristik, teori pembelajaran, kurikulum,
pembelajaran, komunikasi, sampai penilaian dan evaluasi (pedagogik), sikap
mental positif (kepribadian), dan memiliki tindakan yang luhur (sosial).
Hal itu merupakan
cerminan dari tuntutan sosial  tentang
guru sebagai model pribadi bagi peserta didik. Secara kultural,  tuntutan itu sekurang-kurangnya  juga ditunjukkan melaku akronim “digugu lan ditiru”,  pepatah 
“guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, hingga karya seni suara
berupa  “Umar Bakri” (Saifur Rohman,
2016).
            Secara
formal, guru di cetak melalui insitusi 
keguruan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan
dilengkapi  pendidikan profesi. Selama ini LPTK hanya diposisikan sebagai lembaga lisensi profesi guru.
Seiring perkembangan tekonologi 
semestinya tidak seketika mengubah seluruh  tuntutan secara kultural. Tentunya  dinamika  dalam perjalanan proses perlu menjadi
perhatian serius. 
            Oleh karena itu, bila
tuntutan tersebut direfleksikan  terhadap
peningkatan kualitas guru, maka terdapat simpul-simpul kelemahan yang cukup
elementer. Pertama, materi uji
kompetensi guru, hanya mengacu pada dua unsur, yaitu kompetensi pedagogis dan
professional. Sedangkan unsur kompetensi 
kepribadian dan sosial diabaikan. Padahal dua unsur terakhir ini juga
menjadi parameter kapabilitas guru. Kompetensi kepribadian bagi guru merupakan
kemampuan personal yang mencerminkan 
kepribadian yang  mantap, stabil,
dewasa, arif, berakhlak mulia, berwibawa, serta dapat menjadi sumber keteladanan
bagi peserta didik. Adapun kompetensi sosial merupakan kemampuan  yang harus dimiliki guru  untuk berkomunikasi dan bergaul secara
efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua
peserta didik dan komunitas sekitar.
            Sebagai tindak lanjut,
kedua materi uji kompetensi pedagogis dan professional kemudian disiapkan  dalam program Guru Pembelajar. Program
tersebut berisi tentang materi ajar pendidikan dasar dan menengah yang
diklasifikasikan menjadi dua bagian besar, yakni materi pengajaran dan ilmu
pengetahuan. Materi ini diringkas dalam bentuk modul yang dibaca  oleh para guru yang tidak lolos uji
kompetensi.  Durasi waktu pelatihan guru
mulai dari 60 hingga 100 jam pelajaran dengan model pembelajaran di luar dan di
dalam kelas. 
            Kedua, materi pelatihan  diringkas dalam bentuk  modul yang kurang memadai dalam tataran
praksis. Hal itu bertitik tolak dari 
realita bahwa modul tersebut diandaikan 
sebagai  smart book atau semacam buku pintar guru yang mencakup segala
kebutuhan pembelajaran. Faktanya, modul 
hanya berisi kutipan-kutipan  dari
sumber-sumber mata kuliah kependidikan di FKIP. Hal itu karena  penulisan materi pembelajaran dilakukan  dalam waktu sempit dan hanya berisi  kompilasi kutipan dari buku-buku kependidikan
yang tidak asing dibaca guru baik sekarang maupun ketika masa-masa kuliah.
            Ketiga, Program Guru  Pembelajar  bukanlah elaborasi ilmu, namun pembakuan ilmu.
Sebagai contoh materi ilmu pengetahuan yang diajarkan  dalam waktu sekitar  satu minggu tersebut bukan lagi melibatkan
penalaran sebagai dasar untuk  mencapai
tataran discovery (temuan baru) dalam
disiplin ilmu tertentu.  Sebaliknya, hal
itu merupakan ekstraksi dari tradisi ilmu pengetahuan selama ini. Ketika guru
diminta membaca ringkasan tersebut, yang terjadi adalah hafalan-hafalan materi
layaknya  ranah kognisi dalam taksonomi
bloom. Padahal untuk level guru, aspek hafalan tersebut sudah tidak
proporsional. Alangkah idealnya bila materi tersebut tidak jauh dari pengetahuan  yang langsung menyentuh pada  tataran praksis yang harus dikuasai oleh guru.
            Keempat, oleh karena program Guru Pembelajar adalah sebuah
klinik  untuk meningkatkan dua kompetensi
saja, maka sebetulnya program tersebut dapat dibenahi kembali.  Bila tidak 
dilakukan pembenahan, tidak akan berarti banyak. Sebab program tersebut
tidak memberikan pemahaman secara komprehensif tentang hakikat keguruan, yakni
mendidik, mengajar, dan melatih sebagaimana diutarakan oleh Ki Hadjar
Dewantara. 
Bukan Mendesak
            Dengan demikian program
Guru Pembelajar kiranya bukan hal yang sangat mendesak. Tindak lanjut UKG bisa
dilakukan dengan mendelegasikan Dinas Pendidikan, asosiasi profesi seperti KKG
atau  MGMP untuk memberikan pendampingan
pelatihan bagi guru-guru yang nilai uji kompetensinya masih di bawah standar.
Terlebih lagi, sekarang sudah muncul pelatihan Instruktur  Nasional yang ditengarai nilai UKG mereka
bagus. Namun, tidak jarang guru yang nilai UKG mereka  mepet dan kualitas di satuan pendidikan tidak
menonjol malah terpilih menjadi Instruktur Nasional yang nantinya memberikan
pendampingan kepada para guru. Hal ini merupakan salah satu kelemahan yang
perlu dibenahi.
            Untuk itu yang
seharusnya mendesak untuk dilakukan adalah peningkatan kualitas guru  melalui pembenahan mentalitas, ideologi,
hingga semangat pembelajaran. Yang terjadi sekarang ini, pembenahan cara dan
materi mengajar dilakukan, tetapi pembenahan degradasi  sikap mental guru diabaikan. Era sekarang,
bangsa ini tidak hanya membutuhkan guru yang sekadar pintar, tetapi ikhlas
mendampingi peserta didik yang berakar pada nilai-nilai kebangsaan. 
            Seorang guru diharapkan
memiliki  multi kompetensi  dengan mentalitas pribadi kuat yang dapat
menjadi teladan dan mampui memberdayakan akal-pikir peserta didiknya dengan
melihat pribadi dan manfaatnya  di masa
depan. Disadari bahwa masa depan itu luas baik tebaran maupun maknanya, bukan
hanya kelanjutan masa kini, menggenggam paradigma dan etos zamannya.  Oleh karena itu, akal mendidik yang  diemban adalah  memijah inspirasi, mengajak peserta didik  berpikir kritis, membangun kolaborasi yang
bisa melintasi batas-batas beberapa aspek kehidupan.
Drs. Ch.
Dwi Anugrah,
M.Pd.
Pendamping Seni Budaya 
SMK Wiyasa Magelang
Alumni Magister Pendidikan
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar