WAYANG ORANG SRIWEDARI
ANTARA KEBESARAN
DAN KEPRIHATINAN
Oleh Ch. Dwi Anugrah
Masa
pemerintahan Sri Mangkunegara V (1881-1886) merupakan periode puncak
perkembangan dan sekaligus awal
kemunduran wayang orang istana sebagai konsekuensi logis dari kebijaksanaan
pengetatan ekonomi pemerintahan Sri Mangkunegara VI (1896-1916). Policy itu
dilakukan dengan pertimbangan skala prioritas keuangan kerajaan, mengingat aktivitas kesenian dan berbagai upacara
dianggap suatu pemborosan yang membutuhkan biaya besar. Padahal situasi ekonomi
kerajaan baru kolaps, karena merosotnya perusahaan kopi milik Mangkunegaran
dikarenakan munculnya banyak penyakit dan hadirnya komoditi gula bit di Eropa.
Kebijakan tersebut berdampak, volume kegiatan berkesenian dikurangi dan banyak
para abdi dalem (pegawai istana) terkena pemutusan hubungan kerja. Para abdi dalem tersebut setelah dikeluarkan dari
istana banyak yang meneruskan proses kegiatan berkesenian di tempat tinggalnya
masing-masing.
Gambar 1. Tokoh wayang orang Srikandi (kiri) dan Mustakaweni (kanan)
(Foto: Koleksi Pribadi)
Langkah
kebijaksanaan Sri Mangkunegara VI tersebut, membawa implikasi tersendiri bagi
perkembangan wayang orang. Seni pertunjukan ini tidak lagi menjadi monopoli di
dalam tembok istana, tetapi mengalami mobilitas budaya menjadi seni pertunjukan
kota yang
komersial. Di luar tembok istana wayang orang berkembang selaras dengan selera komunitas kota , di antaranya mulai dikenalnya tata
teknis pentas model panggung prosenium.
Bentuk panggung ini jelas bukan asli Jawa atau Indonesia ,
melainkan bentuk panggung Eropa yang dibawa ke Indonesia lewat lawatan rombongan
kesenian Malaysia
pada akhir abad ke-19.
Salah satu jenis
tontonan yang menggunakan panggung Eropa itu, di antaranya adalah Wayang Orang
Sriwedari. Sebagai sebuah lembaga milik Kraton Kasunanan Surakarta, Wayang
Orang Sriwedari didirikan sekitar tahun 1910 untuk melengkapi fasilitas hiburan
yang ada di Taman Sriwedari atau Kebon Raja. Suatu kawasan wisata tepat di Jantung Kota Surakarta dengan penataan
yang unik dan menarik, lengkap dengan flora dan fauna serta dilengkapi sajian
hiburan kesenian klasik, film, jenis hiburan lainnya, serta rumah makan. Khusus
Taman Sriwedari didirikan oleh R.A.A Sasradiningrat atas perintah Sri Susuhunan
Paku Buwono X. Eksistensi taman ini nampaknya memiliki fungsi sebagai penyangga
kehidupan seni budaya kraton yang didesain harmoni dengan tata kotanya. Di
tempat ini raja sering berburu binatang dan bersantai di tempat khusus yang
disediakan untuk beliau dan rombongan. Patut disayangkan, dewasa ini Taman
Sriwedari tidak tertata secara tertib dan rapi sesuai aura aslinya, sehingga
validitas tentang bentuk arsitektur dan taman kota di abad millennium sebagai sumber
informasi makin tereliminasi.
Sebelum dibentuk
grup Wayang Orang Sriwedari, sebenarnya secara bergantian pernah tampil di
Taman Sriwedari grup-grup wayang orang kelilingan yang pada waktu itu sedang
mengalami perkembangan pesat. Perintis grup wayang orang komersial itu ialah Gan
Kam, seorang pengusaha Tiong Hoa kaya dari Surakarta . Bersamaan dengan pertumbuhan
kota-kota besar di Jawa dan kaum urban, tampaknya wayang orang menjadi sangat
popular. Waktu itu berdasarkan catatan James R. Brandon dalam bukunya Theatre
in South East Asia (1967) terungkap
bahwa di Jawa terutama di kota-kota besar terdapat sekitar 20 grup besar wayang
orang. Suatu prosentase yang cukup signifikan. Termasuk juga grup wayang orang
milik Lie Wat Gien pernah main di Taman Sriwedari Surakarta yang banyak
memukau penonton karena cukup atraktif.
Sedangkan para
penontonnya didominasi oleh orang-orang Cina yang kaya, terutama para
wanitanya. Fenomena yang banyak ditemui adalah sering munculnya kasus
percintaan (love affair) yang
berdampak pada disharmonitas keluarga yakni para wanita Cina banyak jatuh cinta
sama pemain tokoh Arjuna. Untuk mereduksi dampak negatif ini, oleh Gam Kam
pemain tokoh Arjuna diganti dengan pelaku wanita. Kejadian itu merupakan awal
pemain tokoh-tokoh Arjuna atau kesatria halus dalam pewayangan dimainkan oleh
wanita (transvestitie) dan
selanjutnya menjadi kebiasaan dalam casting wayang orang. Di samping itu
juga ada pertimbangan lain, apabila peran halus ditarikan oleh wanita akan
menambah daya tarik sendiri, mengingat wanita adalah simbol kecantikan dan
kehalusan yang menawan apabila dipandang mata, terutama oleh kaum laki-laki.
Perkembangan Menggembirakan
Kehadiran wayang
orang sebagai seni istana di tengah-tengah komunitas umum merupakan kesempatan
langka yang belum pernah ada sebelumnya. Keterlibatan etnis Cina pada difusi
wayang orang sebagai pemilik atau juragan menunjukkan kepeduliannya terhadap
kebudayaan Jawa. Sentuhan manajemen dalam wayang orang memiliki arti tersendiri
bagi sebuah kesenian komersial. Terutama dengan mengutamakan kualitas penyajian
yang mengarah pada segmen profit dan prinsip ekonomi sehingga pertumbuhan
proses kreatif apresiasi seni istana di kalangan masyarakat cepat
tersosialisasi.
Pada masa
penjajahan Belanda elaborasi Wayang Orang Sriwedari mendapat atensi khusus dan
langsung di bawah pengelolaan lembaga kepatihan. Bagi penari pria berprestasi
diberi kedudukan pangkat abdi dalem dengan nama wibakso, penari wanita rini,
dan pengrawit rawita. Nama-nama pemain terkenal yang pernah mengukir
nama Wayang Orang Sriwedari antara lain Wugu Hardjowibakso seorang pemain
Gatutkaca legendaris. Nalawibakso pemain Nala Gareng. Namun pada masa
pemerintahan Jepang, aktivitasnya mengalami stagnasi, mengingat kontrol politik
pemerintahan yang cukup ketat, termasuk bidang kebudayaan.
Gambar 2. Wayang Orang Sriwedari adegan pertemuan Pandawa (kanan)
dan Kurawa (kiri) (Foto: Koleksi Pribadi)
Pasca kemerdekaan Wayang Orang Sriwedari mengalami
perkembangan yang menggembirakan terutama di bawah pimpinan Tohiran pada sekitar
tahun 1950-an. Sosok inovator baik dalam
langkah regenerasi pemain, sistem produksi, maupun pemasaran. Maka tak
mengherankan di bawah kendalinya, muncul para pemain terkenal misalnya Rusman
Hardjowibakso seorang pemain terkenal tokoh Gatutkaca yang sangat dikagumi
Presiden Sukarno, Darsi Pudyarini pemeran Srikandi, Surono Ronowibakso tokoh
pemain Petruk terkenal. Karena reputasi dan kepiawaiannya, mereka sering ditunjuk sebagai duta seni untuk
melawat ke berbagai negara sahabat. Tahun 1951, ditunjuk sebagai duta seni ke Philipina, Hongkong,
Singapura, Tokyo ,
dan Honolulu .
Tahun 1964 ditunjuk lagi melawat ke Pakistan Timur dan Amerika Serikat.
Keikutsertaan mereka dalam misi kesenian ke luar negeri merupakan pengalaman
berharga dan menjadi pemicu untuk tampil secara lebih perfek dan professional.
Proses Degradasi
Masa kejayaan
Wayang Orang Sriwedari dan kemegahan spektakulernya sejak masa orde lama, di
mana waktu itu mampu memberikan subsidi besar kepada pemerintah karena banyak
diminati oleh komunitas publiknya, kini hanya berbagai keprihatinan besar
melanda nasib seni pertunjukan ini. Dalam proses perjalanan waktu mengalami
degradasi baik dari sisi penonton maupun kualitas penyajiannya sejalan dengan keterlambatan alih generasi
dan terbatasnya sumber daya manusia yang handal. Permalahan yang elementer
dikarenakan lembaga ini belum berhasil menjawab tantangan zaman yang semakin
kompetitif. Untuk sementara yang banyak
dituding adalah tidak berfungsinya manajemen secara professional. Berbicara
manajemen tentunya menyangkut dalam cakupan holistik dan problematik, terutama
terkait dengan masalah sumber dana dan terbatasnya sumber daya manusia.
Adapun faktor
penyebab kemundurannya dapat dilihat baik internal maupun eksternal. Penyebab
internal antara lain,pertunjukan masih bersifat statis dan konvensional,
lambatnya alih generasi, dominasi pendidikan senimannya rendah, dan sistem
produksinya tidak professional. Tidak bisa dipungkiri untuk mengemas agar
menaruh simpati penonton dibutuhkan kapabilitas manajemen dengan menekankan
kualitas SDM, kontrak prestasi, dan
dukungan konsisten untuk membangun wacana publik. Sedangkan penyebab kemunduran
secara eksternal, dikarenakan banyaknya alternatif tontonan pasar yang lebih variatif,
seperti TV, VCD, Film, dan jenis permainan baru. Di samping itu sistem
pendidikan nasional yang kurang memperhatikan porsi pada mata pelajaran muatan
lokal, seperti bahasa daerah, kesenian, ataupun sastra, tampaknya ikut
mempercepat keterasingan dan tidak akrabnya kesenian tradisional dengan
publiknya.
Untuk itu memang
diperlukan kepedulian semua pihak untuk lebih memperhatikan keberlangsungan
wayang orang sebagai asset budaya nasional. Baik itu dari elemen swasta ataupun
pemerintah. Dari elemen swasta bisa diampu dari berbagai perusahaan-perusahaan,
LSM, ataupun institusi lain sebagai maecenas. Sedangkan pemerintah
perlu memberikan skala prioritas
pendampingan melalui dana alokasi APBN/APBD atau dana taktis lainnya. Seperti
di Thailand dengan organisasinya The Thai National Theatre, sampai
sekarang masih eksis dan terus diminati, karena para senimannya mendapat
kesejahteraan sosial dan menjadi tanggungan negara.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping
Seni Budaya
SMK Wiyasa
Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar