Rabu, 06 Juli 2016

Embrio Tari Golek


Embrio Tari Golek


Oleh Ch. Dwi Anugrah


         
        Seperti dilansir oleh banyak media,  acara malam pahargyan atau resepsi  204 Tahun Masehi  Hadeging Kadipaten Pakualaman atau 210 tahun menurut hitungan Kalender Jawa,  pada hari Sabtu (4/6)  malam di Bangsal  Sewatama Pura Pakualaman beberapa waktu lalu  disemarakkan dengan sajian Tari Golek Ayun-Ayun.
            Tari Golek Ayun-Ayun adalah karya Tari KRT Sasmintadipura (Rama Sas, Alm) pada tahun 1970 yang berfungsi sebagai tari penyambutan tamu. Tari ini menggambarkan remaja putri yang sedang bersolek atau mempercantik diri. Seperti repertoar tari golek lainnya, tari ini merupakan karya inovasi Rama Sas, karena  sebelumnya ditarikan oleh penari pria. Menurut pandangan aristokrat Jawa, seorang wanita haruslah berperilaku halus, lembut dan lebih tertutup. Oleh karena itu para penari  putri di istana hanya diperbolehkan manari tari bedhaya atau srimpi yang mempunyai karakterisasi  gerak lembut, halus, dan penuh pengendalian diri.
            Pandangan semacam itu melekat juga di lingkungan komunitas di luar istana, sehingga banyak penari putri yang tidak diperbolehkan  orang tuanya  untuk mempelajari tari Golek. Kondisi semacam ini menggelitik  Rama Sas. Beliau berupaya  agar tarian tersebut dapat dipelajari oleh semua kalangan terutama penari  putri tanpa ada pandangan negatif. Ketika beliau mempunyai kesempatan  mengajar di beberapa sekolah, maka tari golek dipakai  sebagai salah satu materi yang diajarkan.
            Durasi tari golek ciptaan Rama Sas  lebih singkat bila dikomparasikan dengan tari golek di istana. Ini dilakukan dengan tujuan agar materi tersebut mudah dihafal dan dipelajari anak didiknya. Namun demikian,  meskipun durasi  waktunya dipersingkat, tema dan karakter sebagai sesuatu  yang esensial dalam tari golek itu tetap dipertahankan. Melalui tari golek ini pula Rama Sas menciptakan motif-motif gerak baru yang dipadukan dengan  permainan pola ritme  yang dinamis, ditambah dengan pengolahan arah dan variasi yang sebelumnya tidak ada dalam tari golek  yang berkembang di istana (Sastrataya, 1999).

Budaya unik
            Tari golek boleh dikatakan sebagai salah satu bentuk budaya yang unik, dikarenakan terbentuk dari dua budaya yang biasanya dipertentangkan, yakni budaya istana dan budaya rakyat.Pada awalnya tari ini bukan milik istana karena lahir di luar tembok istana dengan komunitas pendukungnya dari kalangan pesindhen (penyanyi wanita dalam seni karawitan atau wayang).Namun, setelah dibawa masuk ke istana mendapat dukungan juga dari kalangan bangsawan.Dengan demikian, pada akhirnya tari golek memiliki dua komunitas pendukung, yakni kalangan rakyat dan istana yang tentunya masing-masing mempunyai kriteria atau standar untuk merealisasikan dan menilai karya seni tersebut sehingga memunculkan formulasi menjadi satu konsep yang utuh.
            Setelah masuk ke istana, tari golek banyak mengalami perubahan, di antaranya, pertama tari ini menjadi bentuk tari yang berdiri sendiri, bukannya menjadi bagian dari Langendriyan atau bentuk tari lainnya.Dalam perkembangan selanjutnya, baik di dalam maupun di luar istana tari ini dilakukan oleh wanita yang bukan pesindhen.Hal itu berkat peran besar dari salah seorang putri Sultan Hamengku Buwono IX, GBRAy Muryuwati Darmakusuma, yang diberi izin oleh ayahandanya untuk belajar dan menjadi penari tari golek.Sejak saat itu, pandangan tentang tari golek juga berubah menjadi positif, tidak lagi dikaitkan dengan citra pesindhen atau penari jalanan yang sering mendapat sebutan ledhek.
            Kedua, adanya perubahan status menjadi tari klasik.Sebagai tari klasik, tari golek juga mempunyai karakteristik sebagai budaya adiluhung, misalnya dengan pembakuan gerak dari gerak spontan menjadi gerak terkonsep yang dapat menguatkan eksistensinya sebagai seni istana yang layak menjadi milik raja karena nilai artistiknya tinggi.
            Ketiga, pola lantai juga mengalami perubahan, dengan pertimbangan khusus untuk menetapkan arah hadap penari.Sultan atau tempat duduk Sultan menjadi fokus.Sebelum masuk istana, arah hadap penari cenderung semaunya, tidak ada regulasi khusus mengenai arah hadap.Arah hadap penari cenderung situasional, yang sangat tergantung pada keadaan saat tari dipentaskan.


Konsep Tata Laku
            Sedangkan dalam konsep tata laku, tari golek diawali dan diakhiri dengan gerak sembahan.Secara implisit gerak ini mempunyai makna untuk ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa, sikap hormat pada raja, khususnya jika dipentaskan di istana, dan sikap hormat pada sesama. Dari sikap hormat tersebut terefleksi adanya sikap sopan santun, toleransi, dan menghargai orang lain (Tutik Winarti, 2003).
            Keempat, aspek lain yang mengalami perubahan adalah busana. Ketika tari ini belum dibawa ke istana, busana yang dipakai cenderung seadanya, sesuai apa yang dimiliki oleh penarinya. Tidak ada aturan khusus busana yang dikenakan.Para penari hanya mengacu pada pola normatif busana adat Jawa. Setelah tari ini menjadi tari klasik, ada aturan khusus terkait busananya yang semuanya mengacu pada norma yang berlaku di istana.
            Walaupun tari ini sudah menjadi tari klasik, karena embrionya berasal dari tari rakyat, maka kesan-kesan gerak komunikatif masih sangat menonjol, seperti gerak ogek lambung, jiling (salah satu unsur gerak kepala), ataupun gerak menatap penonton dengan senyum sensual. Sebagai tari yang merupakan hasil perpaduan dua budaya, tidak cukup hanya pola normatif istana saja yang diaplikasikan, tetapi unsur-unsur gerak yang merupakan ciri spesifik kesenian rakyat, seperti sigrak (dinamis), gandes (memesona), dan merak ati (menarik) masih ditonjolkan, yang pada gilirannya jika dibandingkan dengan tari putri lainnya akan tampak lebih hidup, menyatu, dan komunikatif dengan penonton.
            Eksistensi tari golek, walaupun berfungsi sebagai tari tontonan yang berarti memberi hiburan, rasa senang, atau sifat katarsis bagi yang melihat, tetapi kandungan yang ada di dalamnya bukan berarti tanpa makna.Ada dua implikasi kata golek dalam bahasa Jawa.Pertama, golek yang berarti mencari dan kedua merujuk pada pengertian boneka yang terbuat dari kayu.Tampaknya arti keduanya secara implisit bisa terlihat dalam tari golek.Hal ini sejalan dengan awal kemunculan tari golek yang selalu dipentaskan di akhir pertunjukan Langendriyan dengan maksud agar penonton dapat mencari makna yang terkandung dalam pertunjukan yang baru saja dilihat.
            Makna bagi pelakunya sendiri terlihat dari arti golek yang berarti "mencari".Dalam konteks ini konotasi "mencari" mengandung makna mencari jati diri atau kepribadian pelaku tari.Sebagaimana dimaksud bahwa tari golek adalah suatu repertoar tari yang menggambarkan kepribadian seorang remaja putri.
            Pencarian jati diri dalam tari golek terefleksi dalam gerak muryani busana.Gerak muryani busana adalah gugusan gerak yang menggambarkan orang berhias diri dan berbusana, mulai dari memakai pakaian sampai mengenakan aksesori.Penggambaran gerak berbusana di dalam tari golek tidak sekadar meniru orang yang sedang mengenakan pakaian, tetapi di dalamnya juga terdapat gerakan mematut diri.
            Ketika unsur fungsi dan estetiknya disinergikan, pada gilirannya akan memberi impresif sempurna pada penampilan. Dengan sempurnanya suatu penampilan sudah tentu akan memunculkan rasa self-confidence yang pada akhirnya akan dapat muncul kesadaran pribadi dengan segala potensinya.
            Sebagai repertoar tari tunggal, penarinya mempunyai tanggung jawab yang sangat besar karena ia akan menjadi pusat perhatian dari seluruh penonton. Untuk menjadi pusat perhatian dibutuhkan suatu keberanian tersendiri. Satu modal yang harus dimiliki penari tunggal adalah ia harus berani tampil mandiri dengan menguasai tari dan iringan dari awal sampai akhir pertunjukan.
            Dengan demikian, untuk dapat menikmati tari klasik gaya Yogyakarta, seperti halnya tari Golek ini, akan lebih mudah memahami jika sudah tahu kedalaman konsep estetiknya, sehinga pada gilirannya ketika menikmati repertoar tari, penonton hendaknya tidak terfokus pada aspek fisik penarinya saja, namun perlu lebih dapat menikmati secara utuh.

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar