Jumat, 08 Juli 2016

Wayang Orang Sriwedari Surakarta

WAYANG ORANG  SRIWEDARI
ANTARA KEBESARAN DAN KEPRIHATINAN



Oleh Ch. Dwi Anugrah


Masa pemerintahan Sri Mangkunegara V (1881-1886) merupakan periode puncak perkembangan dan sekaligus awal  kemunduran wayang orang istana sebagai konsekuensi logis dari kebijaksanaan pengetatan ekonomi pemerintahan Sri Mangkunegara VI (1896-1916). Policy itu dilakukan dengan pertimbangan skala prioritas keuangan kerajaan, mengingat  aktivitas kesenian dan berbagai upacara dianggap suatu pemborosan yang membutuhkan biaya besar. Padahal situasi ekonomi kerajaan baru kolaps, karena merosotnya perusahaan kopi milik Mangkunegaran dikarenakan munculnya banyak penyakit dan hadirnya komoditi gula bit di Eropa. Kebijakan tersebut berdampak, volume kegiatan berkesenian dikurangi dan banyak para abdi dalem (pegawai istana) terkena pemutusan hubungan kerja. Para abdi dalem tersebut setelah dikeluarkan dari istana banyak yang meneruskan proses kegiatan berkesenian di tempat tinggalnya masing-masing.


Gambar 1. Tokoh wayang orang Srikandi (kiri) dan Mustakaweni (kanan)
(Foto: Koleksi Pribadi)

Langkah kebijaksanaan Sri Mangkunegara VI tersebut, membawa implikasi tersendiri bagi perkembangan wayang orang. Seni pertunjukan ini tidak lagi menjadi monopoli di dalam tembok istana, tetapi mengalami mobilitas budaya menjadi seni pertunjukan kota yang komersial. Di luar tembok istana wayang orang berkembang selaras  dengan selera komunitas kota, di antaranya mulai dikenalnya tata teknis pentas model panggung prosenium.  Bentuk panggung ini jelas bukan asli Jawa atau Indonesia, melainkan bentuk panggung Eropa yang dibawa ke Indonesia lewat lawatan rombongan kesenian Malaysia pada akhir abad ke-19.
Salah satu jenis tontonan yang menggunakan panggung Eropa itu, di antaranya adalah Wayang Orang Sriwedari. Sebagai sebuah lembaga milik Kraton Kasunanan Surakarta, Wayang Orang Sriwedari didirikan sekitar tahun 1910 untuk melengkapi fasilitas hiburan yang ada di Taman Sriwedari atau Kebon Raja. Suatu kawasan wisata tepat  di Jantung Kota Surakarta dengan penataan yang unik dan menarik, lengkap dengan flora dan fauna serta dilengkapi sajian hiburan kesenian klasik, film, jenis hiburan lainnya, serta rumah makan. Khusus Taman Sriwedari didirikan oleh R.A.A Sasradiningrat atas perintah Sri Susuhunan Paku Buwono X. Eksistensi taman ini nampaknya memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan seni budaya kraton yang didesain harmoni dengan tata kotanya. Di tempat ini raja sering berburu binatang dan bersantai di tempat khusus yang disediakan untuk beliau dan rombongan. Patut disayangkan, dewasa ini Taman Sriwedari tidak tertata secara tertib dan rapi sesuai aura aslinya, sehingga validitas tentang bentuk arsitektur dan taman kota di abad millennium sebagai sumber informasi makin tereliminasi.
Sebelum dibentuk grup Wayang Orang Sriwedari, sebenarnya secara bergantian pernah tampil di Taman Sriwedari grup-grup wayang orang kelilingan yang pada waktu itu sedang mengalami perkembangan pesat. Perintis grup wayang orang komersial itu ialah Gan Kam, seorang pengusaha Tiong Hoa kaya dari Surakarta. Bersamaan dengan pertumbuhan kota-kota besar di Jawa dan kaum urban, tampaknya wayang orang menjadi sangat popular. Waktu itu berdasarkan catatan James R. Brandon dalam bukunya Theatre in South East Asia (1967)  terungkap bahwa di Jawa terutama di kota-kota besar terdapat sekitar 20 grup besar wayang orang. Suatu prosentase yang cukup signifikan. Termasuk juga grup wayang orang milik Lie Wat Gien pernah main di Taman Sriwedari Surakarta yang banyak memukau penonton karena cukup atraktif.
Sedangkan para penontonnya didominasi oleh orang-orang Cina yang kaya, terutama para wanitanya. Fenomena yang banyak ditemui adalah sering munculnya kasus percintaan (love affair)  yang berdampak pada disharmonitas keluarga yakni para wanita Cina banyak jatuh cinta sama pemain tokoh Arjuna. Untuk mereduksi dampak negatif ini, oleh Gam Kam pemain tokoh Arjuna diganti dengan pelaku wanita. Kejadian itu merupakan awal pemain tokoh-tokoh Arjuna atau kesatria halus dalam pewayangan dimainkan oleh wanita  (transvestitie) dan selanjutnya menjadi kebiasaan dalam casting wayang orang. Di samping itu juga ada pertimbangan lain, apabila peran halus ditarikan oleh wanita akan menambah daya tarik sendiri, mengingat wanita adalah simbol kecantikan dan kehalusan yang menawan apabila dipandang mata, terutama oleh kaum laki-laki.

Perkembangan Menggembirakan
Kehadiran wayang orang sebagai seni istana di tengah-tengah komunitas umum merupakan kesempatan langka yang belum pernah ada sebelumnya. Keterlibatan etnis Cina pada difusi wayang orang sebagai pemilik atau juragan menunjukkan kepeduliannya terhadap kebudayaan Jawa. Sentuhan manajemen dalam wayang orang memiliki arti tersendiri bagi sebuah kesenian komersial. Terutama dengan mengutamakan kualitas penyajian yang mengarah pada segmen profit dan prinsip ekonomi sehingga pertumbuhan proses kreatif apresiasi seni istana di kalangan masyarakat cepat tersosialisasi.
Pada masa penjajahan Belanda elaborasi Wayang Orang Sriwedari mendapat atensi khusus dan langsung di bawah pengelolaan lembaga kepatihan. Bagi penari pria berprestasi diberi kedudukan pangkat abdi dalem dengan nama wibakso, penari wanita rini, dan pengrawit rawita. Nama-nama pemain terkenal yang pernah mengukir nama Wayang Orang Sriwedari antara lain Wugu Hardjowibakso seorang pemain Gatutkaca legendaris. Nalawibakso pemain Nala Gareng. Namun pada masa pemerintahan Jepang, aktivitasnya mengalami stagnasi, mengingat kontrol politik pemerintahan yang cukup ketat, termasuk bidang kebudayaan.



Gambar 2. Wayang  Orang Sriwedari adegan pertemuan Pandawa (kanan)
dan Kurawa (kiri) (Foto: Koleksi Pribadi)


         Pasca kemerdekaan Wayang Orang Sriwedari mengalami perkembangan yang menggembirakan terutama di bawah pimpinan Tohiran pada sekitar tahun 1950-an. Sosok  inovator baik dalam langkah regenerasi pemain, sistem produksi, maupun pemasaran. Maka tak mengherankan di bawah kendalinya, muncul para pemain terkenal misalnya Rusman Hardjowibakso seorang pemain terkenal tokoh Gatutkaca yang sangat dikagumi Presiden Sukarno, Darsi Pudyarini pemeran Srikandi, Surono Ronowibakso tokoh pemain Petruk terkenal. Karena reputasi dan kepiawaiannya, mereka  sering ditunjuk sebagai duta seni untuk melawat ke berbagai negara sahabat. Tahun 1951, ditunjuk  sebagai duta seni ke Philipina, Hongkong, Singapura, Tokyo, dan Honolulu. Tahun 1964 ditunjuk lagi melawat ke Pakistan Timur dan Amerika Serikat. Keikutsertaan mereka dalam misi kesenian ke luar negeri merupakan pengalaman berharga dan menjadi pemicu untuk tampil secara lebih perfek dan professional.

Proses Degradasi
Masa kejayaan Wayang Orang Sriwedari dan kemegahan spektakulernya sejak masa orde lama, di mana waktu itu mampu memberikan subsidi besar kepada pemerintah karena banyak diminati oleh komunitas publiknya, kini hanya berbagai keprihatinan besar melanda nasib seni pertunjukan ini. Dalam proses perjalanan waktu mengalami degradasi baik dari sisi penonton maupun kualitas penyajiannya  sejalan dengan keterlambatan alih generasi dan terbatasnya sumber daya manusia yang handal. Permalahan yang elementer dikarenakan lembaga ini belum berhasil menjawab tantangan zaman yang semakin kompetitif.  Untuk sementara yang banyak dituding adalah tidak berfungsinya manajemen secara professional. Berbicara manajemen tentunya menyangkut dalam cakupan holistik dan problematik, terutama terkait dengan masalah sumber dana dan terbatasnya sumber daya manusia.
Adapun faktor penyebab kemundurannya dapat dilihat baik internal maupun eksternal. Penyebab internal antara lain,pertunjukan masih bersifat statis dan konvensional, lambatnya alih generasi, dominasi pendidikan senimannya rendah, dan sistem produksinya tidak professional. Tidak bisa dipungkiri untuk mengemas agar menaruh simpati penonton dibutuhkan kapabilitas manajemen dengan menekankan kualitas SDM, kontrak prestasi,  dan dukungan konsisten untuk membangun wacana publik. Sedangkan penyebab kemunduran secara eksternal, dikarenakan banyaknya alternatif tontonan pasar yang lebih variatif, seperti TV, VCD, Film, dan jenis permainan baru. Di samping itu sistem pendidikan nasional yang kurang memperhatikan porsi pada mata pelajaran muatan lokal, seperti bahasa daerah, kesenian, ataupun sastra, tampaknya ikut mempercepat keterasingan dan tidak akrabnya kesenian tradisional dengan publiknya.
Untuk itu memang diperlukan kepedulian semua pihak untuk lebih memperhatikan keberlangsungan wayang orang sebagai asset budaya nasional. Baik itu dari elemen swasta ataupun pemerintah. Dari elemen swasta bisa diampu dari berbagai perusahaan-perusahaan, LSM, ataupun institusi lain sebagai maecenas. Sedangkan pemerintah perlu  memberikan skala prioritas pendampingan melalui dana alokasi APBN/APBD atau dana taktis lainnya. Seperti di Thailand dengan organisasinya The Thai National Theatre, sampai sekarang masih eksis dan terus diminati, karena para senimannya mendapat kesejahteraan sosial dan menjadi tanggungan negara. 


 Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang




Tidak ada komentar:

Posting Komentar