Rabu, 06 Juli 2016

Pembenahan Guru Pembelajar

Pembenahan  Guru  Pembelajar




Oleh Ch. Dwi Anugrah

Bila   dikomparasikan  dengan  Negara  Asia Tenggara  lainnya, kualias pendidikan di Indonesia dikatakan masih  rendah. Salah satu faktor penyebabnya masih banyaknya guru yang belum professional.  Hal itu bisa dilihat dari capaian hasil UKG (Uji Kompetensi Guru)  pada tahun 2015 menunjukkan nilai rata-rata nasional yang dicapai  baru  56,69. Berdasarkan pemetaan resultansi UKG  tersebut,  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pada tanggal 21 Mei 2016  meluncurkan program Guru Pembelajar (Kompas, 15/6-2016)
Program ini merupakan  upaya peningkatan kompetensi guru yang melibatkan pemerintah serta partisipasi publik yang meliputi pemerintah daerah, asosiasi profesi, perguruan tinggi, dunia usaha dan dunia industri, organisasi kemasyarakatan, serta orangtua peserta didik. Bentuk pelibatan publik dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti memberikan dukungan bagi terselenggaranya Program Peningkatan Kompetensi Guru Pembelajar, baik dalam model  tatap muka, dalam jaringan (daring), maupun pembelajaran kombinasi antara daring dan tatap muka.
Program yang dirancang spesifik itu merupakan kelanjutan dari UKG  yang melibatkan  4.949.110 guru di seluruh Indonesia  pada tanggal 9-27 November 2015 lalu. Resultansi UKG tersebut  telah memberikan  evidensi  tentang jumlah guru yang  perlu mengikuti  program Guru Pembelajar, agar kompetensi  guru mengalami  peningkatan secara berkesinambungan. Seperti yang ditargetkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalah hal ini Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK)  yang berusaha lebih keras agar dapat mengejar target yang ditetapkan pada tahun 2016 yaitu rata-rata nilai UKG masing-masing guru  65.
Gagasan itu bisa  dibaca sebagai pola pikir yang sangat mendasar yaitu daripada membenahi kurikulum, seperti era pemerintahan sebelumnya, pemerintah sekarang lebih  tertarik untuk meningkatkan kualitas guru, karena guru pada abad 21, di mana pengembangan  sistem pendidikan  merupakan salah satu  faktor utama dalam menilai keberhasilan  pembangunan  sebuah  negara, fungsi dan peranan guru juga ikut bergeser. Jika dulu  guru hanya berperan sebagai pendidik, saat ini guru  dituntut  untuk mengelaborasikan  profesionalitasnya, tidak hanya di lingkup belajar mengajar, tetapi juga perlu turut berperan dalam mengembangkan dunia pendidikan dalam arti luas.
Pergeseran nilai-nilai, kuatnya arus informasi dan besarnya tuntutan komunitas untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik telah mendorong  fungsi dan peranan seorang guru  ke sebuah posisi baru. Posisi guru tidak  hanya dituntut  untuk hadir  di kelas, tetapi juga diharapkan bisa berperan  sebagai agent of change, agen pembaharu yang  memiliki posisi strategis dalam menentukan  nasib bangsa di masa depan.

Peran Sentral
Sebagaimana diketahui premis atau dasar pemikiran  bahwa guru menjadi peran sentral dalam penyelenggaraan pendidikan  itu terlihat dalam politik pendidikan  yang dituangkan  dalam sistem perundang-undangan,    kongkritnya dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Ketika ditelusuri lebih jauh,  dalam Peraturan  Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia  No. 16/2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik  dan Kompetensi Guru  diperoleh  empat unsur kompetensi, yakni pedagogis, professional, kepribadian, dan sosial. Implikasinya guru dituntut  menguasai materi  yang diajarkan dan mengembangkan keprofesian melalui tindakan reflektif (professional).  teknik-teknik pengajaran kepada peserta didik, meliputi penguasaan karakteristik, teori pembelajaran, kurikulum, pembelajaran, komunikasi, sampai penilaian dan evaluasi (pedagogik), sikap mental positif (kepribadian), dan memiliki tindakan yang luhur (sosial).
Hal itu merupakan cerminan dari tuntutan sosial  tentang guru sebagai model pribadi bagi peserta didik. Secara kultural,  tuntutan itu sekurang-kurangnya  juga ditunjukkan melaku akronim “digugu lan ditiru”,  pepatah  “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, hingga karya seni suara berupa  “Umar Bakri” (Saifur Rohman, 2016).
            Secara formal, guru di cetak melalui insitusi  keguruan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan dilengkapi  pendidikan profesi. Selama ini LPTK hanya diposisikan sebagai lembaga lisensi profesi guru. Seiring perkembangan tekonologi  semestinya tidak seketika mengubah seluruh  tuntutan secara kultural. Tentunya  dinamika  dalam perjalanan proses perlu menjadi perhatian serius.
            Oleh karena itu, bila tuntutan tersebut direfleksikan  terhadap peningkatan kualitas guru, maka terdapat simpul-simpul kelemahan yang cukup elementer. Pertama, materi uji kompetensi guru, hanya mengacu pada dua unsur, yaitu kompetensi pedagogis dan professional. Sedangkan unsur kompetensi  kepribadian dan sosial diabaikan. Padahal dua unsur terakhir ini juga menjadi parameter kapabilitas guru. Kompetensi kepribadian bagi guru merupakan kemampuan personal yang mencerminkan  kepribadian yang  mantap, stabil, dewasa, arif, berakhlak mulia, berwibawa, serta dapat menjadi sumber keteladanan bagi peserta didik. Adapun kompetensi sosial merupakan kemampuan  yang harus dimiliki guru  untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua peserta didik dan komunitas sekitar.
            Sebagai tindak lanjut, kedua materi uji kompetensi pedagogis dan professional kemudian disiapkan  dalam program Guru Pembelajar. Program tersebut berisi tentang materi ajar pendidikan dasar dan menengah yang diklasifikasikan menjadi dua bagian besar, yakni materi pengajaran dan ilmu pengetahuan. Materi ini diringkas dalam bentuk modul yang dibaca  oleh para guru yang tidak lolos uji kompetensi.  Durasi waktu pelatihan guru mulai dari 60 hingga 100 jam pelajaran dengan model pembelajaran di luar dan di dalam kelas.
            Kedua, materi pelatihan  diringkas dalam bentuk  modul yang kurang memadai dalam tataran praksis. Hal itu bertitik tolak dari  realita bahwa modul tersebut diandaikan  sebagai  smart book atau semacam buku pintar guru yang mencakup segala kebutuhan pembelajaran. Faktanya, modul  hanya berisi kutipan-kutipan  dari sumber-sumber mata kuliah kependidikan di FKIP. Hal itu karena  penulisan materi pembelajaran dilakukan  dalam waktu sempit dan hanya berisi  kompilasi kutipan dari buku-buku kependidikan yang tidak asing dibaca guru baik sekarang maupun ketika masa-masa kuliah.
            Ketiga, Program Guru  Pembelajar  bukanlah elaborasi ilmu, namun pembakuan ilmu. Sebagai contoh materi ilmu pengetahuan yang diajarkan  dalam waktu sekitar  satu minggu tersebut bukan lagi melibatkan penalaran sebagai dasar untuk  mencapai tataran discovery (temuan baru) dalam disiplin ilmu tertentu.  Sebaliknya, hal itu merupakan ekstraksi dari tradisi ilmu pengetahuan selama ini. Ketika guru diminta membaca ringkasan tersebut, yang terjadi adalah hafalan-hafalan materi layaknya  ranah kognisi dalam taksonomi bloom. Padahal untuk level guru, aspek hafalan tersebut sudah tidak proporsional. Alangkah idealnya bila materi tersebut tidak jauh dari pengetahuan  yang langsung menyentuh pada  tataran praksis yang harus dikuasai oleh guru.
            Keempat, oleh karena program Guru Pembelajar adalah sebuah klinik  untuk meningkatkan dua kompetensi saja, maka sebetulnya program tersebut dapat dibenahi kembali.  Bila tidak  dilakukan pembenahan, tidak akan berarti banyak. Sebab program tersebut tidak memberikan pemahaman secara komprehensif tentang hakikat keguruan, yakni mendidik, mengajar, dan melatih sebagaimana diutarakan oleh Ki Hadjar Dewantara.

Bukan Mendesak
            Dengan demikian program Guru Pembelajar kiranya bukan hal yang sangat mendesak. Tindak lanjut UKG bisa dilakukan dengan mendelegasikan Dinas Pendidikan, asosiasi profesi seperti KKG atau  MGMP untuk memberikan pendampingan pelatihan bagi guru-guru yang nilai uji kompetensinya masih di bawah standar. Terlebih lagi, sekarang sudah muncul pelatihan Instruktur  Nasional yang ditengarai nilai UKG mereka bagus. Namun, tidak jarang guru yang nilai UKG mereka  mepet dan kualitas di satuan pendidikan tidak menonjol malah terpilih menjadi Instruktur Nasional yang nantinya memberikan pendampingan kepada para guru. Hal ini merupakan salah satu kelemahan yang perlu dibenahi.
            Untuk itu yang seharusnya mendesak untuk dilakukan adalah peningkatan kualitas guru  melalui pembenahan mentalitas, ideologi, hingga semangat pembelajaran. Yang terjadi sekarang ini, pembenahan cara dan materi mengajar dilakukan, tetapi pembenahan degradasi  sikap mental guru diabaikan. Era sekarang, bangsa ini tidak hanya membutuhkan guru yang sekadar pintar, tetapi ikhlas mendampingi peserta didik yang berakar pada nilai-nilai kebangsaan.
            Seorang guru diharapkan memiliki  multi kompetensi  dengan mentalitas pribadi kuat yang dapat menjadi teladan dan mampui memberdayakan akal-pikir peserta didiknya dengan melihat pribadi dan manfaatnya  di masa depan. Disadari bahwa masa depan itu luas baik tebaran maupun maknanya, bukan hanya kelanjutan masa kini, menggenggam paradigma dan etos zamannya.  Oleh karena itu, akal mendidik yang  diemban adalah  memijah inspirasi, mengajak peserta didik  berpikir kritis, membangun kolaborasi yang bisa melintasi batas-batas beberapa aspek kehidupan.
           

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Alumni Magister Pendidikan
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar