Minimnya Kaderisasi Para Empu Tari
Oleh Ch. Dwi Anugrah
Eksistensi, kontinuitas, dan perkembangan seni tari
baik di Yogyakarta maupun Surakarta telah melalui jejak waktu panjang harmoni
dengan perubahan pelaku tari dan nilai yang hadir pada zamannya. Proses itu
tentunya tidak hanya instan, namun membutuhkan pengkajian, pengendapan, dan
pemikiran baik pada masa itu maupun asas
benefitnya bagi generasi masa depan.
Pada dasarnya
kehadiran seni tari pada masa tari tersebut tercipta ternyata dapat dirasakan membawa
makna yang sangat mendalam bagi kehidupan komunitas luas. Gerak akselerasinya
mempunyai implikasi intensif dalam memberi aspirasi manusia terhadap
lingkungannya yang sarat akan pernik-pernik kompleksitas permasalahan yang
melingkupinya.
Pada waktu itu
para empu tari Jawa yang mewariskan wasiat tari kepada generasi penerusnya secara sadar selalu berpijak pada pola
normatif dan konsepsi seni yang ada korelasinya dengan sosio kultural pada
zamanya. Konsep-konsep tersebut dapat diciptakan secara akuratif yang menguras pemikiran,
waktu, dan tenaga itu ternyata tidak
hanya sekadar berkisar masalah estetika
semata, namun lebih mencakup berbagai
aspek pola subsistensi manusia. Hal ini mengandung implikasi para empu tari
Jawa memandang persoalan-persoalan estetis mencakup teba wilayah kehidupan
manusia yang luas dan kompleks, serta
memandang tari sebagai salah satu refleksi budaya.
Berbagai gagasan
pemikiran, wawasan, dan pendekatan penciptaan karya dan kepenarian itu
berlanjut dalam proses dan mewujud dengan kekayaan ragam, bentuk, jenis,
kualitas, gaya, detail ungkap, serta makna filosofisnya sungguh merupakan
prestasi kreatif yang luar biasa dan patut menjadi kaca benggala bagi generasi
sekarang.
Sebagai salah
satu pengetahuan tradisional dalam tari, apa yang dilakukan oleh para empu tari
itu patut dihargai dan dihormati dengan cara generasi sekarang lebih memberi
makna dan memahaminya serta menjadikan karya para empu tari sebagai stimulus
yang menantang. Paling tidak dapat sebagai pemicu merevitalisasikan potensi
kreatif tersebut dengan berbagai aktivitas
yang mengarah pada kreativitas.
Pada masa lalu
kreativitas sering diasumsikan sebagai bakat, pembawaan, atau warisan biologis
yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Itulah sebabnya perubahan-perubahan di
dalam tari tradisi hanya dapat dilakukan oleh para empu tari yang menguasai
bidangnya. Namun paradigma pemikiran tersebut sudah mulai bergeser seiring munculnya berbagai lembaga pendidikan formal
kesenian sebagai parameter analisis pemikiran dalam perangkat disiplin ilmu.
Secara
substansial kreativitas merupakan kapasitas manusia untuk memproduksi
komposisi, hasil, atau ide-ide inovasi yang sebelumnya tidak dikenal oleh
penyusunnya sendiri. Kreativitas dapat dilakukan berdasarkan bahan-bahan
tradisi atau bahan-bahan baru yang diolah dalam format yang lebih proporsional.
Pemahaman
terhadap nilai-nilai tradisi dan hakikat kreativitas inilah yang merupakan bekal utama seorang seniman dalam mengolah
bentuk, corak, langgam atau semangat tradisi selaras dengan tingkat elaborasi
kehidupan manusia tersebut. Tanpa pemahaman intens terhadap nilai-nilai tradisi
hanya membuahkan karya bagus tapi kering dan tidak memiliki aura.
Daya Hidup
Lain
halnya dengan para empu tari Jawa dalam mencipta memang membutuhkan beberapa tahapan proses
yang tidak dipandang mudah. Kreativitas
para empu itu baik dalam kepenarian maupun penciptaan telah dilandasi dengan
apa yang dikenal dengan, pertama net yakni esensi ataupun roh daya cipta
yang mampu membuat karya tari dan sosok kepenariannya menjadi hidup. Kedua
krenteg, yaitu dorongan dari lubuk hati yang paling dalam untuk melakukan
proses kreatif. Ketiga karep yang
mengandung makna tujuan atau
kehendak agar kepenarian dan karya tarinya mempunyai makna dan bermanfaat bagi subisistensi manusia
(Wahyu Santoso P:2006).
Proses
terus menerus dari net, krenteg, dan karep membutuhkan daya hidup
dengan power energi dari dalam
jiwa. Dalam proses yang dibarengi
laku spiritual (asketik) seperti puasa, meditasi, tapa brata, pati geni
dan berbagai cara prihatin lainnya. Dengan mengaplikasikan pola pikir dan pola
tindak dalam berbagai laku tersebut memungkinkan kepenarian dalam karya tarinya dapat menembus
batas-batas kesukuan, membuka kesadaran
kontemplatif yang sekaligus merajut ruang transendental.
Di
Yogyakarta kita mengenal beberapa tokoh tari yang sudah diklasifikasikan
sebagai empu, sebut saja Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejokusumo sebagai pendiri KBW (Kridha Beksa Wirama)
yang merupakan organisasi tari pertama yang berdiri di luar tembok kraton, GBPH
Suryobrongto, KRT Sasmintadipura, RM
Dinusatomo, serta beberapa tokoh lainnya
yang dengan penuh totalitas telah memberikan kontribusi baik pikiran,
tenaga, dan loyalitasnya demi tetap solidnya eksistensi seni tari dalam kancah
berbagai kehidupan yang semakin
mengglobal.
Karya tari yang bagus, namun sampai saat ini
jarang ditemui empu tari yang mumpuni
(Foto: Koleksi Pribadi)
Adapun
bila dilihat dari perspektif filosofis
yang terdapat dalam Joged Mataram ternyata banyak hal yang menjadi
pijakan penciptaan para empu tari tersebut. Di antaranya bisa dicermati dalam
konsepsi Joged Mataram yang terdiri dari 4 prinsip utama, pertama sawiji adalah melakukan
konsentrasi total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa, implikasinya seluruh
sanubari penari dipusatkan pada satu peran yang dibawakan untuk menari sebaik mungkin dalam batas
kemampuannya dengan mengaplikasikan segala potensi yang dimiliki.
Kedua
greget, adalah dinamika atau semangat di dalam jiwa seseorang atau
kemampuan mengekspresikan kedalaman jiwa dalam gerak dengan pengendalian yang
sempurna. Ketiga sengguh, yakni kiat menciptakan kepercayaan diri pada
kemampuan personal tanpa mengarah atau menjurus pada arogansi. Sedangkan keempat
ora mingkuh yang merupakan sikap pantang mundur dalam menjalankan
kewajibannya sebagai penari dan tidak takut menghadapi kesulitan.
Pada
dasarnya filsafat Joged Mataram tersebut diaplikasikan dalam seni tari
Jawa dengan destinasi untuk mendapatkan keseimbangan lahir dan batin. Selain
itu dalam Joged Mataram juga menjadi dasar universal agar penari
mencapai tingkat perfeksionis dalam membawakan karater tari yang dibawakan
namum masih dalam tingkat kesadaran.
Di
Surakarta dikenal juga beberapa empu tari yang sampai akhir hayatnya tetap
mempunyai komitmen untuk menjaga eksistensi, keberlanjutan, dan elaborasi tari.
Tokoh-tokoh tersebut antara lain GPH Prabuwinoto, KRT Kusumokesowo, Ngaliman
Condropangrawit, KRT Tandhakusuma, KRT Wiratmodipura, RM Rono Suripto, Nyi Bei Mintararas, Ibu
Tarwo Sumosutargya, dan banyak tokoh lainnya.
Tulisan
Sastra Kartika dalam “Serat Kridhwayangga” (1925) banyak sekali memuat
informasi terkait dengan ikon tari Jawa gaya Surakarta. Manifestasi dari
konsepsi yang terdapat dalam Serat Kridhwayangga itu merupakan
dasar-dasar gerak yang melekat dan menyatu dalam satu kesatuan yang disebut patrap
beksa (sikap laku tari).
Secara
eksplisit para empu tari Jawa itu telah mampu mengklasifikasikan tari Jawa gaya
Surakarta dalam beberapa patrap beksa, antara lain sata ngetap swiwi
(ayam mengepakkan sayap) digunakan untuk peran tari halus luruh
(muda), kukila tumiling (burung
menggerakkan kepala) digunakan untuk peran tari halus lanyap (lincah), pucang
kanginan (nyiur tertiup angin) lebih cenderung untuk tari putri, wreksa
sol (pohon tumbang tercerabut dari akarnya) digunakan untuk peran tari
raksasa, dan masih banyak lagi pola patrap beksa untuk masing-masing
karakter yang jumlahnya kurang lebih ada sepuluh.
Berpijak
dari pemaparan patrap beksa tersebut, sudah bisa diprediksikan bahwa
para empu tari Jawa dalam mengawali penciptaaannya cenderung melakukan
observasi intensif dalam tahapan proses yang cukup lama, terutama untuk
menyikapi berbagai fenomena alam dan lingkungan yang menjadi ide elementer dari
proses penciptaannya.
Tidak
hanya berhenti sampai di situ saja. Para empu tari itu terus melakukan proses
kreatifnya dengan terus melakukan pengkajian yang tidak mengenal stagnasi
sampai hasil ciptaannya mewujud seperti yang dikenal sampai sekarang.
Karya-karya mereka bisa dikatakan cukup fenomenal, seperti Bedhaya, Srimpi, Wireng, Wayang Wong.
Bahkan perangkat evaluasi sebagai penari dipikirkan dalam suatu konsep yang
dikenal dengan hasta sawanda sebagai regulasi atau pedoman penari dalam
melakukan teknis gerak yang proporsional.
Kaderisasi
Mencermati kiprah para empu tari tersebut menjadi
fakta yang tak terbantahkan, kalau karya
mereka tetap melegenda dan cukup
fenomenal sampai sekarang. Namun seiring perjalanan waktu dengan surutnya
beberapa empu tari, seperti KRT Sasmintadipura, Bagong Kussudiarjo dari
Yogyakarta dan Rama Yasa Sudarmo pendiri Padepokan Cipto Budaya dari Tutub
Ngisor Kabupaten Magelang, serta terakhir KRT Tandhakusuma dari Surakarta, tampak nyata bahwa telah terjadi krisis para
empu tari.
Tak
bisa dinafikan sekarang ini memang telah banyak muncul koreografer seiring dengan eksisnya lembaga
pendidikan formal seni tari (ISI, STSI, SMKI) dan beberapa lembaga non formal
seperti sanggar-sanggar tari. Namun karya-karya mereka itu pada umumnya
walaupun tidak bisa digeneralisir masih sebatas show ataupun karya wadhag
saja. Sedangkan yang mengarah sampai titik kulminasi tingkat taksu
dilengkapi dengan karyanya yang langgeng dan dapat dikonsumsi publik dari
berbagai kalangan masih dapat dihitung dengan jari.
Kiranya
faktor yang perlu segera dipikirkan yakni munculnya kaderisasi baru sebagai
penerus atau inovator dari jejak-jejak para empu tari tersebut. Namun juga
perlu disadari menjadi sebutan empu tari itu memang menuntut akuntabilitas
moral yang cukup besar. Karena disadari
empu tari itu dipahami sebagai seseorang yang menggeluti dan menekuni
tari dalam durasi waktu cukup lama hingga intensitas dan virtuositasnya dapat
bertahan dan berlanjut hingga publik bisa menerima.
Akan
tetapi tidak ada salahnya mulai sekarang krisis empu tari itu perlu disikapi.Di
samping penciptaan kaderisasi, komunitas seniman khususnya tari dapat lebih
konsentrasi pada proses penciptaan yang kompetitif dalam kadar kualitas dengan
menyampingkan unsur-unusr konsumtif seperti karya-karya populer yang instant
dan cepat hilang dimakan waktu.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar