Kontribusi
Etnis Tionghoa
Pada Seni
Pertunjukan
Oleh Ch.
Dwi Anugrah
Seperti diketahui warga Tionghoa mungkin paling
merasakan kejamnya sebuah stereotip yang
selalu melekat dalam dirinya baik secara personal maupun kolektif. Stigma umum kepada mereka yang selalu hanya
mengedepankan laba, bisnis ekonomi, dan berbagai nilai konsumtif lainnya kadang orang
tak melihat kemungkinan unsur budaya lainnya di dalam diri mereka.
Memang bila ditelisik lebih jauh, sejarah
mencatat bahwa keharmonisan hubungan etnis keturunan Tionghoa dengan etnis-etnis lain di Indonesia
mengalami pasang surut yang disebabkan oleh beberapa faktor yang
mempengaruhi. Di antaranya sejak zaman
VOC pada abad ke-17 sampai pada tahun
1945 penjajah membuat diskriminasi dengan pembagian kelas dalam masyarakat yang
merendahkan orang pribumi. Konflik SARA
antara etnis Tionghoa dengan pribumi dan adanya kesenjangan ekonomi yang memicu
kecemburuan sosial. Berdasarkan catatan John Naisbitt dalam Megatrend Asia (1997) meskipun komunitas
keturunan Tionghoa hanya merupakan 4 % dari penduduk Indonesia, namun mereka
mampu mengendalikan 70 % perekonomian di
Indonesia.
Kontribusi etnis Tionghoa pada seni pertunjukan wayang sangat besar
(Foto: Koleksi Pribadi)
Meskipun noda-noda konflik pernah menumbuhkan
stereotip etnik yang negatif, perjumpaan etnis Tionghoa dengan etnis Jawa dan
etnis-etnis lainnya di Indonesia mempunyai historis keharmonisan tersendiri. Kemajuan teknologi perkapalan pada masa kebesaran kerajaan
Majapahit konon dirintis oleh orang-orang Han dari Mongol yang mendarat di
Tuban pada abad ke-12. Orang-orang Mongol itu
juga memilih untuk mendukung Majapahit daripada pulang ke kampung halamannya. Peristiwa
tersebut pernah disinggung panjang lebar
oleh Denys Lombard dalam buku adikaryanya
Nusa Jawa : Silang Budaya, Jaringan Asia (2000). Ternyata
kontribusi warga Tionghoa dalam berbaga
aspek kehidupan, termasuk tradisi pemanfaatan waktu senggang dan seni
pertunjukan sangatlah besar.
Inkulturasi
Memang dalam
dirinya sendiri, Kong Hu Cu dalam agama atau kepercayaan komunitas
Tionghoa memiliki aspek –aspek ritual yang akrab dengan berbagai bentuk perayaan dan pertunjukan.
Tetapi yang menarik, berbagai perayaan dan
pertunjukan itu itu hadir dengan persentuhan yang intensif dan menyatu
dengan tradisi setempat yang sering dikenal dengan terminologi inkulturasi. Wayang
Potehi misalnya yang sering dipentaskan dengan
pengantar bahasa Melayu rendah
dan juga dalam perkembangannya sering menggunakan bahasa Indonesia. Karena
itulah, beberapa kalangan menyebutnya sebagai
“ikon peranakan” setara
dengan berbagai cerita silat yang
ditulis dan diterjemahkan oleh warga
Tionghoa.
Dalam perkembangan selanjutnya,
walaupun wayang potehi ini berasal dari
kaum migran Tionghoa, namun mereka justru bisa memadukan potehi dengan
citra rasa lokal. Misalnya lakon potehi sendiri banyak dipinjam dalam lakon kethoprak Jawa, seperti tokoh Lie Sie Bien menjadi Prabu Lisan Puro, Sie Jin Kwie menjadi
Joko Sudiro, Kerajaan Thai Toy Tong menjadi Kerajaan Tanjunganom, dan
lainnya.
Keterpadauan
dengan budaya lokal ini, semakin
merperat kebersamaan di antara warga Tionghoa dan Jawa yang kini dikenal dengan
pembauran. Bahkan pemain potehi yang ada di Semarang
dan Surabaya
tidak terbatas dari warga keturunan Tinghoa, orang Jawa pun banyak yang
berprofesi sebagai dalang potehi. Sebut saja, Bambang Sutrisno, Sukar Murjiono,
Edy Mulyanto. Sedang para dalang dari etnis Tionghoa yang terkenal di antaranya
Thio Tian Gie, Sing Tjon, Eng Tin, dan sebagainya (Majalah Gong, No. 67 Thn.
2005).
Selain itu,
komunitas Tionghoa sendiri tak
segan-segan mengolah bentuk seni setempat dalam bentuknya yang
inovatif. Salah satu contoh adalah wayang
thithi. Kata thithi berasal dari suara alat musik terbuat dari
kayu berlubang yang jika dipukul
akan mengeluarkan suara
thek...thek...thek. Di telinga orang Jawa, suara gemerincing kepyak
(salah satu instrumen musik gamelan terbuat dari empat sampai lima lempengan logam yang
dipukul dengan kaki dalam pertunjukan wayang kulit Jawa) terdengar seperti
suara thi...thi...thi.
Wayang ini muncul pertama kali di Yogyakarta tahun
1920-an dan diciptakan oleh Gan Thwan Sing. Bahasa pengantarnya adalah bahasa
Jawa dan musik pengiringnya pun adalah karawitan Jawa. Gan menulis sendiri lakon ceritanya daalm bahasa dan aksara Jawa,
yang berisi mitos dan legenda negeri Tiongkok. Nama-nama tokoh dalam cerita
tersebut, berikut negara, kerajaaan, kadipaten, kahyangan ditulis dalam bahasa
Hokkian, tetapi istilah kepangkatan, gelar, dan lainnya dominasinya menggunakan
istilah Jawa.
Kontribusi besar lain komunitas Tionghoa
nampak pada pengembangan seni pertunjukan populer. Hal
ini terlihat misalanya dalam apa yang
disebut wayang orang. Minatnya
terhadap seni budaya Jawa, terutama wayang orang, tampak ketika Gam Kam,
seorang pengusaha Cina yang kaya melihat adanya
peluang untuk mendirikan
rombongan wayang orang di luar tembok istana. Berdasarkan tulisan James
R. Brandon dalam Theatre in Southeast Asia (1967) menegaskan bahwa
rombongan wayang orang milik Gam Kam
yang dirintis sekitar tahun 1895 di Surakarta merupakan grup seni
pertunjukan tradisional komersial
pertama yang dipentaskan di panggung
prosenium dengan model panggung seperti
di Eropa.
Fenomena ketertarikan komunitas Tionghoa pada wayang orang karena
diyakini, wayang di dalamnya mengandung nilai tontonan dan tuntunan yang juga
kaya dengan ajaran-ajaran moral atau
etika Jawa. Di samping itu besarnya minat publik wayang orang, merupakan salah
satu faktor lahirnya grup-grup wayang
orang panggung komersial di kota-kota besar di Jawa. Maka tak mengherankan
selain Gam Kam, terdapat banyak juragan-juragan
dari kalangan etnis Tionghoa yang
turut menyemarakkan bisnis wayang orang,
seperti Lie Wah Gien, Babah Lie Wat Djien, Babah Lie Yam Ping, Babah Lie Sien Kuan, Yap Kam Lok, dan beberapa
nama-nama etnis Tionghoa lainnya.
Sikap adaptif dan integratif para juragan wayang orang dari etnis Tionghoa itu dalam merealisasikan
tujuan bisnisnya biasanya menjalin relasi dengan penguasa lokal agar memperoleh perlindungan.
Seperti, Lie Wat Djien, seorang pengusaha batik, bersama-sama Sri Mangkunegara
VII mendirikan Wayang Orang Sono Harsono di Surakarta. Atau rombongan wayang
orang milik Lie Sien Kuan pernah
direkrut oleh Sri Susuhunan Paku Buwana
X untuk mengisi pentas di Taman Sriwedari. Taman yang merupakan milik istana
Kasunanan Surakarta ini memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan seni budaya
istana yang didesain selaras dengan konsep paru-paru kota .
Dari pemikiran cerdas komunitas Tionghoa ini beberapa seni
pertunjukan mengalami pergeseran fungsi yang semula berfungsi ritual menjadi seni pertunjukan
komersial yang banyak dikonsumsi publik. Seperti wayang orang yang semula
merupakan seni istana dapat keluar tembok istana. Tentunya sebagai seni komersial perlu didesain agar
seni pertunjukan tersebut layak jual. Seperti tata panggung, lighting, dan properti pertunjukan yang dikemas semenarik mungkin.
Kontribusi komunitas Tionghoa pada seni pertunjukan lokal ini tidak hanya sekadar menjual tetapi
juga membentuk dan memainkan. Seperti di Surakarta sampai saat ini masih dikenal PMS (Paguyuban Masyarakat
Surakarta) yang merupakan perkumpulan
masyarakat Tionghoa dengan potensi yang dimiliki yaitu kesenian Tionghoa
dan wayang orang.
Interaksi harmonis antara
komunitas Tionghoa dengan komunitas lokal tersebut, tidak sekadar menunjukkan adanya keinginan komunitas Tionghoa untuk menjadi Jawa agar
dapat diterima oleh masyarakat Jawa,
melainkan mereka sebenarnya adalah orang
orang Jawa itu sendiri, terlepas dari ada atau tidaknya warisan biologis Jawa pada diri mereka sebagai individu. Pada merekalah kebudayaan
lokal terutama ranah seni pertunjukan
menemukan atmosfer dan daya hidup yang tak lekang oleh waktu.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar