Embrio Tari Golek
Oleh Ch. Dwi Anugrah
Seperti
dilansir oleh banyak media, acara malam pahargyan atau resepsi 204 Tahun Masehi Hadeging Kadipaten Pakualaman atau 210 tahun
menurut hitungan Kalender Jawa, pada
hari Sabtu (4/6) malam di Bangsal Sewatama Pura Pakualaman beberapa waktu lalu disemarakkan dengan
sajian Tari Golek Ayun-Ayun.
Tari
Golek Ayun-Ayun adalah karya Tari KRT Sasmintadipura (Rama Sas, Alm) pada tahun
1970 yang berfungsi sebagai tari penyambutan tamu. Tari ini menggambarkan
remaja putri yang sedang bersolek atau mempercantik diri. Seperti repertoar
tari golek lainnya, tari ini merupakan karya inovasi Rama Sas, karena sebelumnya ditarikan oleh penari pria. Menurut
pandangan aristokrat Jawa, seorang wanita haruslah berperilaku halus, lembut
dan lebih tertutup. Oleh karena itu para penari
putri di istana hanya diperbolehkan manari tari bedhaya atau srimpi yang
mempunyai karakterisasi gerak lembut,
halus, dan penuh pengendalian diri.
Pandangan
semacam itu melekat juga di lingkungan komunitas di luar istana, sehingga
banyak penari putri yang tidak diperbolehkan
orang tuanya untuk mempelajari
tari Golek. Kondisi semacam ini menggelitik
Rama Sas. Beliau berupaya agar
tarian tersebut dapat dipelajari oleh semua kalangan terutama penari putri tanpa ada pandangan negatif. Ketika
beliau mempunyai kesempatan mengajar di
beberapa sekolah, maka tari golek dipakai
sebagai salah satu materi yang diajarkan.
Durasi
tari golek ciptaan Rama Sas lebih
singkat bila dikomparasikan dengan tari golek di istana. Ini dilakukan dengan
tujuan agar materi tersebut mudah dihafal dan dipelajari anak didiknya. Namun
demikian, meskipun durasi waktunya dipersingkat, tema dan karakter
sebagai sesuatu yang esensial dalam tari
golek itu tetap dipertahankan. Melalui tari golek ini pula Rama Sas menciptakan
motif-motif gerak baru yang dipadukan dengan
permainan pola ritme yang
dinamis, ditambah dengan pengolahan arah dan variasi yang sebelumnya tidak ada
dalam tari golek yang berkembang di
istana (Sastrataya, 1999).
Budaya unik
Tari
golek boleh dikatakan sebagai salah satu bentuk budaya yang unik, dikarenakan
terbentuk dari dua budaya yang biasanya dipertentangkan, yakni budaya istana
dan budaya rakyat.Pada awalnya tari ini bukan milik istana karena lahir di luar
tembok istana dengan komunitas pendukungnya dari kalangan pesindhen (penyanyi wanita dalam seni karawitan atau wayang).Namun,
setelah dibawa masuk ke istana mendapat dukungan juga dari kalangan
bangsawan.Dengan demikian, pada akhirnya tari golek memiliki dua komunitas
pendukung, yakni kalangan rakyat dan istana yang tentunya masing-masing
mempunyai kriteria atau standar untuk merealisasikan dan menilai karya seni
tersebut sehingga memunculkan formulasi menjadi satu konsep yang utuh.
Setelah
masuk ke istana, tari golek banyak mengalami perubahan, di antaranya, pertama tari ini menjadi bentuk tari
yang berdiri sendiri, bukannya menjadi bagian dari Langendriyan atau bentuk tari lainnya.Dalam perkembangan
selanjutnya, baik di dalam maupun di luar istana tari ini dilakukan oleh wanita
yang bukan pesindhen.Hal itu berkat
peran besar dari salah seorang putri Sultan Hamengku Buwono IX, GBRAy Muryuwati
Darmakusuma, yang diberi izin oleh ayahandanya untuk belajar dan menjadi penari
tari golek.Sejak saat itu, pandangan tentang tari golek juga berubah menjadi
positif, tidak lagi dikaitkan dengan citra pesindhen
atau penari jalanan yang sering mendapat sebutan ledhek.
Kedua, adanya perubahan status menjadi
tari klasik.Sebagai tari klasik, tari golek juga mempunyai karakteristik
sebagai budaya adiluhung, misalnya
dengan pembakuan gerak dari gerak spontan menjadi gerak terkonsep yang dapat
menguatkan eksistensinya sebagai seni istana yang layak menjadi milik raja
karena nilai artistiknya tinggi.
Ketiga, pola lantai juga mengalami
perubahan, dengan pertimbangan khusus untuk menetapkan arah hadap penari.Sultan
atau tempat duduk Sultan menjadi fokus.Sebelum masuk istana, arah hadap penari
cenderung semaunya, tidak ada regulasi khusus mengenai arah hadap.Arah hadap
penari cenderung situasional, yang sangat tergantung pada keadaan saat tari
dipentaskan.
Konsep Tata Laku
Sedangkan
dalam konsep tata laku, tari golek diawali dan diakhiri dengan gerak sembahan.Secara implisit gerak ini
mempunyai makna untuk ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa, sikap hormat pada raja,
khususnya jika dipentaskan di istana, dan sikap hormat pada sesama. Dari sikap
hormat tersebut terefleksi adanya sikap sopan santun, toleransi, dan menghargai
orang lain (Tutik Winarti, 2003).
Keempat, aspek lain yang mengalami
perubahan adalah busana. Ketika tari ini belum dibawa ke istana, busana yang
dipakai cenderung seadanya, sesuai apa yang dimiliki oleh penarinya. Tidak ada
aturan khusus busana yang dikenakan.Para penari hanya mengacu pada pola
normatif busana adat Jawa. Setelah tari ini menjadi tari klasik, ada aturan
khusus terkait busananya yang semuanya mengacu pada norma yang berlaku di
istana.
Walaupun
tari ini sudah menjadi tari klasik, karena embrionya berasal dari tari rakyat,
maka kesan-kesan gerak komunikatif masih sangat menonjol, seperti gerak ogek lambung, jiling (salah satu unsur
gerak kepala), ataupun gerak menatap penonton dengan senyum sensual. Sebagai
tari yang merupakan hasil perpaduan dua budaya, tidak cukup hanya pola normatif
istana saja yang diaplikasikan, tetapi unsur-unsur gerak yang merupakan ciri
spesifik kesenian rakyat, seperti sigrak
(dinamis), gandes (memesona), dan merak ati (menarik) masih ditonjolkan,
yang pada gilirannya jika dibandingkan dengan tari putri lainnya akan tampak
lebih hidup, menyatu, dan komunikatif dengan penonton.
Eksistensi
tari golek, walaupun berfungsi sebagai tari tontonan yang berarti memberi
hiburan, rasa senang, atau sifat katarsis bagi yang melihat, tetapi kandungan
yang ada di dalamnya bukan berarti tanpa makna.Ada dua implikasi kata golek
dalam bahasa Jawa.Pertama, golek yang berarti mencari dan kedua merujuk pada
pengertian boneka yang terbuat dari kayu.Tampaknya arti keduanya secara
implisit bisa terlihat dalam tari golek.Hal ini sejalan dengan awal kemunculan
tari golek yang selalu dipentaskan di akhir pertunjukan Langendriyan dengan
maksud agar penonton dapat mencari makna yang terkandung dalam pertunjukan yang
baru saja dilihat.
Makna
bagi pelakunya sendiri terlihat dari arti golek yang berarti
"mencari".Dalam konteks ini konotasi "mencari" mengandung
makna mencari jati diri atau kepribadian pelaku tari.Sebagaimana dimaksud bahwa
tari golek adalah suatu repertoar tari yang menggambarkan kepribadian seorang
remaja putri.
Pencarian
jati diri dalam tari golek terefleksi dalam gerak muryani busana.Gerak muryani
busana adalah gugusan gerak yang menggambarkan orang berhias diri dan
berbusana, mulai dari memakai pakaian sampai mengenakan aksesori.Penggambaran
gerak berbusana di dalam tari golek tidak sekadar meniru orang yang sedang mengenakan
pakaian, tetapi di dalamnya juga terdapat gerakan mematut diri.
Ketika
unsur fungsi dan estetiknya disinergikan, pada gilirannya akan memberi impresif
sempurna pada penampilan. Dengan sempurnanya suatu penampilan sudah tentu akan
memunculkan rasa self-confidence yang pada akhirnya akan dapat muncul kesadaran
pribadi dengan segala potensinya.
Sebagai
repertoar tari tunggal, penarinya mempunyai tanggung jawab yang sangat besar
karena ia akan menjadi pusat perhatian dari seluruh penonton. Untuk menjadi
pusat perhatian dibutuhkan suatu keberanian tersendiri. Satu modal yang harus
dimiliki penari tunggal adalah ia harus berani tampil mandiri dengan menguasai
tari dan iringan dari awal sampai akhir pertunjukan.
Dengan
demikian, untuk dapat menikmati tari klasik gaya Yogyakarta, seperti halnya
tari Golek ini, akan lebih mudah memahami jika sudah tahu kedalaman konsep
estetiknya, sehinga pada gilirannya ketika menikmati repertoar tari, penonton
hendaknya tidak terfokus pada aspek fisik penarinya saja, namun perlu lebih
dapat menikmati secara utuh.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar