Teknik
Scaffolding
Dalam
Penanaman Nilai
Karakter
Oleh Ch. Dwi Anugrah
            Pendidikan karakter yang marak
dibicarakan publik belakangan ini akan semakin penting dan strategis, terutama
jika dikaitkan dengan  tantangan yang dihadapi
bangsa Indonesia dalam menyiapkan generasi masa depan dalam menghadapi  tantangan global dengan permasalahan yang
semakin berat dan kompleks. 
            Untuk menghadapi tantangan di era
global tersebut, diperlukan sumber daya manusia yang berpengetahuan,
berketerampilan, dan berkarakter kuat. Dengan mengoptimalkan sumber daya
manusia tersebut, bangsa ini akan semakin maju. Bangsa yang maju bukan hanya
ditentukan oleh faktor kekayaan alamnya saja, tetapi lebih dari itu, di
antaranya  kompetensi   atau teknologi yang dikuasai,  dorongan semangat  serta 
karakter  yang dimiliki. 
            Saat ini pemerintah telah
mencanangkan  pengintegrasian pendidikan
karakter ke semua mata pelajaran  mulai
pendidikan dasar sampai dengan  pendidikan
menengah. Namun dalam praktiknya, arah pendidikan karakter di satuan pendidikan
masih terbatas pada indoktrinasi belum internalisasi.
            Indoktrinasi mempunyai implikasi
pendidikan karakter tersebut diajarkan, yakni peserta didik diberitahu bahwa
mereka harus jujur, percaya diri, disiplin, dan memiliki rasa tanggung jawab.
Sebagai contoh, ketika guru mengajarkan tentang karakter seni tari, peserta
didik disuruh mengidentifikasi alur karakter seni tari, latar, rias - busana,
dan pesan karakter. Setelah peserta didik berhasil mengidentifikasi  unsur-unsur karakter seni tari tersebut,  peserta didik diberitahu  agar mereka mencontoh  perilaku baik seperti yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh protagonis dalam karakter seni tari dalam wayang. Pembelajaran
seperti itu adalah bentuk-bentuk indoktrinasi 
dalam pendidikan karakter yang menekankan   nilai-nilai itu diajarkan  atau ditransfer oleh guru.
            Berbeda dengan indoktrinasi yang
cenderung  mengajarkan nilai
internalisasi  adalah upaya pemilikan dan
penggalian nilai-nilai moral agar menjadi milik peserta didik. Nilai moral atau
karakter tersebut  menyatu, menjadi
bagian tidak terpisahkan  dari
perilaku  peserta didik  dalam kehidupan baik saat ini maupun  di masa mendatang. Dalam internalisasinya,
tugas guru adalah  mendorong peserta
didik  untuk menjadi  pemilik nilai-nilai moral atau karakter
tersebut. Selanjutnya  mengupayakan agar
nilai-nilai itu melekat dalam diri peserta didik dan mendorong peserta
didik  agar merealisasikan  nilai-nilai itu  dalam segala 
gerak langkah maupun  perilaku
kesehariannya. 
            Nilai-nilai  itu direfleksi, diceritakan sendiri oleh
peserta didik berdasarkan apa yang telah dialami, dirasakan, sehingga
nilai-nilai itu menjadi milik peserta didik. Nilai-nilai karakter itu akan
melekat kuat dalam diri peserta didik 
jika nilai-nilai itu  diikat  dengan pengalaman, emosi, dan motivasi  personal (Endah Tri Priyatni, 2013).
            Dalam proses internalisasi, guru
perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merefleksi  dan menceritakan  nilai-nilai moral  yang diperoleh ketika menyaksikan kejadian
aktual, peristiwa yang dialami sendiri sewaktu menonton seni pertunjukan,
membaca novel, cerpen, atau puisi. Peserta didik dapat merefleksi  atau menceritakan nilai-nilai   pada dirinya  yang sudah dialami, dilihat, atau dipahami
dari bacaan atau peristiwa aktual. Cara ini akan lebih tahan lama dan melekat
daripada guru yang menceritakan  atau
mengajarkan  nilai-nilai tersebut kepada
peserta didik.
            Tujuan akhir dari internalisasi
adalah dimilikinya nilai-nilai karakter 
itu secara otonom. Guru harus mendorong peserta didik agar menjadi
pemilik  nilai-nilai moral secara otonom.  Dengan demikian dampak yang diharapkan  dapat terealisasinya  nilai-nilai moral itu secara otomatis dalam
segala perilaku peserta didik tanpa ada perintah atau komando.
Rasa Percaya Diri  
            Pada
dasanya rasa percaya diri itu adalah 
kombinasi antara  sikap mental  dan pemilikan kemampuan. Untuk menumbuhkan
keyakinan bahwa seseorang  merasa
mampu  dalam melaksanakan tugas,
diperlukan teknik scaffolding.
Istilah scaffolding atau  mediated
learning adalah teori  yang dikemukan
oleh Vigotsky dalam bukunya “Mind in
Society” (1978), yang mengeksplanasikan bahwa scaffolding  menekankan  pada penggunaan dukungan atau bantuan  tahap demi tahap dalam belajar dan pemecahan
masalah. Ada beragam bantuan yang diberikan 
tergantung pada tingkat kesulitan 
yang dialami peserta didik, misalnya, memecah tugas menjadi lebih kecil,
mengatur bagian-bagian, mengajak berpikir ulang,  membahasakan proses berpikir jika tugasnya
kompleks, melaksanakan pembelajaran kooperatif, melakukan dialog  dalam kelompok kecil, memberi petunjuk
konkret, melakukan tanya jawab, memberikan pendampingan personal, atau
melakukan pemodelan.
            Di samping itu  bila diperlukan bantuan,  dapat berupa kiat  untuk  mengaktifkan latar belakang pengetahuan yang
dimiliki peserta didik, memberikan akses tentang strategi belajar efektif,
dan  prosedur-prosedur  kunci untuk melaksanakan tugas atau
memecahkan masalah yang dihadapi peserta didik agar tidak frustasi  karena mengerjakan  tugas atau 
suatu keterampilan yang sulit dicapai. 
            Pemberian dukungan setahap-demi
setahap ini bukan berarti  peserta didik
diajar  sedikit demi sedikit  dari seluruh komponen suatu tugas.   Dengan bantuan pendampingan personal yang
efektif,   pada suatu saat  akan terwujud menjadi suatu kapabilitas untuk
 menyelesaikan tugas  kompleks tersebut.  Teknik scaffolding
digunakan untuk  mencapai kompetensi
kompleks, menantang, dan realistik. Untuk mencapai kompetensi tersebut  diperlukan tangga, tahapan, atau  bantuan agar peserta didik dapat mencapai
kompetensi  yang kompleks tersebut
secara  mudah dan bertahan lama.
            Penggunaan teknik scaffolding dalam pembelajaran ini  menjadikan guru berpikir tentang tahapan atau
tangga yang dapat digunakan agar peserta didik dengan mudah dapat  mengimplementasikan tugas  secara menyeluruh dalam tahap demi
tahap.  Tahapan tugas tersebut  merupakan rangkaian kegiatan  hierarkhis
yang diperlukan untuk mencapai kompetensi optimal yang seharusnya dikuasai
peserta didik. 
Aplikasi Scaffolding
            Sebagai contoh,
aplikasi scaffolding untuk
menumbuhkan rasa percaya diri dalam pembelajaran karakter seni tari pada
jenjang sekolah menengah kejuruan akan dipaparkan dalam beberata tahapan. Pertama, kegiatan awal. Pembelajaran
dibuka guru
dengan meminta 
salah seorang peserta didik untuk memimpin doa. Setelah itu guru
menayangkan tayangan tokoh wayang dan karakter seni tarinya  dengan  media LCD. Setelah selesai penayangan, guru
bertanya kepada peserta didik tentang 
apa yang baru ditayangkan untuk mengetahu ranah imajinasi peserta didik.
Kemudian peserta didik serentak menjawab, tokoh wayang orang. Setelah itu,  guru melanjutkan pertanyaan, karakter wayang
orang tadi menceritakan tokoh siapa dan bagaimana karakternya ? Dengan sigap
peserta didik menjawab, tokoh tersebut adalah Gathutkaca ksatria Pringgandani
dengan tipologi karakter putra gagah. 
            Langkah selanjutnya guru menjelaskan
bahwa pada hari itu peserta didik akan belajar mengenal dan mempraktikkan
beberapa tipologi  karakter wayang orang
dalam seni tari. Di samping itu tidak lupa guru memberikan motivasi bahwa  mengamati dan menarikan karakter  wayang dalam seni tari tidak sulit asalkan
tahu caranya.
            Kedua,
kegiatan inti. Pada kegiatan inti ini, guru menayangkan beberapa tokoh
wayang baik itu putra maupun putri. Guru meminta peserta didik untuk
mengamati  dan mengidentifikasi  nama tokoh-tokohnya,  tipologi karakter, beserta ragam geraknya. Dari
pengamatan yang sudah dilakukan,  peserta
didik dimohon untuk mengajukan pertanyaan terkait dengan hasil pengamatan.
Seperti untuk tokoh Gathutkaca dalam menari, gerak spesifik apa yang  pantas diaplikasikan agar kesan sebagai sosok
ksatria tetap kelihatan menonjol? Apakah untuk gerak putri baik itu karakter
lanyap, seperti Srikandi  maupun luruh,
seperti Sinta tetap menggunakan ragam gerak yang sama? 
                 Dari hasil pengamatan, dengan
didampingi guru peserta didik dimohon untuk menafsirkan hasil temuannya. Dalam pendekatan
saintifik termasuk kegiatan mencoba atau mengumpulkan informasi dengan tujuan mengembangkan
sikap teliti, jujur, sopan,
menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan
mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan
kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat. 
                 Kegiatan selanjutnya,
berdasarkan data yang ditemukan, guru membuka kegiatan diskusi kelas dan
bertindak sebagai moderator. Fokus kajian diskusi adalah menyepakati atau
merevisi  kebenaran data, pengamatan, jawaban
pertanyaan yang diajukan, dan asumsi yang dikemukakan. Dari data dan
bukti-bukti yang telah disepakati itu para peserta didik diminta  mengerjakan karya tulis secara individual
yang menganalisis dan merumuskan nilai-nilai keindahan dan  nilai-nilai seni tari karakter wayang orang
dalam seni tari. Adapun rambu-rambunya adalah berdasarkan data dan  bukti-bukti yang ada  secara logis, argumentatif, apresiatif,
dipaparkan  dengan menggunakan  bahasa Indonesia yang jelas, logis, dan
sistematis. Dari tugas penulisan peserta didik,  guru memilih 5 makalah terbaik untuk
dipresentasikan. 
                 Masih ada kegiatan terakhir
yang harus dilakukan adalah menyajikan atau mengomunikasikan. Untuk aktivitas
ini guru memandu kegiatan diskusi secara bergiliran di depan kelas. Pada akhir
kegiatan diskusi diharapkan  diperoleh konklusi
yang memuaskan tentang aspek estetika, aspek seni, dan aspek nilai seni tari
dikorelasikan dengan karakter dalam wayang orang. Tidak lupa kegiatan ditutup
dengan refleksi sebagai umpan balik antar peserta didik dan guru untuk bisa
membuat kesimpulan yang diharapkan. 
                 Teknik scaffolding dalam pembelajaran karakter seni tari bertujuan agar
peserta didik yakin dan  percaya diri, bahwa
menganalisis  karakter seni tari itu
tidak sulit. Rasa percaya diri akan memberikan energi positif  yang akan 
mengarahkan untuk  menghasilkan
karya-karya kreatif. Dengan tahapan-tahapan yang jelas tersebut, peserta didik
dipastikan  tidak banyak  menemui kesulitan  dalam menganalsisi karakter seni tari dan
dapat menghasilkan  karya analisis seni
tari  yang estetis dan mempunyai nilai
seni. Dengan teknik scaffolding akan
membangkitkan rasa percaya diri pada peserta didik  karena ia merasa berhasil menaklukkan
kompetensi yang sulir. 
                 Di samping itu,  teknik scaffolding
dapat memperkuat implementasi kurikulum 2013. Dimana  kurikulum tersebut  mempunyai harapan untuk  mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi
tantangan-tantangan di masa depan melalui sikap, pengetahuan, dan  keterampilan  untuk beradaptasi  serta bisa  bertahan hidup dalam
lingkungan yang senantiasa berubah.
Drs. Ch.
Dwi Anugrah, M.Pd. 
     Pendamping Seni Budaya
     SMK Wiyasa Magelang
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar