Minggu, 10 Juli 2016

Empu Tari

Minimnya Kaderisasi Para Empu Tari

Oleh Ch. Dwi Anugrah

           Eksistensi, kontinuitas, dan perkembangan seni tari baik di Yogyakarta maupun Surakarta telah melalui jejak waktu panjang harmoni dengan perubahan pelaku tari dan nilai yang hadir pada zamannya. Proses itu tentunya tidak hanya instan, namun membutuhkan pengkajian, pengendapan, dan pemikiran baik pada  masa itu maupun asas benefitnya  bagi generasi masa depan.
Pada dasarnya kehadiran seni tari pada masa tari tersebut tercipta ternyata dapat dirasakan membawa makna yang sangat mendalam bagi kehidupan komunitas luas. Gerak akselerasinya mempunyai implikasi intensif dalam memberi aspirasi manusia terhadap lingkungannya yang sarat akan pernik-pernik kompleksitas permasalahan yang melingkupinya.
Pada waktu itu para empu tari Jawa yang mewariskan wasiat tari kepada generasi penerusnya  secara sadar selalu berpijak pada pola normatif dan konsepsi seni yang ada korelasinya dengan sosio kultural pada zamanya. Konsep-konsep tersebut dapat diciptakan  secara akuratif yang menguras pemikiran, waktu, dan tenaga itu ternyata  tidak hanya  sekadar berkisar masalah estetika semata, namun lebih  mencakup berbagai aspek pola subsistensi manusia. Hal ini mengandung implikasi para empu tari Jawa memandang persoalan-persoalan estetis mencakup teba wilayah kehidupan manusia  yang luas dan kompleks, serta memandang tari sebagai salah satu refleksi budaya.
Berbagai gagasan pemikiran, wawasan, dan pendekatan penciptaan karya dan kepenarian itu berlanjut dalam proses dan mewujud dengan kekayaan ragam, bentuk, jenis, kualitas, gaya, detail ungkap, serta makna filosofisnya sungguh merupakan prestasi kreatif yang luar biasa dan patut menjadi kaca benggala bagi generasi sekarang.
Sebagai salah satu pengetahuan tradisional dalam tari, apa yang dilakukan oleh para empu tari itu patut dihargai dan dihormati dengan cara generasi sekarang lebih memberi makna dan memahaminya serta menjadikan karya para empu tari sebagai stimulus yang menantang. Paling tidak dapat sebagai pemicu merevitalisasikan potensi kreatif tersebut dengan berbagai aktivitas  yang mengarah pada kreativitas.
Pada masa lalu kreativitas sering diasumsikan sebagai bakat, pembawaan, atau warisan biologis yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Itulah sebabnya perubahan-perubahan di dalam tari tradisi hanya dapat dilakukan oleh para empu tari yang menguasai bidangnya. Namun paradigma pemikiran tersebut sudah mulai bergeser seiring  munculnya berbagai lembaga pendidikan formal kesenian sebagai parameter analisis pemikiran dalam perangkat disiplin ilmu.
Secara substansial kreativitas merupakan kapasitas manusia untuk memproduksi komposisi, hasil, atau ide-ide inovasi yang sebelumnya tidak dikenal oleh penyusunnya sendiri. Kreativitas dapat dilakukan berdasarkan bahan-bahan tradisi atau bahan-bahan baru yang diolah dalam format yang lebih proporsional.
Pemahaman terhadap nilai-nilai tradisi dan hakikat kreativitas inilah yang merupakan  bekal utama seorang seniman dalam mengolah bentuk, corak, langgam atau semangat tradisi selaras dengan tingkat elaborasi kehidupan manusia tersebut. Tanpa pemahaman intens terhadap nilai-nilai tradisi hanya membuahkan karya bagus tapi kering dan tidak memiliki aura.

Daya Hidup

            Lain halnya dengan para empu tari Jawa dalam mencipta  memang membutuhkan beberapa tahapan proses yang tidak dipandang  mudah. Kreativitas para empu itu baik dalam kepenarian maupun penciptaan telah dilandasi dengan apa yang dikenal dengan, pertama net yakni esensi ataupun roh daya cipta yang mampu membuat karya tari dan sosok kepenariannya menjadi hidup. Kedua krenteg, yaitu dorongan dari lubuk hati yang paling dalam untuk melakukan proses kreatif.  Ketiga karep yang mengandung makna  tujuan atau kehendak  agar kepenarian  dan karya tarinya  mempunyai makna  dan bermanfaat bagi subisistensi manusia (Wahyu Santoso P:2006).
            Proses terus menerus dari net, krenteg, dan karep membutuhkan daya hidup dengan power energi dari dalam  jiwa.  Dalam proses yang dibarengi laku spiritual (asketik) seperti puasa, meditasi, tapa brata, pati geni dan berbagai cara prihatin lainnya. Dengan mengaplikasikan pola pikir dan pola tindak dalam berbagai laku tersebut memungkinkan kepenarian  dalam karya tarinya dapat menembus batas-batas kesukuan, membuka  kesadaran kontemplatif yang sekaligus merajut  ruang transendental.
            Di Yogyakarta kita mengenal beberapa tokoh tari yang sudah diklasifikasikan sebagai empu, sebut saja Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejokusumo  sebagai pendiri KBW (Kridha Beksa Wirama) yang merupakan organisasi tari pertama yang berdiri di luar tembok kraton, GBPH Suryobrongto, KRT  Sasmintadipura, RM Dinusatomo, serta beberapa tokoh lainnya  yang dengan penuh totalitas telah memberikan kontribusi baik pikiran, tenaga, dan loyalitasnya demi tetap solidnya eksistensi seni tari dalam kancah berbagai kehidupan  yang semakin mengglobal.

                        
                                                  Karya tari yang bagus, namun sampai saat ini 
                                                  jarang ditemui empu tari yang mumpuni 
                                                             (Foto: Koleksi Pribadi)

            Adapun bila dilihat dari  perspektif filosofis yang terdapat dalam Joged Mataram ternyata banyak hal yang menjadi pijakan penciptaan para empu tari tersebut. Di antaranya bisa dicermati dalam konsepsi Joged Mataram yang terdiri dari 4 prinsip utama,   pertama sawiji adalah melakukan konsentrasi total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa, implikasinya seluruh sanubari penari dipusatkan pada satu peran yang dibawakan untuk  menari sebaik mungkin dalam batas kemampuannya dengan mengaplikasikan segala potensi yang dimiliki.
            Kedua greget, adalah dinamika atau semangat di dalam jiwa seseorang atau kemampuan mengekspresikan kedalaman jiwa dalam gerak dengan pengendalian yang sempurna. Ketiga sengguh, yakni kiat menciptakan kepercayaan diri pada kemampuan personal tanpa mengarah atau menjurus pada arogansi. Sedangkan keempat ora mingkuh yang merupakan sikap pantang mundur dalam menjalankan kewajibannya sebagai penari dan tidak takut menghadapi kesulitan.
            Pada dasarnya filsafat Joged Mataram tersebut diaplikasikan dalam seni tari Jawa dengan destinasi untuk mendapatkan keseimbangan lahir dan batin. Selain itu dalam Joged Mataram juga menjadi dasar universal agar penari mencapai tingkat perfeksionis dalam membawakan karater tari yang dibawakan namum masih dalam tingkat kesadaran.
            Di Surakarta dikenal juga beberapa empu tari yang sampai akhir hayatnya tetap mempunyai komitmen untuk menjaga eksistensi, keberlanjutan, dan elaborasi tari. Tokoh-tokoh tersebut antara lain GPH Prabuwinoto, KRT Kusumokesowo, Ngaliman Condropangrawit, KRT Tandhakusuma, KRT Wiratmodipura,  RM Rono Suripto, Nyi Bei Mintararas, Ibu Tarwo Sumosutargya, dan banyak tokoh lainnya.
            Tulisan Sastra Kartika dalam “Serat Kridhwayangga” (1925) banyak sekali memuat informasi terkait dengan ikon tari Jawa gaya Surakarta. Manifestasi dari konsepsi yang terdapat dalam Serat Kridhwayangga itu merupakan dasar-dasar gerak yang melekat dan menyatu dalam satu kesatuan yang disebut patrap beksa (sikap laku tari).
            Secara eksplisit para empu tari Jawa itu telah mampu mengklasifikasikan tari Jawa gaya Surakarta dalam beberapa patrap beksa, antara lain sata ngetap swiwi (ayam mengepakkan sayap) digunakan untuk peran tari halus luruh (muda),  kukila tumiling (burung menggerakkan kepala) digunakan untuk peran tari halus lanyap (lincah), pucang kanginan (nyiur tertiup angin) lebih cenderung untuk tari putri, wreksa sol (pohon tumbang tercerabut dari akarnya) digunakan untuk peran tari raksasa, dan masih banyak lagi pola patrap beksa untuk masing-masing karakter yang jumlahnya kurang lebih ada sepuluh.
            Berpijak dari pemaparan patrap beksa tersebut, sudah bisa diprediksikan bahwa para empu tari Jawa dalam mengawali penciptaaannya cenderung melakukan observasi intensif dalam tahapan proses yang cukup lama, terutama untuk menyikapi berbagai fenomena alam dan lingkungan yang menjadi ide elementer dari proses penciptaannya.
            Tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Para empu tari itu terus melakukan proses kreatifnya dengan terus melakukan pengkajian yang tidak mengenal stagnasi sampai hasil ciptaannya mewujud seperti yang dikenal sampai sekarang. Karya-karya mereka bisa dikatakan cukup fenomenal, seperti  Bedhaya, Srimpi, Wireng, Wayang Wong. Bahkan perangkat evaluasi sebagai penari dipikirkan dalam suatu konsep yang dikenal dengan hasta sawanda sebagai regulasi atau pedoman penari dalam melakukan teknis gerak yang proporsional.

Kaderisasi
            Mencermati kiprah para empu tari tersebut menjadi fakta yang  tak terbantahkan, kalau karya mereka  tetap melegenda dan cukup fenomenal sampai sekarang. Namun seiring perjalanan waktu dengan surutnya beberapa empu tari, seperti KRT Sasmintadipura, Bagong Kussudiarjo dari Yogyakarta dan Rama Yasa Sudarmo pendiri Padepokan Cipto Budaya dari Tutub Ngisor Kabupaten Magelang, serta terakhir KRT Tandhakusuma dari Surakarta,  tampak nyata bahwa telah terjadi krisis para empu tari.
            Tak bisa dinafikan sekarang ini memang telah banyak muncul  koreografer seiring dengan eksisnya lembaga pendidikan formal seni tari (ISI, STSI, SMKI) dan beberapa lembaga non formal seperti sanggar-sanggar tari. Namun karya-karya mereka itu pada umumnya walaupun tidak bisa digeneralisir masih sebatas show ataupun karya wadhag saja. Sedangkan yang mengarah sampai titik kulminasi tingkat taksu dilengkapi dengan karyanya yang langgeng dan dapat dikonsumsi publik dari berbagai kalangan masih dapat dihitung dengan jari.
            Kiranya faktor yang perlu segera dipikirkan yakni munculnya kaderisasi baru sebagai penerus atau inovator dari jejak-jejak para empu tari tersebut. Namun juga perlu disadari menjadi sebutan empu tari itu memang menuntut akuntabilitas moral yang cukup besar. Karena disadari  empu tari itu dipahami sebagai seseorang yang menggeluti dan menekuni tari dalam durasi waktu cukup lama hingga intensitas dan virtuositasnya dapat bertahan dan berlanjut hingga publik bisa menerima.
            Akan tetapi tidak ada salahnya mulai sekarang krisis empu tari itu perlu disikapi.Di samping penciptaan kaderisasi, komunitas seniman khususnya tari dapat lebih konsentrasi pada proses penciptaan yang kompetitif dalam kadar kualitas dengan menyampingkan unsur-unusr konsumtif seperti karya-karya populer yang instant dan cepat hilang dimakan waktu.
           

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang


           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar