Penyimpangan Kode Etik Guru
Oleh Ch. Dwi Anugrah
Seperti
diketahui guru merupakan komponen penting yang menentukan keberhasilan atas peserta didiknya. Oleh karena itu, profesi
guru harus dielaborasikan sebagai
profesi yang serius dan bermartabat, sehingga guru benar-benar mampu berupaya untuk selalu mengembangkan dan meningkatkan potensi dan
kompetensinya.
Mengingat betapa pentingnya peran guru dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dalam rangka mewujudkan
tujuan pendidikan nasional, hendaknya
hal itu didukung dengan upaya peningkatan kualitas dan kesejahteraan
guru. Permasalahan ini sebenarnya telah terakomodasi dengan dikeluarkannya UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, PP 19 Tahun 2005 tentang
Standardisasi Pendidikan Nasional, Permendiknas Nomor
18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru
Melalui Jalur Portofolio, dan Permendiknas Nomor 40 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan
Melalui Jalur Pendidikan.
Guru perlu mengedepankan kode etik saat
mendampingi peserta didik (foto: koleksi pribadi)
Selain tugas
pokok yang harus dilaksanakan terkait dengan
pelayanan terhadap peserta didik, guru juga harus memenuhi
tanggung jawab secara
administratif berkaitan dengan peningkatan karier. Adanya Peraturan
Menteri PAN dan RB No. 16 tahun 2009 di dalamnya terdapat
beberapa perubahan yang
dianggap memberatkan guru. Perubahan
yang dimaksud adalah prasayarat kenaikan
pangkat mulai dari guru golongan
III/B yang diwajibkan memiliki
kegiatan Pengembangan Diri (PD) dan mengikuti kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
(PKB).
Perubahan Permenpan dan RB tersebut bisa menjadi
peluang bagi guru-guru yang kreatif dan inovatif karena mereka
mendapatkan kebebasan untuk berkreasi dalam mengungkapkan ide-ide atau gagasan untuk mencapai terobosan baru dalam rangka
meningkatkan kualitas pembelajaran yang diampu dan dilaksanakannya. Tetapi, itu
bisa berarti hambatan bagi mereka yang
telah merasa berada pada zona aman dan nyaman. Mereka menjadi terusik ketika
harus mengadakan penelitian, menulis
artikel ilmiah populer di media massa,
mengikuti diklat, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, mereka akan menempuh jalan pintas
yang cenderung lebih mengenakkan dirinya. Hal yang pantas dipertanyakan
adalah apakah profesionalitas guru dapat
meningkat dalam kondisi yang demikian itu dan apakah kualitas pendidikan dapat meningkat?
Kode Etik
Dalam hal ini,
guru dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya hendaknya selalu berpegang pada kode etik guru yang sudah ditetapkan.
Kode etik guru adalah norma dan azas
yang disepakati, diterima, sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota
masyarakat, dan warga negara. Adapun tujuan dari kode etik ini yaitu
menempatkan guru Indonesia sebagai profesi terhormat, mulia, dan
bermartabat yang dilindungi oleh
undang-undang.
Sosok guru,
bagaimana pun, akan menjadi panutan dan teladan bagi peserta didik dalam
konteks pembelajaran di sekolah maupun
di masyarakat. Dalam menjalankan tugas
profesionalnya itu guru perlu memiliki
modal dasar yang berupa kompetensi kepribadian. Kompetensi kepribadian
bagi guru merupakan
kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian
yang mantap, stabil, dewasa, arif, berakhlak mulia, berwibawa, dan dapat menjadi teladan bagi peserta didik (Suyanto, 2013: 50).
Namun yang sering
terjadi justru sebaliknya, tidak jarang guru yang lupa dan menjauhi kode etik yang ada. Di samping
itu, kenyataan yang cukup memprihatinkan banyak terjadi di dunia pendidikan.
Seperti diungkapkan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Anies Bawesdan,
beberapa tahun lalu, bahwa pendidikan di Indonesia dalam keadaan gawat darurat.
Indikator yang bisa ditelisik antara
lain, sebanyak 75 % sekolah di Indonesia
tidak memenuhi standar
layanan minimal pendidikan. Nilai
rata-rata kompetensi guru di
Indonesia hanya 44,5. Padahal nilai standar
kompetensi guru adalah 75. Pendidikan
Indonesia masuk pada peringkat ke-64
dari 65 negara yang
dikeluarkannya oleh lembaga Programme
for International Study Assesment (PISA), pada tahun 2012. Selain itu,
Indonesia menjadi peringkat 103 dunia untuk negara yang dunia pendidikannya diwarnai aksi suap-menyuap dan pungutan luar.
Indikator-indikator
tersebut di atas perlu dijadikan
perhatian untuk segera dilakukan langkah-langkah perbaikan agar pendidikan di Indonesia semakin progress
dan tidak terpuruk. Berkaitan dengan tanggung jawab
guru, baik dari sisi profesionalisme
maupun dari sisi pengembangan
karier, seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dapat
mengakibatkan dampak buruk bagi dunia pendidikan di Indonesia
(Mulyasa, 2015: 3).
Implikasi
penyimpangan di sini mengandung maksud
sikap dan perilaku yang jauh dari ketentuan dari apa yang seharusnya.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut pada umumnya berkisar dari berbagai hal, di
antaranya, pertama, penyimpangan
dalam pembelajaran. Persepsi guru
tentang mangajar atau pembelajaran akan
sangat mempengaruhi bagaimana gaya guru
tersebut mengajar atau mengelola pembelajaran di kelas. Banyak guru
yang mempunyai persepsi bahwa mengajar itu hanyah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik,
sehingga yang terjadi peserta didik akan dipandang sebagai wadah yang siap menampung apa saja
yang disampaikannya. Peserta didik tidak diberi ruang untuk aktif dan kritis terhadap pembelajaran
yang diikutinya.
Setelah materi
selesai disampaikan, peserta didik akan diuji dengan serangkain uji kompetensi.
Apabila peserta didik mendapat nilai yang tidak memuaskan, guru langsung
memberikan stigma peserta didik malas, tidak ada minat belajar, dan sebagainya.
Kenyataan di atas seharusnya sudah tidak perlu terjadi
apabila guru memahami konsep pedagogik yang benar seperti tertuang dalam pasal
19 ayat (1) PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Substansi isi pasal 19 SNP
tersebut menegaskan bahwa pembelajaran harus disajikan secara menarik dengan
terealisasi dalam wujud yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
dan memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi secara pro aktif dalam pembelajaran. Untuk itu, agar tidak
terjadi deviasi dalam pembelajaran guru dituntut untuk menguasai materi pembelaran sesuai
tuntutan kurikulum, mampu merancang dan mengimplementasikan pembelajaran
menarik, serta memahami gaya dan kebutuhan peserta didik.
Kedua, penyimpangan dalam mekanisme kenaikan
pangkat. Pada sisi pengembangan karier guna menunjang profesionalitas, guru dituntut untuk meningkatkan
kompetensinya melalui kegiatan Pengembangan diri (PD) dan Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan (PKB). Hal ini seiring dengan
pemberlakuan Permenpan dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya, yang di dalamnya terdapat
perubahan regulasi dalam
mekanisme pengajuan kenaikan pangkat
bagi guru. Secara eksplisit dieksplanasikan bahwa untuk kenaikan pangkat guru
mulai dari golongan III/b ke III/c dan seterusnya, guru diwajibkan memiliki
kredit poin dari unsur PD dan PKB yang bobotnya semakin meningkat mengikuti
jenjang kepangkatan yang akan diraih.
Unsur PD dapat
dipenuhi melalui diklat fungsional dan kegiatan kolektif guru. Sementara, unsur
PKB dapat dipenuhi melalui publikasi ilmiah (PI) dan karya inovati (KI). Untuk
pemenuhan tuntutan pada unsur PD dan PKB
tersebut, mau atau tidak mau guru memang
harus selalu aktif, kreatif, dan inovatif. Walaupun, sejatinya tanpa ada aturan
seperti itu pun, guru seharusnya
memang harus melakukan
terobosan-terobosan baru dalam mengelaborasikan profesinya.
Menyikapi adanya
regulasi dan kebijakan baru tersebut, bagi guru yang tidak pro perubahan, dalam
tataran implementasinya banyak melakukan penyimpangan. Hal itu disebabkan oleh
berbagai faktor, baik ditelisik dari kekurangpahaman guru terhadap regulasi
baru, sikap malas untuk melaksanakan, merasa tidak mampu, bahkan takut tidak
bisa memenuhi kewajiban tersebut. Dampak yang terjadi mereka banyak yang
melakukan jalan pintas, seperti
melakukan plagiarisme dengan sengaja atau tidak sengaja.
“Dengan sengaja”,
implikasinya mereka berusaha membuat PI/KI sendiri, tetapi dengan mengambil
sebagian atau keseluruhan tulisan orang lain yang diedit di sana-sini, kemudian
diakui sebagai hasil tulisannya sendiri. “Tidak sengaja”, sangat dimungkinkan
terjadi ketika mereka mendapatkan PI/KI
meminta bantuan orang lain atau biro jasa. Mereka tahunya beres, tanpa harus
mengetahui latar belakang, isi, kajian teori, hasil, dan referensi yang
digunakan.
Jika jalan di
atas yang ditempuh oleh para guru, maka yang bersangkutan akan mendapatkan
kesulitan mempertanggungjawabkan hasil PI/KI kepada publik maupun pihak yang
berkompeten. Bila hal itu dilanggengkan, sama saja para guru sudah menyimpang
dari nilai-nilai budaya kerja keras, disiplin, tertib, teladan, dan kejujuran
akademik.
Untuk
menghindari penyimpangan tersebut, guru dapat belajar baik otodidak maupun
secara kolektif misalnya melalui forum MGMP dengan mengadakan diklat, workshop,
seminar, bedah buku, dan sebagainya. Untuk PI bisa melalui presentasi pada forum ilmiah, Publikasi hasil
PTK, penyusunan diktat/modul, menulis artikel ilmiah populer, atau artikel
murni yang dijurnalkan. Sedangkan untuk KI dapat dipenuhi dengan menciptakan karya seni, memodifikasi media
pelajaran, alat peraga, ataupun praktikum.
Pemanfaatan
Tunjangan Profesi Guru
Pemerintah telah
berupaya meningkatkan kualitas kinerja guru melalui program sertifikasi guru,
dengan memberikan sertifikat pendidik kepada
guru yang telah memenuhi standar
profesional. Sertifikat diberikan
setelah guru mengikuti
serangkaian proses baik melalui jalur
portofolio, PLPG, atau PPG. Sertifikat itu diterbitkan sebagai bukti
adanya rekognisi atau pengakuan
formalitas yang diberikan kepada
guru sebagai tenaga profesional.
Namun perlu
diingat, tujuan utama sertifikasi guru
bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah
memiliki kompetensi sebagaimana
diisyaratkan dalam kompetensi guru. Adapun secara terinci tujuan sertifikasi
guru adalah sebagai berikut: 1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan
tugas sebagai agen pembelajaran dan
merealisasikan tujuan pendidikan nasional; 2) meningkatkan proses dan kualitas
hasil pendidikan; 3) meningkatkan martabat guru; dan 4) meningkatkan
profesionalitas guru.
Yang terjadi
pada sertifikasi guru saat ini, justru kebalikan dari tujuan utamanya. Guru
yang telah memiliki sertifikat pendidik berlomba-lomba untuk mencapai pemenuhan
jam mengajar (24 jam/minggu) seperti
yang telah dipersyaratkan, agar bisa mengajukan pencairan tunjangan profesi
guru. Jalan yang ditempuh untuk memenuhi pemenuhan jam mengajar tidak jarang
pula merugikan dan mengorbankan guru
lain, sesama pengampu mata pelajaran yang sama, karena
harus mengajar linear dengan sertifikat pendidik yang dimiliki.
Pemanfaatan
tunjangan profesi guru (TPG) ini pun mayoritas tampak menyimpang dari
tujuannya. Pendapatan TPG lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif ketimbang
untuk meningkatkan profesionalitasnya. Sebagai contoh, sungguh ironis jika
untuk saat-saat seperti sekarang ini masih ada guru yang belum mampu memanfaatkan laptop untuk mendukung tugas-tugasnya. Namun
sebaliknya mereka sangat mahir bersaing dalam
memanfaatkan smartphone.
Seharusnya TPG
itu disisihkan untuk keperluan seperti membeli laptop atau peralatan
pendukung pembelajaran yang mendukung
kepentingan peningkatan dan
pengembangan profesionalitas guru. Demikian halnya, betapa menyejukkan jika
para guru memanfaatkan tunjangan profesinya untuk menempuh studi lanjut. Dengan
semua itu, harapannya para guru secara sadar dan sungguh-sungguh selalu
berupaya meningkatkan kualitas pendidikan atau pembelajarannya.
Dengan demikan
dalam melaksanakan tugas-tugasnya guru hendaknya selalu berpegang teguh pada
kode etik guru yang telah ditetapkan dengan prinsip: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Selain itu yang selalu diingat bahwa tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi
juga mendidik, membimbing, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
yang tujuan akhirnya akan membentuk menjadi pribadi utuh dan berjiwa humanis.
Dalam setiap
perubahan yang terjadi guru harus dapat menghadapinya secara positif, dengan
menangkapnya sebagai peluang untuk
mendapatkan terobosan-terobosan baru. Apabila hal itu bisa diimplemenasikan,
niscaya guru akan terhindar dari deviasi yang dapat mencederai citranya.
Drs. Ch. Dwi
Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni
Budaya
SMK Wiyasa
Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar