Minggu, 10 Juli 2016

Teknik Scaffolding

Teknik Scaffolding
Dalam
Penanaman Nilai Karakter




Oleh Ch. Dwi Anugrah

            Pendidikan karakter yang marak dibicarakan publik belakangan ini akan semakin penting dan strategis, terutama jika dikaitkan dengan  tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam menyiapkan generasi masa depan dalam menghadapi  tantangan global dengan permasalahan yang semakin berat dan kompleks.
            Untuk menghadapi tantangan di era global tersebut, diperlukan sumber daya manusia yang berpengetahuan, berketerampilan, dan berkarakter kuat. Dengan mengoptimalkan sumber daya manusia tersebut, bangsa ini akan semakin maju. Bangsa yang maju bukan hanya ditentukan oleh faktor kekayaan alamnya saja, tetapi lebih dari itu, di antaranya  kompetensi   atau teknologi yang dikuasai,  dorongan semangat  serta  karakter  yang dimiliki.
            Saat ini pemerintah telah mencanangkan  pengintegrasian pendidikan karakter ke semua mata pelajaran  mulai pendidikan dasar sampai dengan  pendidikan menengah. Namun dalam praktiknya, arah pendidikan karakter di satuan pendidikan masih terbatas pada indoktrinasi belum internalisasi.
            Indoktrinasi mempunyai implikasi pendidikan karakter tersebut diajarkan, yakni peserta didik diberitahu bahwa mereka harus jujur, percaya diri, disiplin, dan memiliki rasa tanggung jawab. Sebagai contoh, ketika guru mengajarkan tentang karakter seni tari, peserta didik disuruh mengidentifikasi alur karakter seni tari, latar, rias - busana, dan pesan karakter. Setelah peserta didik berhasil mengidentifikasi  unsur-unsur karakter seni tari tersebut,  peserta didik diberitahu  agar mereka mencontoh  perilaku baik seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh protagonis dalam karakter seni tari dalam wayang. Pembelajaran seperti itu adalah bentuk-bentuk indoktrinasi  dalam pendidikan karakter yang menekankan   nilai-nilai itu diajarkan  atau ditransfer oleh guru.
            Berbeda dengan indoktrinasi yang cenderung  mengajarkan nilai internalisasi  adalah upaya pemilikan dan penggalian nilai-nilai moral agar menjadi milik peserta didik. Nilai moral atau karakter tersebut  menyatu, menjadi bagian tidak terpisahkan  dari perilaku  peserta didik  dalam kehidupan baik saat ini maupun  di masa mendatang. Dalam internalisasinya, tugas guru adalah  mendorong peserta didik  untuk menjadi  pemilik nilai-nilai moral atau karakter tersebut. Selanjutnya  mengupayakan agar nilai-nilai itu melekat dalam diri peserta didik dan mendorong peserta didik  agar merealisasikan  nilai-nilai itu  dalam segala  gerak langkah maupun  perilaku kesehariannya.
            Nilai-nilai  itu direfleksi, diceritakan sendiri oleh peserta didik berdasarkan apa yang telah dialami, dirasakan, sehingga nilai-nilai itu menjadi milik peserta didik. Nilai-nilai karakter itu akan melekat kuat dalam diri peserta didik  jika nilai-nilai itu  diikat  dengan pengalaman, emosi, dan motivasi  personal (Endah Tri Priyatni, 2013).
            Dalam proses internalisasi, guru perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merefleksi  dan menceritakan  nilai-nilai moral  yang diperoleh ketika menyaksikan kejadian aktual, peristiwa yang dialami sendiri sewaktu menonton seni pertunjukan, membaca novel, cerpen, atau puisi. Peserta didik dapat merefleksi  atau menceritakan nilai-nilai   pada dirinya  yang sudah dialami, dilihat, atau dipahami dari bacaan atau peristiwa aktual. Cara ini akan lebih tahan lama dan melekat daripada guru yang menceritakan  atau mengajarkan  nilai-nilai tersebut kepada peserta didik.
            Tujuan akhir dari internalisasi adalah dimilikinya nilai-nilai karakter  itu secara otonom. Guru harus mendorong peserta didik agar menjadi pemilik  nilai-nilai moral secara otonom.  Dengan demikian dampak yang diharapkan  dapat terealisasinya  nilai-nilai moral itu secara otomatis dalam segala perilaku peserta didik tanpa ada perintah atau komando.

Rasa Percaya Diri  
            Pada dasanya rasa percaya diri itu adalah  kombinasi antara  sikap mental  dan pemilikan kemampuan. Untuk menumbuhkan keyakinan bahwa seseorang  merasa mampu  dalam melaksanakan tugas, diperlukan teknik scaffolding. Istilah scaffolding atau  mediated learning adalah teori  yang dikemukan oleh Vigotsky dalam bukunya “Mind in Society” (1978), yang mengeksplanasikan bahwa scaffolding  menekankan  pada penggunaan dukungan atau bantuan  tahap demi tahap dalam belajar dan pemecahan masalah. Ada beragam bantuan yang diberikan  tergantung pada tingkat kesulitan  yang dialami peserta didik, misalnya, memecah tugas menjadi lebih kecil, mengatur bagian-bagian, mengajak berpikir ulang,  membahasakan proses berpikir jika tugasnya kompleks, melaksanakan pembelajaran kooperatif, melakukan dialog  dalam kelompok kecil, memberi petunjuk konkret, melakukan tanya jawab, memberikan pendampingan personal, atau melakukan pemodelan.
            Di samping itu  bila diperlukan bantuan,  dapat berupa kiat  untuk  mengaktifkan latar belakang pengetahuan yang dimiliki peserta didik, memberikan akses tentang strategi belajar efektif, dan  prosedur-prosedur  kunci untuk melaksanakan tugas atau memecahkan masalah yang dihadapi peserta didik agar tidak frustasi  karena mengerjakan  tugas atau  suatu keterampilan yang sulit dicapai.
            Pemberian dukungan setahap-demi setahap ini bukan berarti  peserta didik diajar  sedikit demi sedikit  dari seluruh komponen suatu tugas.   Dengan bantuan pendampingan personal yang efektif,   pada suatu saat  akan terwujud menjadi suatu kapabilitas untuk  menyelesaikan tugas  kompleks tersebut.  Teknik scaffolding digunakan untuk  mencapai kompetensi kompleks, menantang, dan realistik. Untuk mencapai kompetensi tersebut  diperlukan tangga, tahapan, atau  bantuan agar peserta didik dapat mencapai kompetensi  yang kompleks tersebut secara  mudah dan bertahan lama.
            Penggunaan teknik scaffolding dalam pembelajaran ini  menjadikan guru berpikir tentang tahapan atau tangga yang dapat digunakan agar peserta didik dengan mudah dapat  mengimplementasikan tugas  secara menyeluruh dalam tahap demi tahap.  Tahapan tugas tersebut  merupakan rangkaian kegiatan  hierarkhis yang diperlukan untuk mencapai kompetensi optimal yang seharusnya dikuasai peserta didik.

Aplikasi Scaffolding
            Sebagai contoh, aplikasi scaffolding untuk menumbuhkan rasa percaya diri dalam pembelajaran karakter seni tari pada jenjang sekolah menengah kejuruan akan dipaparkan dalam beberata tahapan. Pertama, kegiatan awal. Pembelajaran dibuka guru dengan meminta  salah seorang peserta didik untuk memimpin doa. Setelah itu guru menayangkan tayangan tokoh wayang dan karakter seni tarinya  dengan  media LCD. Setelah selesai penayangan, guru bertanya kepada peserta didik tentang  apa yang baru ditayangkan untuk mengetahu ranah imajinasi peserta didik. Kemudian peserta didik serentak menjawab, tokoh wayang orang. Setelah itu,  guru melanjutkan pertanyaan, karakter wayang orang tadi menceritakan tokoh siapa dan bagaimana karakternya ? Dengan sigap peserta didik menjawab, tokoh tersebut adalah Gathutkaca ksatria Pringgandani dengan tipologi karakter putra gagah.
            Langkah selanjutnya guru menjelaskan bahwa pada hari itu peserta didik akan belajar mengenal dan mempraktikkan beberapa tipologi  karakter wayang orang dalam seni tari. Di samping itu tidak lupa guru memberikan motivasi bahwa  mengamati dan menarikan karakter  wayang dalam seni tari tidak sulit asalkan tahu caranya.
            Kedua, kegiatan inti. Pada kegiatan inti ini, guru menayangkan beberapa tokoh wayang baik itu putra maupun putri. Guru meminta peserta didik untuk mengamati  dan mengidentifikasi  nama tokoh-tokohnya,  tipologi karakter, beserta ragam geraknya. Dari pengamatan yang sudah dilakukan,  peserta didik dimohon untuk mengajukan pertanyaan terkait dengan hasil pengamatan. Seperti untuk tokoh Gathutkaca dalam menari, gerak spesifik apa yang  pantas diaplikasikan agar kesan sebagai sosok ksatria tetap kelihatan menonjol? Apakah untuk gerak putri baik itu karakter lanyap, seperti Srikandi  maupun luruh, seperti Sinta tetap menggunakan ragam gerak yang sama?
                 Dari hasil pengamatan, dengan didampingi guru peserta didik dimohon untuk menafsirkan hasil temuannya. Dalam pendekatan saintifik termasuk kegiatan mencoba atau mengumpulkan informasi dengan tujuan mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat.
                 Kegiatan selanjutnya, berdasarkan data yang ditemukan, guru membuka kegiatan diskusi kelas dan bertindak sebagai moderator. Fokus kajian diskusi adalah menyepakati atau merevisi  kebenaran data, pengamatan, jawaban pertanyaan yang diajukan, dan asumsi yang dikemukakan. Dari data dan bukti-bukti yang telah disepakati itu para peserta didik diminta  mengerjakan karya tulis secara individual yang menganalisis dan merumuskan nilai-nilai keindahan dan  nilai-nilai seni tari karakter wayang orang dalam seni tari. Adapun rambu-rambunya adalah berdasarkan data dan  bukti-bukti yang ada  secara logis, argumentatif, apresiatif, dipaparkan  dengan menggunakan  bahasa Indonesia yang jelas, logis, dan sistematis. Dari tugas penulisan peserta didik,  guru memilih 5 makalah terbaik untuk dipresentasikan.
                 Masih ada kegiatan terakhir yang harus dilakukan adalah menyajikan atau mengomunikasikan. Untuk aktivitas ini guru memandu kegiatan diskusi secara bergiliran di depan kelas. Pada akhir kegiatan diskusi diharapkan  diperoleh konklusi yang memuaskan tentang aspek estetika, aspek seni, dan aspek nilai seni tari dikorelasikan dengan karakter dalam wayang orang. Tidak lupa kegiatan ditutup dengan refleksi sebagai umpan balik antar peserta didik dan guru untuk bisa membuat kesimpulan yang diharapkan.
                 Teknik scaffolding dalam pembelajaran karakter seni tari bertujuan agar peserta didik yakin dan  percaya diri, bahwa menganalisis  karakter seni tari itu tidak sulit. Rasa percaya diri akan memberikan energi positif  yang akan  mengarahkan untuk  menghasilkan karya-karya kreatif. Dengan tahapan-tahapan yang jelas tersebut, peserta didik dipastikan  tidak banyak  menemui kesulitan  dalam menganalsisi karakter seni tari dan dapat menghasilkan  karya analisis seni tari  yang estetis dan mempunyai nilai seni. Dengan teknik scaffolding akan membangkitkan rasa percaya diri pada peserta didik  karena ia merasa berhasil menaklukkan kompetensi yang sulir.
                 Di samping itu,  teknik scaffolding dapat memperkuat implementasi kurikulum 2013. Dimana  kurikulum tersebut  mempunyai harapan untuk  mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan-tantangan di masa depan melalui sikap, pengetahuan, dan  keterampilan  untuk beradaptasi  serta bisa  bertahan hidup dalam lingkungan yang senantiasa berubah.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
     Pendamping Seni Budaya

     SMK Wiyasa Magelang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar