Jumat, 08 Juli 2016

Aktualisasi Ajaran Ki Hadjar Dewantara

Aktualisasi Ajaran Ki Hajar Dewantara




Oleh Ch. Dwi Anugrah


Dalam proses perjalalanan waktu,  pendidikan di Indonesia telah bergeser dari  cita-cita semula  yang telah diamanatkan oleh konstitusi  untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.  Pendididikan kini telah berlomba-lomba semata-mata untuk menyiapkan peserta didik  untuk terjun ke dunia pasar. Itu pun sampai sekarang sulit untuk dicapai.  
Adapun faktor penyebabnya di antaranya kita telah lupa pada substansi dan filosofis pendidikan yang dirintis oleh the founding father yang pada hakikatnya pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia dan membentuk pribadi utuh bagi para peserta didik.
Jauh sebelaum Indonesia merdeka, Ki Hadjar Dewantara dengan Tamansiswanya  telah mengupayakan agar anak-anak rakyat  yang dididik mempunyai  watak kepemimpinan dan berpengetahuan luas untuk mengelaborasikan kebudayaan Nasional. Oleh sebab itu,  beliau memasukkan  metode kepempimpinan bagi pengembangan pendidikannya. Metode kepemimpinan yang dimaksud  yaitu, seorang guru  adalah pamong sekaligus pemimpin, karena itu ia harus  mampu memberi  teladan ing ngarsa sung tulada dan mampu memberi motivasi ing madya mangun karsa, serta mampu  memberi dorongan  tut wuri handayani.
Yang melatarbelakangi  timbulnya semangat  dan semboyan seperti itu adalah pandangan hidup atau filsafat  pendidikan yang dimiliki oleh Ki Hadjar. Menurut beliau  pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia secara manusiawi. Peserta didik seyogyanya dibimbing  sesuai dengan kodrat alamnya. Pendidikan pada dasarnya merupakan kiat untuk memfasilitasi perkembangan bakat peserta didik, sesuai dengan kodrat yang ada, dan menjaga unsur-unsur destruktif  yang bisa menghambat atau bahkan membunuh bakat peserta didik itu sendiri.
Menurut pandangan Ki Hadjar, pendidikan  kolonial bersandar penuh pada metode pendidikan Barat yang sudah usang yakni: regering, tuct, dan orde (perintah, hukuman, dan ketertiban). Akibatnya peserta didik  terasing dari kehidupan sosial budaya bangsanya  dan membentuk kepribadian yang tidak utuh yaitu kepribadian yang hanya mementingkan sikap intelektualistik, materialistik, dan ketergantungan ekonomis. Pencapaian tujuannya hanya menjadi pegawai pemerintah.
Melalui pembaharuan terhadap model pawiyatan (pesantren) yang diproyeksikan sebagai sistem nasional dan berorientasi pada nilai budaya, kebangsaan dan kerakyatan maka lahirlah Tamansiswa. Lembaga ini mengusung misi mulia  yaitu melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Indonesia serta mewujudkan masyarakat berpendidikan yang tertib dan damai.

Sistem Among
            Sejak berdirinya sampai menikmati alam kemerdekaan, perjuangan Tamansiswa tidak terlepas dari sistem among sebagai landasan pendidikannya. Sistem among merupakan embrio  sistem pendidikan nasional Indonesia. Perjalanan panjang sistem pendidikan nasional  telah sampai pada “zaman kebingungan”. Karakter bangsa  yang diharapkan  terbangun oleh pendidikan ternyata telah tergerus oleh pragmatisme pendidikan.
Among berasal dari kata Jawa mengabdi melalui bimbingan. Kata ini juga digunakan untuk  menautkan korelasi antara pengasuh anak dengan anak kecil (bocah) yang dijaganya. Kata ini juga ditemukan kembali dapa dunia pewayangan dalam hubungan antara panakawan, terutama Semar dengan  momongannya, seperti Arjuna.
            Sebelum kemerdekaan, sistem among dimaksudkan sebagai sistem perlawanan  atas sistem pendidikan kolonial yang tidak sesuai  dengan kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia. Pendidikan kolonial didasari oleh  regering, tucht, and orde, atau perintah, hukuman, dan ketertiban atau paksaan.
            Sistem among, hendaknya diimplementasikan dengan orde and vrede, ialah tertib dan damai atau tata tentrem. Pamong tidak boleh memaksa, meskipun sekadar  memimpin. Ia juga  tidak dalam rangka nguja atau membiarliarkan. Intervensi kehidupan peserta didik  diperbolehkan ketika peserta didik  tersesat di jalan yang salah.
            Pijakakan sistem among berada pada dua dasar, yaitu kemerdekaan dan kodrat alam. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan  dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin peserta didik sehingga dapat hidup merdeka, mandiri, dan bekerja. Sedangkan kodrat alam sebagai syarat untuk mencapai  kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya menurut hukum evolusi.
            Selain konsep-konsep tersebut, ajaran Ki Hadjar Dewantara  yang dinilai relevan dengan zaman sekarang  adalah hidup hemat dan sederhana diharmonikan dengan keadaan atau kekuatan ekonomi kekeluargaan.  Semangat kekeluargaan tersebut mengandung  makna “kesatuan hidup” yang merupakan landasan cinta kasih bagai oase yang tak pernah kering.
            Di samping itu ada ajaran Ki Hadjar yang disebut Tringa. Ajaran ini sangat bermanfaat  dan dekat dengan kehidupan keseharian kita. Tringa merupakan akronim dari ngerti, ngrasa, ngelakoni. Hal ini mengingatkan  kita agar selalu  mengerti segala ajaran hidup  dan cita-cita. Kita juga perlu dapat merasakan  dan sadar akan  arti cita-cita tersebut. Untuk itu diperlukan kesadaran serta kesungguhan dalam melaksanakannya.  
            Dengan demikian sistem among yang dicanangkan oleh Ki Hadjar Dewantara ini merupakan cara pendidikan yang dipakai dalam sistem pendidikan Tamansiswa, dengan maksud  mewajibkan guru sebagai pendamping supaya mengingat dan mengedepankan kodrat peserta didik, dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya. Oleh karena itu alat perintah, paksaan, dan hukuman yang biasa dipakai dalam pendidikan zaman dahulu, perlu diganti dengan aturan: memberi tuntunan dan menyokong pada peserta didik di dalam mereka bertumbuh dan berkembang karena kodrat iradatnya sendiri, melenyapkan segala yang merintangi pertumbuhan dan perkembangan mereka serta perlunya mendekatkan peserta didik kepada alam dan komunitasnya (Nur Wangid, 2009).
            Ki Hadjar Dewantara dalam Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Gadjah Mada tahun 1956 bertepatan dengan 60 tahun Tamansiswa menjelaskan pendidikan kita sekarang baik yang swasta maupun negeri pada umumnya  merupakan doordruk (klise) dari sekolah sistem Belanda. Bahkan cenderung  menyimpang  menjadi materialistis, kololialistis, dan kapitalis.
            Selanjutnya Ki Hadjar, melontarkan wacana, seandainya bangsa Indonesia tidak terputus naluri  dan tradisinya akibat penjajahan serta tidak kehilangan garis kontinuitasnya dengan zaman lampau, maka bangsa Indonesia  pasti sudah mempunyai bentuk, isi, dan irama yang lain daripada  yang terlihat sekarang.
            Oleh karena itu, Tamansiswa memandang pendidikan karakter dari sudut pandang kebangsaan perlu dikedepankan. Sesui ciri khas pertama Tamansiswa, maka bangsa kita harus pandai bersyukur akan nikmat dan kodrat alam  Indonesia yang berupa kesatuan  berbagai  etnis dan multikultur yang menyatu sebagai sebuah bangsa. Ketika para peserta didik dan mahasiswa kita terlalu disibukkan dengan prestasi pendidikan formal, maka pendidikan karakter berwawasan kebangsaan itu semakin terpinggirkan.

                   Aktualisasi Era Sekarang                                                   
          Dengan demikian pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hadjar adalah  perlunya guru memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa. Tidak hanya sekadar  proses alih  ilmu pengetahuan saja, tetapi sekaligus  pendidikan juga sebagai proses transformasi nilai (transformation of value) agar peserta didik terbentuk sebagai pribadi yang utuh dan mandiri.
            Ketika kurikulum dielaborasikan sendiri oleh satuan pendidikan dengan KTSP dan setiap guru harus mengembangkan sendiri silabus dan rencana pembelajarannya, maka sesungguhnya sudah terbuka lebar peluang mengimplementasikan sistem among dalam pembelajarannya.
            Memberikan layanan pada kecenderungan peserta didik agar tumbuh secara maksimal tanpa adanya perasaan takut adalah contoh aktual. Mengutamakan pendekatan personal  dalam pembelajaran dengan memperhatikan kodrat peserta didik adalah contoh lainnya. Di lain pihak, pamong atau pendidik perlu membuka peluang  tumbuhnya inisiatif serta kemampuan  peserta didik untuk berbuat sesuatu.
            Nampaknya sekarang ini, pragmatisme pendidikan telah mencengkeram ruh pendididikan merdeka, Kemandirian peserta didik  untuk berkarya telah terabaikan oleh selembar ijazah formal. Belajar sekarang hanya sekadar untuk naik kelas dan lulus. Target lulus ujian nasional dengan patokan angka-angka spektakuler semakin menjauhkan dari ruh pendidikan sistem among.
            Untuk itu, bila semua stakeholders pendidikan mau menengok kembali pada sistem among yang dirintis oleh Tamansiswa, paling tidak dapat merefleksi kembali bahwa hakikat pendidikan pada dasarnya adalah perlunya nuansa kasih sayang, kejujuran, keiklasan, dan sikap religiositas dalam bingkai suasana kekeluargaan.


Ch. Dwi Anugrah
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang


1 komentar: