Dinamika
Wayang Wong Gaya Yogyakarta
Oleh Ch. Dwi
Anugrah
Kedudukan seni
dramatari wayang orang atau dikenal dengan sebutan Wayang Wong dalam jagat
kesenian Kraton Yogyakarta tak dapat
dipisahkan dari kedudukan Sultan Yogyakarta sebagai puncak hierarki
status pemegang otoritas estetis. Oleh karena itu, Wayang wong identik
dengan status Sultan yang ditempatkan sebagai raja penari.
Anggapan itu
tidak berlebihan, jika kedudukan itu seperti
dalam periode historis para raja yang
mempunyai kekuasaan monarki absolut di belahan Eropa, terutama kerajaan
Perancis di masa pemerintahan raja Louis XIV. Gambaran Louis XIV sebagai raja penari dikarenakan peran favoritnya
sebagai dewa matahari dalam seni
pertunjukan balet. Ini sebenarnya juga sebuah identifikasi yang
diasumsikan para sejarawan tari untuk melekatkan status raja
dalam hierarki elite monarki di kerajaan Perancis.
Wayang Wong Gaya Yogyakarta, adegan Srikandi-Suradewati
(Foto: Koleksi Pribadi)
Sementara
itu, gambaran Sultan Hamengku Buwana I sebagai
tokoh wayang Arjuna dapat
diidentifikasi dari kekagumannya terhadap tokoh ini dalam pertunjukan Wayang
Wong. Salah satu ilustrasi menarik lainnya
ditunjukkan pada wujud penciptaan wayang kulit Arjuna yang diberi nama Kangjeng Kyai Jayaningrum. Wayang Arjuna
Kangjeng Kyai Jayaningrum merupakan
wayang kesayangan Sultan pertama Yogyakarta. Bentuk muka wayang ini berwarna
hitam, dengan wanda kinanthi, yang
merupakan citra atau sifat-sifat berani
tokoh wayang Arjuna dalam adegan perang,
terampil, cekatan dalam menghadapi musuh-musuhnya. Asumsi ini pun lebih didasarkan pada pola identifikasi
yang menyerupai sifat-sifat
Sultan pertama, ketika masih berjuang mendapatkan rekognisi atau pengakuan dari
Gubernur Jendral dan Kraton Surakarta. Kehadirannya di dalam sastra lakon yang memilih Arjuna sebagai
peran utama, maka hal ini dapat
menjadi sebuah identifikasi dari suatu citra ideal seorang kreator
seni.
Pengesahan
Formal
Dalam sumber
sejarah tradisional yang dikenal dengan babad
telah membuktikan sebuah pengesahan
formal tentang pribadi Sultan sebagai pemilik karya seni ciptaannya. Atas dasar
itu, dapat dikatakan bahwa Sultan
Yogyakarta adalah seorang penari handal. Hampir seluruh karya seni tari ciptaan
Sultan Hamengku Buwana I pernah ditarikan sendiri di masa-masa awal pemerintahannya. Kangjeng Sultan sering membawakan tokoh Arjuna dengan ragam tari
halus (Pramutomo, R.M., 2009).
Hal yang sama
dilakukan juga oleh Sultan Hamengku Buwana II, ketika memilih tokoh Wrekudara atau Bima sebagai tipe
karakter tari gagah pada tradisi Yogyakarta
dalam cerita Jaya Pusaka. Cerita
ini merupakan kisah carangan
(rekaan) yang menggambarkan Wrekudara
atau Bima menjadi raja di Jodhipati, namun ditentang oleh sejumlah raja,
termasuk Baladewa dan Korawa. Bahkan
Bathara Guru yang merupakan raja para dewa pun turut menentangnya.
Obsesi
kepada tipe karakter Wrekudara
ini sudah ada sejak menjadi putra
mahkota. Alasan-alasan ini juga
dapat diimplementasikan dari spesifikasi sifat tokoh Wrekudara yang berpendirian kuat,
berhati teguh, cenderung agak kaku, dan
mudah tersinggung. Mengacu pada
peristiwa yang menyertai masa-masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II, maka hal itu dapat
diterima sebagai bentuk refleksi kepribadiannya yang terkenal anti pemerintahan Eropa, non
kooperatif, dan sangat kaku dalam
berdiplomasi. Beberapa intrik politik di dalam istana dan perselisihannya dengan kebijakan para kerabat istana sangat mewarnai jalannya pemerintahan saat itu. Tidak mengherankan
jika ketika Inggris datang mengusai
Jawa, menimbulkan goncangan besar di Istana Yogyakarta. Peristiwa ini pada
akhirnya membawa Sultan kedua pada akhir pemerintahannya dengan cara diasingkan.
Periode
pemerintahan Sultan Hamengku Buwana III merupakan periode terpendek dalam sejarah Kraton Yogyakarta. Hal ini sama
seperti masa kekuasaan Inggris di tanah Jawa dengan Thomas Stamford
Raffles menjadi Letnan Gubernur Jendral Inggris dari tahun 1811 hingga 1816.
Salah satu
peristiwa menonjol dari era
pemerintahannya, yakni Sultan ketiga
berkehendak merancang pertunjukan Wayang
Wong untuk suguhan tamu asing. Maka seni
pertunjukan lebih menekankan pada
presentasi estetis dengan penonjolan pada nilai estetika, seperti kostum, make-up, tata panggung, dan sebagiainya.
Ada impresif bahwa Wayang Wong tidak
lebih sekadar tontonan biasa dan cenderung agak santai, karena peristiwa ini murni
ditujukan sebagai suguhan tamu
asing.
Pada masa
pemerintahan Sultan Hamengku Buwana keempat, berdasarkan Babad Ngayogyakarta, menegaskan bahwa raja ini sangat membumikan jiwa kesenimannya yang
memiliki berbagai macam kegemaran baik dalam berolah sastra, karawitan, tari,
Wayang Wong, dan mengendarai kuda. Dengan demikian tingkat partisipasi dan
kepedulian Sultan terhadap tumbuh kembangnya budaya Jawa sangat tinggi.
Penari
Elite
Beberapa sumber tradisional menjelaskan bahwa pada era Sultan Hamengku Buwana V hingga
era Sultan Hamengku Buwana VIII, para
penari Wayang Wong merupakan sekelompok penari yang memiliki
status elite dalam strata sosial
di istana. Kehendak Sultan membagi penari menjadi tiga kelompok. Pertama, penari wayang gupermen merupakan kelas elite tinggi
diperkenankan mengadakan pentas di Tratag Bangsal Kencana. Kedua, penari wayang encik,
golongan menengah jika mengadakan pentas diperbolehkan hanya di Bangsal Sri
Panganti sebelah barat. Ketiga,
penari wayang Thionghoa, jika akan
mengadakan pertunjukan diadakan di
Bangsal Kemagangan.
Adanya klasifikasi penari tersebut mengindikasikan suatu pola kelembagaan yang diaplikasikan secara artistik. Termasuk
kualitas teknik penari. Kiranya hal itu
menjadi penting bagi suatu pencermatan yang mendasarkan telaah perkembangan pola sajian
dalam sebuah format artistik karena dipakai sebagai suguhan tamu. Maka
tak mengherankan pada masa pemerintahan Sultan ketujuh muncul penari-penari
dari keluarga istana. Seperti GPA Puger saudara Sultan VII sebagai Wrekudara.
GPA Purubaya putra Sultan VII sebagai
Angkawijaya. BPA Suryadiningrat sebagai
putra Sultan VII sebagai Irawan,
dan sebagainya.
Wayang Wong mencapai puncak keemasan pada masa
pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII. Sultan ini sering dijuluki sebagai seorang maecenas atau pelindung besar seni pertunjukan istana. Di samping
itu Sultan selalu menyebut seni
pertunjukan sebagai fokus utama dalam
memperbesar kewibawaan
Kraton dan pemerintahannya melalui
pergelaran Wayang Wong. Pada kenyataannya
menunjukkan, bahwa status
seni pertunjukan di Kraton Yogyakarta
pada era ini mengalami puncak perkembangan
dalam arti fisik maupun teknik.
Hal ini
menjadi menarik, ketika gerakan nasionalisme di Yogyakarta juga mengalami
perkembangan bentuk organisasional. Salah satu
periode historis penting
di zaman Hamengku Buwana VIII, yakni
didirikannya sekolah tari pertama
di luar tembok Kraton yang bernama Krida Beksa Wirama (KBW) pada tanggal 17 Agustus 1918 yang dipimpin oleh adik
Sultan sendiri yang bernama BPH Suryadiningrat. Kiranya bentuk perlindungan Sultan Hamengku Buwana VIII
terhadap nilai seni budaya gaya Yogyakarta
telah diawali sejak masih bergelar Putra Mahkota, hingga saat menjadi
Sultan di tahun 1921. Sampai dengan masa-masa awal pemerintahannya, bentuk
dukungan itu menjadi semacam simbiosis mutualistik, dengan tersedianya sumber
daya penari-penari KBW untuk ditampilkan
dalam pergelaran-pergelaran besar di dalam Kraton, selama kurun
waktu lebih dari dekade di awal pemerintahan Sultan kedelapan.
Tentang
perhatian Sultan yang begitu besar ini, kiranya tidak perlu diragukan, sebab
sejak masih bernama GPH Purubaya, beliau
pernah memerankan tokoh Angkawijaya dalam suatu pertunjukan
Wayang Wong di Kraton Yogyakarta tahun
1899, bersama-sama dengan BPH Suryadiningrat
yang berperan sebagai Irawan, dan GPH Tejakusuma berperan
sebagai Sumitra. Kesemuanya merupakan putra Arjuna. Kedekatan
pribadi di antara ketiga
bangsawan ini merupakan refleksi pemikiran dari generasinya.
Hingga tiba
masanya GPH Purubaya menjadi Putra Mahkota, kedua adiknya itu segera menggandengnya
sebagai upaya permohonan restu mendiang Hamengku Buwana VII untuk mendirikan KBW pada tahun 1918. Awal
perkembangan KBW sangat bergantung pada relasi personal ketiga Pangeran di
atas. Hal ini cukup menjamin
dihasilkannya lulusan sekolah KBW
yang mempunyai kemampuan teknik menari yang baik.
Pergelaran
wayang orang di istana Yogyakarta pada umumnya selalu dimulai dari pukul 06.00
pagi dan berakhir pada sore hari menjelang matahari tenggelam. Pemilihan waktu
pertunjukan ini hanya bisa dipahami melalui konsepsi kenegaraan Kasultanan
Yogyakarta, bahwa dari nama kerajaan Ngayogjakarta dan gelar Hamengku Buwana,
jelas mengindikasikan penguasaYogyakarta itu melegetemasikan dirinya seperti
Dewa Wisnu. Gelar Hamengku Buwana yang berarti “pemelihara dunia” adalah gelar
yang sama artinya dengan fungsi Dewa Wisnu sebagai pemelihara dunia. Sedangkan
nama Ngayogjakarta mengacu kepada nama Ayodya, kerajaan Sri Rama. Dan Rama
adalah inkarnasi Wisnu. Dalam pantheon dewa-dewa di Jawa, Wisnu juga dianggap
sebagai dewa pencerahan dunia. Dari data-data tersebut bisa diprediksikan bahwa
pertunjukan wayang orang yang dimulai dari pukul 06.00 pagi dan berakhir saat
matahari tenggelam merupakan upacara penghormatan kepada Dewa Wisnu sebagai
dewa pencerahan dunia (Soedarsono, 1985).
Sebagai seni
pertunjukan istana tentunya terdapat tatanan normatif dengan berpedoman pada tata cara dan etika istana
yang di dalamnya juga terkandung nilai edukasi yang berlaku secara general
untuk semua pendukung seni pertunjukan spektakuler tersebut.
Drs. Ch.
Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Alumni Jurusan Seni Tari ISI Yogyakarta
dan Magister Pendidikan UST Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar