Rabu, 06 Juli 2016

Dinamika Wayang Wong Gaya Yogyakarta

Dinamika Wayang Wong Gaya Yogyakarta

Dalam Historis Para Sultan

Oleh Ch. Dwi Anugrah


Kedudukan seni dramatari wayang orang atau dikenal dengan sebutan Wayang Wong dalam jagat kesenian Kraton Yogyakarta  tak dapat dipisahkan  dari kedudukan  Sultan Yogyakarta sebagai puncak  hierarki  status pemegang otoritas estetis. Oleh karena itu, Wayang wong identik dengan status Sultan yang ditempatkan sebagai raja penari.
Anggapan itu tidak berlebihan, jika kedudukan itu seperti  dalam periode  historis para raja yang mempunyai  kekuasaan monarki  absolut di belahan Eropa, terutama kerajaan Perancis di masa pemerintahan raja Louis XIV. Gambaran Louis  XIV sebagai raja penari  dikarenakan peran  favoritnya  sebagai dewa matahari  dalam seni pertunjukan balet.  Ini sebenarnya  juga sebuah identifikasi yang diasumsikan  para sejarawan tari  untuk melekatkan  status raja  dalam hierarki elite monarki di kerajaan Perancis.


                      Wayang Wong Gaya Yogyakarta, adegan Srikandi-Suradewati
                                                    (Foto: Koleksi Pribadi)

Sementara itu, gambaran Sultan Hamengku Buwana I sebagai  tokoh wayang Arjuna  dapat diidentifikasi  dari kekagumannya  terhadap tokoh ini dalam pertunjukan Wayang Wong. Salah satu ilustrasi menarik lainnya  ditunjukkan pada wujud penciptaan wayang kulit Arjuna yang diberi nama Kangjeng Kyai Jayaningrum. Wayang Arjuna Kangjeng Kyai Jayaningrum merupakan wayang kesayangan Sultan pertama Yogyakarta. Bentuk muka wayang ini berwarna hitam, dengan wanda kinanthi, yang merupakan  citra atau sifat-sifat berani tokoh wayang Arjuna dalam adegan  perang, terampil, cekatan dalam menghadapi musuh-musuhnya. Asumsi ini  pun lebih didasarkan pada pola  identifikasi  yang menyerupai  sifat-sifat Sultan pertama, ketika masih berjuang mendapatkan rekognisi atau pengakuan dari Gubernur Jendral dan Kraton Surakarta. Kehadirannya  di dalam sastra lakon yang memilih Arjuna sebagai  peran utama, maka hal ini  dapat menjadi  sebuah  identifikasi dari suatu citra ideal seorang kreator seni.

Pengesahan Formal
Dalam sumber sejarah tradisional yang dikenal dengan babad telah membuktikan  sebuah pengesahan formal tentang pribadi Sultan sebagai pemilik karya seni ciptaannya. Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa  Sultan Yogyakarta adalah seorang penari handal. Hampir seluruh  karya seni tari  ciptaan  Sultan Hamengku Buwana I pernah ditarikan sendiri di masa-masa  awal pemerintahannya. Kangjeng Sultan  sering membawakan tokoh Arjuna dengan  ragam tari  halus (Pramutomo, R.M.,  2009).
Hal yang sama dilakukan juga oleh Sultan Hamengku Buwana II, ketika memilih  tokoh Wrekudara atau Bima sebagai tipe karakter  tari gagah pada tradisi Yogyakarta dalam cerita Jaya Pusaka. Cerita ini  merupakan kisah  carangan (rekaan) yang menggambarkan Wrekudara  atau Bima menjadi raja di Jodhipati, namun ditentang oleh sejumlah raja, termasuk Baladewa dan Korawa. Bahkan  Bathara Guru  yang merupakan  raja para dewa pun  turut menentangnya.
Obsesi kepada  tipe karakter  Wrekudara  ini sudah ada sejak  menjadi putra mahkota. Alasan-alasan ini  juga dapat  diimplementasikan  dari spesifikasi  sifat tokoh Wrekudara yang berpendirian kuat, berhati  teguh, cenderung agak kaku, dan mudah tersinggung. Mengacu  pada peristiwa  yang menyertai  masa-masa pemerintahan  Sultan Hamengku Buwana II, maka hal itu dapat diterima  sebagai bentuk  refleksi kepribadiannya  yang terkenal anti pemerintahan Eropa, non kooperatif, dan sangat kaku  dalam berdiplomasi. Beberapa intrik politik di dalam istana  dan perselisihannya  dengan kebijakan  para kerabat istana sangat mewarnai  jalannya pemerintahan saat itu. Tidak mengherankan jika ketika Inggris datang  mengusai Jawa, menimbulkan goncangan besar di Istana Yogyakarta. Peristiwa ini pada akhirnya  membawa Sultan  kedua pada akhir pemerintahannya  dengan cara diasingkan.
Periode pemerintahan Sultan Hamengku Buwana III  merupakan periode terpendek  dalam sejarah Kraton Yogyakarta. Hal ini sama seperti masa  kekuasaan  Inggris di tanah Jawa dengan Thomas Stamford Raffles  menjadi  Letnan Gubernur Jendral Inggris   dari tahun 1811 hingga 1816.
Salah satu peristiwa  menonjol dari era pemerintahannya, yakni Sultan  ketiga berkehendak merancang  pertunjukan Wayang Wong  untuk suguhan tamu asing. Maka seni pertunjukan  lebih menekankan pada presentasi estetis dengan penonjolan pada nilai estetika, seperti kostum, make-up, tata panggung, dan sebagiainya. Ada impresif bahwa Wayang Wong  tidak lebih sekadar tontonan biasa dan cenderung agak santai, karena peristiwa  ini murni  ditujukan sebagai  suguhan tamu asing.
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana keempat, berdasarkan Babad Ngayogyakarta, menegaskan bahwa raja ini  sangat membumikan jiwa kesenimannya yang memiliki berbagai macam kegemaran baik dalam berolah sastra, karawitan, tari, Wayang Wong, dan mengendarai kuda. Dengan demikian tingkat partisipasi dan kepedulian Sultan terhadap tumbuh kembangnya budaya Jawa sangat tinggi.

Penari Elite
            Beberapa sumber tradisional  menjelaskan bahwa  pada era Sultan Hamengku Buwana V hingga era  Sultan Hamengku Buwana VIII, para penari Wayang Wong  merupakan  sekelompok penari  yang memiliki  status elite dalam strata  sosial di istana. Kehendak Sultan membagi penari menjadi  tiga kelompok. Pertama, penari wayang gupermen merupakan kelas elite tinggi diperkenankan mengadakan pentas di Tratag Bangsal Kencana. Kedua, penari  wayang encik, golongan menengah jika mengadakan pentas diperbolehkan hanya di Bangsal Sri Panganti sebelah barat. Ketiga, penari wayang Thionghoa,  jika akan mengadakan pertunjukan  diadakan di Bangsal Kemagangan.
            Adanya klasifikasi penari tersebut mengindikasikan  suatu pola kelembagaan  yang diaplikasikan secara artistik. Termasuk kualitas teknik penari. Kiranya  hal itu menjadi  penting bagi  suatu pencermatan  yang mendasarkan  telaah perkembangan  pola sajian  dalam sebuah format artistik karena dipakai sebagai suguhan tamu. Maka tak mengherankan pada masa pemerintahan Sultan ketujuh muncul penari-penari dari keluarga istana. Seperti GPA Puger saudara Sultan VII sebagai Wrekudara. GPA Purubaya putra  Sultan VII sebagai Angkawijaya. BPA Suryadiningrat sebagai  putra Sultan  VII sebagai Irawan, dan sebagainya.
            Wayang Wong mencapai puncak keemasan pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII. Sultan ini sering dijuluki  sebagai seorang maecenas atau pelindung besar seni pertunjukan istana. Di samping itu Sultan selalu  menyebut seni pertunjukan sebagai fokus utama dalam  memperbesar  kewibawaan Kraton  dan pemerintahannya melalui pergelaran Wayang Wong. Pada kenyataannya  menunjukkan, bahwa  status seni  pertunjukan di Kraton Yogyakarta pada era  ini mengalami puncak  perkembangan  dalam arti fisik maupun teknik.
Hal ini menjadi menarik, ketika gerakan nasionalisme di Yogyakarta juga mengalami perkembangan  bentuk organisasional.  Salah satu  periode  historis  penting  di zaman Hamengku Buwana VIII, yakni  didirikannya  sekolah tari pertama di luar tembok Kraton  yang bernama  Krida Beksa Wirama (KBW) pada tanggal  17 Agustus 1918 yang dipimpin oleh adik Sultan sendiri yang bernama BPH Suryadiningrat. Kiranya bentuk  perlindungan Sultan Hamengku Buwana VIII terhadap nilai seni budaya gaya Yogyakarta  telah diawali sejak masih bergelar Putra Mahkota, hingga saat menjadi Sultan di tahun 1921. Sampai dengan masa-masa awal pemerintahannya, bentuk dukungan itu menjadi semacam simbiosis mutualistik, dengan tersedianya sumber daya penari-penari KBW untuk ditampilkan  dalam pergelaran-pergelaran besar di dalam Kraton, selama kurun waktu  lebih dari dekade di awal  pemerintahan Sultan kedelapan.
Tentang perhatian Sultan yang begitu besar ini, kiranya tidak perlu diragukan, sebab sejak masih bernama  GPH Purubaya, beliau pernah  memerankan  tokoh Angkawijaya dalam suatu pertunjukan Wayang Wong di Kraton Yogyakarta  tahun 1899, bersama-sama dengan BPH Suryadiningrat  yang berperan sebagai Irawan, dan GPH Tejakusuma  berperan  sebagai Sumitra. Kesemuanya merupakan putra Arjuna. Kedekatan pribadi  di antara  ketiga  bangsawan ini merupakan refleksi pemikiran dari generasinya.
Hingga tiba masanya  GPH Purubaya  menjadi Putra Mahkota,  kedua adiknya itu segera menggandengnya sebagai upaya  permohonan restu  mendiang Hamengku Buwana  VII  untuk mendirikan KBW pada tahun 1918. Awal perkembangan KBW sangat bergantung pada relasi personal ketiga Pangeran di atas. Hal ini cukup menjamin  dihasilkannya  lulusan sekolah KBW yang mempunyai kemampuan teknik menari yang baik.
Pergelaran wayang orang di istana Yogyakarta pada umumnya selalu dimulai dari pukul 06.00 pagi dan berakhir pada sore hari menjelang matahari tenggelam. Pemilihan waktu pertunjukan ini hanya bisa dipahami melalui konsepsi kenegaraan Kasultanan Yogyakarta, bahwa dari nama kerajaan Ngayogjakarta dan gelar Hamengku Buwana, jelas mengindikasikan penguasaYogyakarta itu melegetemasikan dirinya seperti Dewa Wisnu. Gelar Hamengku Buwana yang berarti “pemelihara dunia” adalah gelar yang sama artinya dengan fungsi Dewa Wisnu sebagai pemelihara dunia. Sedangkan nama Ngayogjakarta mengacu kepada nama Ayodya, kerajaan Sri Rama. Dan Rama adalah inkarnasi Wisnu. Dalam pantheon dewa-dewa di Jawa, Wisnu juga dianggap sebagai dewa pencerahan dunia. Dari data-data tersebut bisa diprediksikan bahwa pertunjukan wayang orang yang dimulai dari pukul 06.00 pagi dan berakhir saat matahari tenggelam merupakan upacara penghormatan kepada Dewa Wisnu sebagai dewa pencerahan dunia (Soedarsono, 1985).
Sebagai seni pertunjukan istana tentunya terdapat tatanan normatif dengan  berpedoman pada tata cara dan etika istana yang di dalamnya juga terkandung nilai edukasi yang berlaku secara general untuk semua pendukung seni pertunjukan spektakuler tersebut.

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Alumni Jurusan Seni Tari ISI Yogyakarta
dan Magister Pendidikan UST Yogyakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar