Rabu, 06 Juli 2016

Penyimpangan Kode Etik Guru

Penyimpangan Kode Etik Guru

Oleh Ch. Dwi Anugrah


Seperti diketahui guru merupakan komponen penting yang menentukan keberhasilan  atas peserta didiknya. Oleh karena itu, profesi guru harus dielaborasikan  sebagai profesi yang serius dan bermartabat, sehingga guru benar-benar mampu  berupaya untuk selalu  mengembangkan dan meningkatkan potensi dan kompetensinya.
Mengingat  betapa pentingnya peran guru dalam upaya  meningkatkan kualitas  pendidikan dalam rangka  mewujudkan  tujuan pendidikan nasional, hendaknya  hal itu didukung dengan upaya peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru. Permasalahan  ini sebenarnya  telah terakomodasi  dengan dikeluarkannya  UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP 19 Tahun 2005 tentang  Standardisasi Pendidikan Nasional, Permendiknas  Nomor  18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru  Melalui Jalur Portofolio, dan Permendiknas  Nomor 40 Tahun  2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan Melalui  Jalur Pendidikan.

                                     
                                    Guru    perlu     mengedepankan kode etik saat 
                                    mendampingi peserta didik (foto: koleksi pribadi)
                                
Selain tugas pokok yang harus dilaksanakan terkait dengan  pelayanan terhadap peserta didik, guru juga harus  memenuhi  tanggung jawab  secara administratif  berkaitan  dengan peningkatan karier. Adanya Peraturan Menteri PAN dan RB No. 16 tahun 2009 di dalamnya  terdapat  beberapa perubahan  yang dianggap  memberatkan guru. Perubahan yang dimaksud adalah  prasayarat kenaikan pangkat  mulai dari  guru golongan  III/B yang diwajibkan  memiliki kegiatan  Pengembangan Diri  (PD) dan mengikuti  kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB).
Perubahan  Permenpan dan RB tersebut bisa  menjadi  peluang bagi  guru-guru  yang kreatif dan inovatif  karena mereka  mendapatkan  kebebasan  untuk berkreasi  dalam mengungkapkan ide-ide atau gagasan  untuk mencapai  terobosan baru  dalam rangka  meningkatkan kualitas  pembelajaran  yang diampu dan dilaksanakannya. Tetapi, itu bisa berarti hambatan bagi mereka  yang telah merasa berada pada zona aman dan nyaman. Mereka menjadi terusik ketika harus  mengadakan penelitian, menulis artikel ilmiah populer di  media massa, mengikuti diklat, dan sebagainya. Ujung-ujungnya, mereka akan menempuh  jalan pintas  yang cenderung lebih mengenakkan dirinya. Hal yang pantas dipertanyakan adalah apakah profesionalitas guru dapat  meningkat dalam kondisi yang demikian itu dan apakah  kualitas pendidikan dapat meningkat?

Kode Etik
Dalam hal ini, guru dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya hendaknya  selalu berpegang  pada kode etik guru yang sudah ditetapkan. Kode etik guru adalah norma  dan azas yang  disepakati, diterima, sebagai pedoman  sikap dan perilaku  dalam melaksanakan   tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara. Adapun tujuan dari kode etik ini yaitu menempatkan  guru Indonesia  sebagai profesi terhormat, mulia, dan bermartabat  yang dilindungi oleh undang-undang.
Sosok guru, bagaimana pun, akan menjadi panutan dan teladan bagi peserta didik dalam konteks  pembelajaran di sekolah maupun di masyarakat. Dalam menjalankan  tugas profesionalnya itu guru perlu  memiliki modal dasar yang berupa kompetensi kepribadian. Kompetensi  kepribadian  bagi guru  merupakan kemampuan  personal yang mencerminkan  kepribadian  yang mantap, stabil, dewasa, arif, berakhlak  mulia, berwibawa, dan dapat menjadi  teladan bagi peserta didik (Suyanto, 2013: 50).
Namun yang sering terjadi justru sebaliknya, tidak jarang guru yang lupa  dan menjauhi kode etik yang ada. Di samping itu, kenyataan yang cukup memprihatinkan banyak terjadi di dunia pendidikan. Seperti diungkapkan  oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  RI, Anies Bawesdan, beberapa tahun lalu, bahwa pendidikan di Indonesia dalam keadaan gawat darurat. Indikator  yang bisa ditelisik antara lain, sebanyak  75 % sekolah  di Indonesia  tidak memenuhi  standar layanan  minimal pendidikan. Nilai rata-rata kompetensi  guru di Indonesia  hanya 44,5. Padahal  nilai standar  kompetensi  guru adalah 75. Pendidikan Indonesia masuk pada peringkat ke-64  dari 65 negara  yang dikeluarkannya  oleh  lembaga Programme for International Study Assesment (PISA), pada tahun 2012. Selain itu, Indonesia menjadi  peringkat 103  dunia untuk negara  yang dunia pendidikannya diwarnai  aksi suap-menyuap dan pungutan luar.
Indikator-indikator tersebut di atas perlu dijadikan  perhatian untuk segera dilakukan langkah-langkah perbaikan  agar pendidikan  di Indonesia  semakin progress dan tidak    terpuruk. Berkaitan dengan tanggung jawab guru, baik dari sisi profesionalisme  maupun dari  sisi pengembangan karier, seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dapat mengakibatkan  dampak  buruk bagi dunia pendidikan di Indonesia (Mulyasa, 2015: 3).
Implikasi penyimpangan di sini mengandung maksud  sikap dan perilaku yang jauh dari ketentuan dari apa yang seharusnya. Penyimpangan-penyimpangan tersebut pada umumnya berkisar dari berbagai hal, di antaranya, pertama, penyimpangan dalam pembelajaran. Persepsi  guru tentang  mangajar atau pembelajaran akan sangat mempengaruhi bagaimana gaya  guru tersebut mengajar  atau  mengelola pembelajaran di kelas. Banyak guru yang mempunyai persepsi bahwa mengajar itu hanyah  menyampaikan ilmu  pengetahuan kepada peserta didik, sehingga  yang terjadi  peserta didik akan dipandang  sebagai wadah yang siap menampung apa saja yang disampaikannya. Peserta didik tidak diberi ruang  untuk aktif dan kritis terhadap pembelajaran yang diikutinya.
Setelah materi selesai disampaikan, peserta didik akan diuji dengan serangkain uji kompetensi. Apabila peserta didik mendapat nilai yang tidak memuaskan, guru langsung memberikan stigma peserta didik malas, tidak ada minat belajar, dan sebagainya.
Kenyataan  di atas seharusnya sudah tidak perlu terjadi apabila guru memahami konsep pedagogik yang benar seperti tertuang dalam pasal 19 ayat (1) PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional  Pendidikan (SNP). Substansi isi pasal 19 SNP tersebut menegaskan bahwa pembelajaran harus disajikan secara menarik dengan terealisasi dalam wujud yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik  untuk berpartisipasi secara pro aktif dalam pembelajaran. Untuk itu, agar tidak terjadi deviasi dalam pembelajaran guru dituntut  untuk menguasai materi pembelaran sesuai tuntutan kurikulum, mampu merancang dan mengimplementasikan pembelajaran menarik, serta memahami gaya dan kebutuhan peserta didik.
Kedua, penyimpangan dalam mekanisme kenaikan pangkat. Pada sisi pengembangan karier guna menunjang profesionalitas,  guru dituntut untuk meningkatkan kompetensinya melalui kegiatan Pengembangan diri  (PD) dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Hal ini seiring dengan  pemberlakuan Permenpan dan RB Nomor 16 Tahun 2009  tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, yang di dalamnya terdapat  perubahan regulasi  dalam mekanisme pengajuan  kenaikan pangkat bagi guru. Secara eksplisit dieksplanasikan bahwa untuk kenaikan pangkat guru mulai dari golongan III/b ke III/c dan seterusnya, guru diwajibkan memiliki kredit poin dari unsur PD dan PKB yang bobotnya semakin meningkat mengikuti jenjang kepangkatan yang akan diraih.
Unsur PD dapat dipenuhi melalui diklat fungsional dan kegiatan kolektif guru. Sementara, unsur PKB dapat dipenuhi melalui publikasi ilmiah (PI) dan karya inovati (KI). Untuk pemenuhan tuntutan  pada unsur PD dan PKB tersebut, mau atau tidak mau guru  memang harus selalu aktif, kreatif, dan inovatif. Walaupun, sejatinya tanpa ada aturan seperti itu pun, guru  seharusnya memang  harus melakukan terobosan-terobosan baru dalam mengelaborasikan profesinya.
Menyikapi adanya regulasi dan kebijakan baru tersebut, bagi guru yang tidak pro perubahan, dalam tataran implementasinya banyak melakukan penyimpangan. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, baik ditelisik dari kekurangpahaman guru terhadap regulasi baru, sikap malas untuk melaksanakan, merasa tidak mampu, bahkan takut tidak bisa memenuhi kewajiban tersebut. Dampak yang terjadi mereka banyak yang melakukan jalan pintas, seperti  melakukan plagiarisme dengan sengaja atau tidak sengaja.
“Dengan sengaja”, implikasinya mereka berusaha membuat PI/KI sendiri, tetapi dengan mengambil sebagian atau keseluruhan tulisan orang lain yang diedit di sana-sini, kemudian diakui sebagai hasil tulisannya sendiri. “Tidak sengaja”, sangat dimungkinkan terjadi ketika mereka  mendapatkan PI/KI meminta bantuan orang lain atau biro jasa. Mereka tahunya beres, tanpa harus mengetahui latar belakang, isi, kajian teori, hasil, dan referensi yang digunakan.
Jika jalan di atas yang ditempuh oleh para guru, maka yang bersangkutan akan mendapatkan kesulitan mempertanggungjawabkan hasil PI/KI kepada publik maupun pihak yang berkompeten. Bila hal itu dilanggengkan, sama saja para guru sudah menyimpang dari nilai-nilai budaya kerja keras, disiplin, tertib, teladan, dan kejujuran akademik.
Untuk menghindari penyimpangan tersebut, guru dapat belajar baik otodidak maupun secara kolektif misalnya melalui forum MGMP dengan mengadakan diklat, workshop, seminar, bedah buku, dan sebagainya. Untuk PI bisa melalui  presentasi pada forum ilmiah, Publikasi hasil PTK, penyusunan diktat/modul, menulis artikel ilmiah populer, atau artikel murni yang dijurnalkan. Sedangkan untuk KI dapat dipenuhi dengan  menciptakan karya seni, memodifikasi media pelajaran, alat peraga, ataupun praktikum.
Pemanfaatan Tunjangan Profesi Guru
Pemerintah telah berupaya meningkatkan kualitas kinerja guru melalui program sertifikasi guru, dengan memberikan  sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi  standar profesional. Sertifikat diberikan  setelah guru mengikuti  serangkaian proses baik melalui jalur  portofolio, PLPG, atau PPG. Sertifikat itu diterbitkan sebagai bukti adanya rekognisi atau pengakuan  formalitas yang diberikan  kepada guru sebagai  tenaga profesional.
Namun perlu diingat, tujuan  utama sertifikasi guru bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk  menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi  sebagaimana diisyaratkan dalam kompetensi guru. Adapun secara terinci tujuan sertifikasi guru adalah sebagai berikut: 1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen  pembelajaran dan merealisasikan tujuan pendidikan nasional; 2) meningkatkan proses dan kualitas hasil pendidikan; 3) meningkatkan martabat guru; dan 4) meningkatkan profesionalitas guru.
Yang terjadi pada sertifikasi guru saat ini, justru kebalikan dari tujuan utamanya. Guru yang telah memiliki sertifikat pendidik berlomba-lomba untuk mencapai pemenuhan jam  mengajar (24 jam/minggu) seperti yang telah dipersyaratkan, agar bisa mengajukan pencairan tunjangan profesi guru. Jalan yang ditempuh untuk memenuhi pemenuhan jam mengajar tidak jarang pula merugikan  dan mengorbankan guru lain,  sesama  pengampu mata pelajaran yang sama, karena harus mengajar linear dengan sertifikat pendidik yang dimiliki.
Pemanfaatan tunjangan profesi guru (TPG) ini pun mayoritas tampak menyimpang dari tujuannya. Pendapatan TPG lebih banyak digunakan  untuk memenuhi kebutuhan konsumtif ketimbang untuk meningkatkan profesionalitasnya. Sebagai contoh, sungguh ironis jika untuk saat-saat seperti sekarang ini masih ada guru yang belum mampu  memanfaatkan laptop  untuk mendukung tugas-tugasnya. Namun sebaliknya mereka sangat mahir bersaing dalam  memanfaatkan smartphone.
Seharusnya TPG itu disisihkan  untuk keperluan  seperti membeli laptop atau peralatan pendukung pembelajaran yang mendukung  kepentingan  peningkatan dan pengembangan profesionalitas guru. Demikian halnya, betapa menyejukkan jika para guru memanfaatkan tunjangan profesinya untuk menempuh studi lanjut. Dengan semua itu, harapannya para guru secara sadar dan sungguh-sungguh selalu berupaya meningkatkan kualitas pendidikan atau pembelajarannya.
Dengan demikan dalam melaksanakan tugas-tugasnya guru hendaknya selalu berpegang teguh pada kode etik guru yang telah ditetapkan dengan prinsip: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Selain itu yang selalu diingat bahwa tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik yang tujuan akhirnya akan membentuk menjadi pribadi utuh dan berjiwa humanis.
Dalam setiap perubahan yang terjadi guru harus dapat menghadapinya secara positif, dengan menangkapnya sebagai  peluang untuk mendapatkan terobosan-terobosan baru. Apabila hal itu bisa diimplemenasikan, niscaya guru akan terhindar dari deviasi yang dapat mencederai citranya.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang




Tidak ada komentar:

Posting Komentar