Kamis, 07 Juli 2016

Kontribusi Etnis Tionghoa Pada Seni Pertunjukan

Kontribusi Etnis Tionghoa
Pada Seni Pertunjukan

Oleh Ch. Dwi Anugrah

Seperti diketahui warga Tionghoa mungkin paling merasakan  kejamnya sebuah stereotip yang selalu melekat dalam dirinya baik secara personal maupun kolektif. Stigma  umum kepada mereka yang selalu hanya mengedepankan laba, bisnis ekonomi, dan berbagai  nilai konsumtif lainnya  kadang orang  tak melihat  kemungkinan  unsur budaya lainnya  di dalam diri mereka.
Memang bila ditelisik lebih jauh, sejarah mencatat  bahwa  keharmonisan hubungan etnis keturunan  Tionghoa dengan etnis-etnis lain di Indonesia mengalami pasang surut yang disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi.  Di antaranya sejak zaman VOC  pada abad ke-17 sampai pada tahun 1945 penjajah membuat diskriminasi dengan pembagian kelas dalam masyarakat yang merendahkan  orang pribumi. Konflik SARA antara etnis Tionghoa dengan pribumi dan adanya kesenjangan ekonomi yang memicu kecemburuan sosial. Berdasarkan catatan John Naisbitt dalam Megatrend Asia (1997) meskipun komunitas keturunan Tionghoa hanya merupakan 4 % dari penduduk Indonesia, namun mereka mampu  mengendalikan 70 % perekonomian di Indonesia.


                       Kontribusi etnis Tionghoa pada seni pertunjukan wayang sangat besar
                                            (Foto: Koleksi Pribadi)

Meskipun noda-noda konflik pernah menumbuhkan stereotip etnik yang negatif, perjumpaan etnis Tionghoa dengan etnis Jawa dan etnis-etnis lainnya di Indonesia mempunyai historis keharmonisan tersendiri.  Kemajuan teknologi  perkapalan pada masa kebesaran kerajaan Majapahit konon dirintis oleh orang-orang Han dari Mongol yang mendarat di Tuban pada abad ke-12. Orang-orang Mongol itu  juga memilih untuk mendukung Majapahit  daripada pulang ke kampung halamannya. Peristiwa tersebut pernah disinggung  panjang lebar oleh Denys Lombard dalam buku adikaryanya   Nusa Jawa : Silang Budaya, Jaringan Asia (2000). Ternyata kontribusi  warga Tionghoa dalam berbaga aspek kehidupan, termasuk tradisi pemanfaatan waktu senggang dan seni pertunjukan sangatlah besar.

Inkulturasi
Memang dalam  dirinya sendiri, Kong Hu Cu dalam agama atau kepercayaan komunitas Tionghoa memiliki aspek –aspek ritual yang  akrab dengan berbagai bentuk perayaan dan pertunjukan. Tetapi yang menarik, berbagai perayaan dan  pertunjukan itu  itu hadir  dengan persentuhan yang intensif dan menyatu dengan tradisi setempat yang sering dikenal dengan terminologi inkulturasi. Wayang Potehi misalnya yang sering dipentaskan dengan  pengantar bahasa Melayu rendah  dan juga dalam perkembangannya sering menggunakan bahasa Indonesia. Karena itulah, beberapa kalangan menyebutnya sebagai  “ikon peranakan”  setara dengan  berbagai cerita silat yang ditulis  dan diterjemahkan oleh warga Tionghoa.
Dalam perkembangan selanjutnya, walaupun wayang potehi ini berasal dari  kaum migran Tionghoa, namun mereka justru bisa memadukan potehi dengan citra rasa lokal. Misalnya lakon potehi sendiri banyak dipinjam  dalam lakon kethoprak Jawa, seperti  tokoh Lie Sie Bien menjadi  Prabu Lisan Puro, Sie Jin Kwie menjadi Joko Sudiro, Kerajaan Thai  Toy  Tong menjadi Kerajaan Tanjunganom, dan lainnya.
            Keterpadauan dengan budaya lokal  ini, semakin merperat kebersamaan di antara warga Tionghoa dan Jawa yang kini dikenal dengan pembauran. Bahkan pemain potehi yang ada di Semarang dan Surabaya tidak terbatas dari warga keturunan Tinghoa, orang Jawa pun banyak yang berprofesi sebagai dalang potehi. Sebut saja, Bambang Sutrisno, Sukar Murjiono, Edy Mulyanto. Sedang para dalang dari etnis Tionghoa yang terkenal di antaranya Thio Tian Gie, Sing Tjon, Eng Tin, dan sebagainya (Majalah Gong, No. 67 Thn. 2005).
Selain itu,  komunitas Tionghoa sendiri  tak segan-segan  mengolah  bentuk seni setempat dalam bentuknya yang inovatif. Salah satu contoh adalah  wayang  thithi. Kata thithi  berasal dari suara alat musik   terbuat dari  kayu berlubang  yang jika dipukul akan mengeluarkan suara  thek...thek...thek. Di telinga orang Jawa, suara gemerincing  kepyak (salah satu instrumen musik gamelan terbuat  dari empat sampai lima lempengan logam yang dipukul dengan kaki dalam pertunjukan wayang kulit Jawa) terdengar seperti suara thi...thi...thi.
Wayang ini muncul pertama kali di Yogyakarta tahun 1920-an dan diciptakan oleh Gan Thwan Sing. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Jawa dan musik pengiringnya pun adalah karawitan Jawa. Gan menulis sendiri  lakon ceritanya daalm bahasa dan aksara Jawa, yang berisi mitos dan legenda negeri Tiongkok. Nama-nama tokoh dalam cerita tersebut, berikut negara, kerajaaan, kadipaten, kahyangan ditulis dalam bahasa Hokkian, tetapi istilah kepangkatan, gelar, dan lainnya dominasinya menggunakan istilah Jawa.
Kontribusi besar lain komunitas Tionghoa nampak  pada  pengembangan seni pertunjukan populer. Hal ini terlihat  misalanya dalam apa yang disebut wayang orang. Minatnya terhadap seni budaya Jawa, terutama wayang orang, tampak ketika Gam Kam, seorang pengusaha Cina yang kaya melihat adanya  peluang untuk mendirikan  rombongan wayang orang di luar tembok istana. Berdasarkan tulisan James R. Brandon dalam Theatre in Southeast Asia (1967) menegaskan bahwa rombongan wayang orang milik Gam Kam  yang dirintis sekitar tahun 1895 di Surakarta merupakan  grup seni  pertunjukan tradisional  komersial pertama yang dipentaskan  di panggung prosenium dengan model  panggung seperti di  Eropa.
Fenomena ketertarikan komunitas Tionghoa pada wayang orang karena diyakini,  wayang  di dalamnya mengandung nilai  tontonan dan tuntunan yang juga kaya dengan ajaran-ajaran  moral atau etika Jawa. Di samping itu besarnya minat publik wayang orang, merupakan salah satu  faktor lahirnya grup-grup wayang orang panggung komersial di kota-kota besar di Jawa. Maka tak mengherankan selain Gam Kam, terdapat banyak juragan-juragan  dari kalangan etnis  Tionghoa yang turut  menyemarakkan bisnis wayang orang, seperti Lie Wah Gien, Babah Lie Wat Djien, Babah Lie Yam Ping, Babah Lie  Sien Kuan, Yap Kam Lok, dan beberapa nama-nama etnis Tionghoa  lainnya.
Sikap adaptif dan integratif para juragan wayang orang  dari etnis Tionghoa itu dalam merealisasikan tujuan bisnisnya biasanya menjalin relasi dengan  penguasa lokal agar memperoleh perlindungan. Seperti, Lie Wat Djien, seorang pengusaha batik, bersama-sama Sri Mangkunegara VII mendirikan Wayang Orang Sono Harsono di Surakarta. Atau rombongan wayang orang milik  Lie Sien Kuan pernah direkrut oleh  Sri Susuhunan Paku Buwana X untuk mengisi pentas di Taman Sriwedari. Taman yang merupakan milik istana Kasunanan Surakarta ini memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan seni budaya istana yang didesain selaras dengan konsep paru-paru kota.
Dari pemikiran cerdas komunitas Tionghoa ini beberapa seni pertunjukan mengalami pergeseran fungsi yang semula  berfungsi ritual menjadi seni pertunjukan komersial yang banyak dikonsumsi publik. Seperti wayang orang yang semula merupakan seni istana dapat keluar tembok istana. Tentunya  sebagai seni komersial perlu didesain agar seni pertunjukan tersebut layak jual. Seperti tata panggung, lighting, dan  properti pertunjukan  yang dikemas semenarik mungkin.
Kontribusi komunitas Tionghoa pada seni pertunjukan  lokal ini tidak hanya sekadar menjual tetapi juga membentuk dan memainkan. Seperti di Surakarta sampai saat ini  masih dikenal PMS (Paguyuban Masyarakat Surakarta) yang merupakan perkumpulan  masyarakat Tionghoa dengan potensi yang dimiliki yaitu kesenian Tionghoa dan wayang orang.
Interaksi harmonis antara  komunitas Tionghoa dengan komunitas lokal tersebut, tidak sekadar  menunjukkan adanya keinginan  komunitas Tionghoa untuk menjadi Jawa agar dapat diterima oleh  masyarakat Jawa, melainkan mereka  sebenarnya adalah orang orang Jawa itu sendiri, terlepas dari ada atau tidaknya  warisan biologis Jawa  pada diri mereka  sebagai individu. Pada merekalah kebudayaan lokal terutama ranah seni pertunjukan  menemukan atmosfer dan daya hidup yang tak lekang oleh waktu.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang





Tidak ada komentar:

Posting Komentar