Rabu, 06 Juli 2016

Adipati Karna dan Scaffolding


Konsistensi Panglima Perang Hastina

Oleh  Ch. Dwi Anugrah

Wonten malih, kinarya palupi, Basukarna  narpati   Ngawangga,
lan Pandhawa tur kadange, len yayah tunggil ibu, suwita  mring
Sri Kurupati, aneng nagri Ngastina kinarya gul-agul,   manggala
Golonganing prang, Bharatayuda ingadeken senopati, ngalaga ing Kurawa


Tembang Dhandhanggula di atas mengingatkan kita pada karya Sri Mangkunegara IV dalam Serat Tripama yang sampai saat ini masih tetap melegenda dalam konsepsi  budaya Jawa. Serat Tripama merupakan tulisan yang menampilkan tiga tokoh wayang  yang patut dan dianjurkan untuk dijadikan teladan bagi orang yang ingin mengabdikan diri  dalam bidang keparajuritan dan   kewiraan. Tokoh wayang tersebut adalah Mahapatih Sumantri dari Maespati, Mahawira Kumbakarna dari Alengka, dan Adipati Basukarna dari Hastina.
Adapun tembang Dhandhanggula di atas bila diterjemahkan bebas kurang lebih sebagai berikut : “Ada lagi teladan yang pantas dicontoh. Basukarna seorang raja dari Ngawangga, dengan Pandawa yang masih bersaudara, lain ayah tetapi sekandung (sama ibu), yang dengan setia mengabdi  kepada Prabu Kurupati dari negeri Hastina sebagai benteng, panglima perang, dalam perang Bharatayuda menjadi Panglima Perang untuk membela Kurawa”.
            Menelusuri tokoh wayang yang satu ini memang sangat menarik. Basukarna atau nama kecilnya Karna dilahirkan ke mayapada, akibat kesalahan Dewi Kunti. Putri Mandura itu bermain-main dengan mantra Druwasa. Ia ingin bertatap muka dengan Batara Surya yang cakap dan tampan. Dari perbuatannya yang kurang hati-hati itu, akhirnya beberapa bulan ia mengandung. Alangkah aib peristiwa itu. Beruntung, Resi Druwasa berkenan untuk menolong. Sang bayi dilahirkan lewat telinga. Itulah sebabnya, dia dinamakan Karna yang berarti telinga. Lengkapnya Basukarna, karena sesungguhnya, ia putra seorang basu. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai putra Resi Druwasa, karena dialah penyebabnya. Disebut pula dengan nama Suryaputra, karena putra Dewa Surya, sang penguasa matahari.
            Demi menjaga nama keluarga dan kehormatan negeri Mandura, Karna harus dibuang. Sebelum dibuang dengan air mata bercucuran layaknya seorang ibu Dewi Kunti mendekap bayi itu erat-erat sembari menciuminya dengan penuh kasih sayang. Diam-diam ia menyematkan kalung berliontin  separuh pada lehernya. Yang separuhnya disimpannya. Siapa tahu, Karna dapat diketemukan kembali di kemudian hari. Sedangkan liontin yang terbagi dua dengan diukir setengah namanya pula, akan menjadi tanda bukti yang tak terbantahkan lagi. Dengan hati-hati, anak itu dimasukkan ke dalam kotak. Sepintas ketika mengamati untuk terakhir kalinya, Kunti melihat anak itu ternyata beranting-anting dan dadanya mengenakan perisai yang bersembunyi dibalik kulit dagingnya.



                                           Adipati Karna naik Kereta Jathisura dalam perang
                                                Bharatayuda    (Foto:Koleksi Pribadi)


            Kotak itu membawa Karna  terapung-apung di atas sungai Gangga.Adirata yang sedang mencari ikan menemukannya dan dengan girang anak itu dipelihara layaknya anak sendiri, karena sudah sekian lama berkeluarga ia belum dikaruniai momongan. Adirata adalah seorang sais istana Hastina. Dengan penuh kasih sayang, ia membesarkan Basukarna. Dan Basukarna tumbuh menjadi seorang pemuda yang cekatan dan berotak cerdas. Ia tidak hanya pandai menyerap semua ajaran ayah angkatnya sebagai sais kereta, tetapi ia juga mengenal ilmu bintang. Dengan mudah ia menguasai  dan menaklukkan kuda betapa binalpun. Bahkan harimau yang masih ganas tunduk pada perintah-perintahnya.



          
                                                  Adipati Karna menerima Panah Kuntawijayandanu
                                                               (Foto: Koleksi Pribadi)

             Pada suatu hari ia ikut Adirata ke istana. Ia tertarik kepada para Kurawa dan Pandawa yang sedang belajar ilmu perang. Dengan penuh perhatian ia mengamati mereka. Tampak di hadapannya, ia melihat kesalahan dan kecanggungan Kurawa  melakukan petunjuk Resi Druna dan ajaran Resi Krepa. Sebaliknya, ia kagum menyaksikan ketangkasan dan kecerdasan Pandawa berolah berbagai senjata. Timbullah suatu kegelisahan di dalam hatinya.
 “ Dapatkah aku ikut berlatih bersama mereka ayah ?” tanya Karna.
 “ Oh tidak, anakku,” jawab Adirata.
 “ Mengapa ayah ?” kejar anak angkatnya itu
Dengan terbata-bata sang ayah menjawab,”Karena engkau hanya anak seorang sais kereta kerajaan.”
Pedih dan pahit benar bunyi jawaban itu. Tetapi ayah angkatnya menjawab dengan jujur. Menghadapi kenyataan itu, terjadilah suatu pemberontakan dalam  hatinya. Kenapa ia dilahirkan sebagai anak seorang kusir ?
Jiwa yang berontak itu melebihi perasaan rendah diri. Ia tak mau kalah, karena merasa lebih mampu daripada ketangkasan Pandawa. Mulailah ia mencari akal. Diam-diam ia selalu  hadir untuk mengintip semua ajaran Resi Druna dan Resi Krepa ketika memberi pelajaran kepada keturunan darah Bharata itu. Sesampainya di rumah, ia berlatih dengan tekun. Tujuannya, ia ingin mempunyai kepandaian sejajar dengan mereka. Dengan didukung kemauan kuat, kekerasan hati dan ketekunannya, jadilah ia berhasil mengatasi perasaan rendah diri. Semua pelajaran Resi Druna dan Krepa dapat dikuasai dalam waktu relatif singkat. Kemudia ia menjelma menjadi seorang pemuda yang berhak mengangkat diri di tengah pergaulan masyarakatnya.  Hal itu terjadi tak lama kemudian.
Pada suatu hari, penduduk berbondong-bondong memenuhi arena laga putra-putra Raja Hastina. Kurawa dan Pandawa hendak mempertontonkan ketangkasannya berolah senjata yang diajarkan Resi Druna dan Krepa. Ketika pertandingan dimulai, segala macam keahlian dipertunjukkan. Kurawa merasa gelisah, resah, cemburu, iri, mendongkol, dan dendam karena menyaksikan  betapa Pandawa jauh lebih tangkas dan  mahir daripada kelompok mereka. Apalagi Arjuna. Ksatria berwajah tampan ini, kelihatan paling menonjol. Segala macam senjata dikuasainya dengan sempurna. Bidikan anak panahnya tak pernah meleset dari sasaran. Bahkan mampu menembus sasaran berlapis tujuh sekali bidik. Semua penonton berdiri mengelu-elukan dan menyanjungnya tiada henti.
Dalam kegemparan yang diliputi tarik ulur tersebut, tiba-tiba semua hadirin dikejutkan oleh suara lantang yang bergema laksana halilintar menyambar. Ternyata ada seorang penonton yang masih muda belia telah meloncat masuk gelanggang. Itulah Basukarna yang sudah tak kuasa menahan diri melihat kesuksesan Arjuna dan  menyaksikan Kurawa junjungannya selalu mendapat kekalahan,  hatinya berontak.
Tanpa pikir panjang, ia kemudian memperlihatkan semua apa yang dilakukan oleh Arjuna dengan sangat sempurna. Penonton pun dibuat kagum dibuatnya termasuk para ketua Hastina. Sedangkan Kunti yang berada di atas panggung sudah berdebar-debar hatinya. Kemiripan wajah Basukarna dengan Arjuna tak lepas dari perhatiannya. Dan setelah melihat dengan jelas pemuda itu memakai anting-anting bergambar matahari bercahaya, persis dengan kalung yang ia pakai sendiri. Kunti tak ragu-ragu lagi, itulah Suryaputra putra pertamanya. Bahkan ketika Arjuna dan Karna siap berlaga dilindungi simbol-simbol kekuatan Batara Surya dan Batara Indra yakni matahari dan guntur saling berkejaran, seketika itu mata Dewi Kunti menjadi berkunang-kunang.
Dalam keadaan kalut Resi Krepa melerai mereka, dan menegur Karna yang tak pantas masuk ke gelanggang karena bukan dari golongan ksatria. Seketika itu dada Basukarna seperti terbelah, karena menahan kepedihan yang tak terkira. Beruntung Duryudana tanggap, saat itu juga derajat Basukarna diangkat menjadi Adipati di Awangga. Kedudukannya sejajar dengan golongan ksatria. Kata-kata Duryudana inilah yang menyebabkan Basukarna setia kepadanya. Sebab kata-kata itu sendiri berarti memberinya hak hidup.  Sekaligus ia terangkat dari lembah hina sebagai seorang yang mulia. Kemuliaan sekaligus kehormatan itu pantas ditebus dengan taruhan jiwa dan raga.
Sebelum pecah perang besar Bharatayuda, Batara Surya memberi khabar bahwa Dewi Kunti adalah ibu kandungnya, dan Pandawa itu saudara mudanya. Basukarna seketika itu kaget. Jadi Kunti itu adalah ibu kandungnya ? Pantaslah putri itu pernah berjuang dengan gigihnya tatkala mendapatkan Surtikanti dari Prabu Salya sebagai istrinya. Tiba-tiba rasa naluriahnya timbul dan  menjalari seluruh tubuhnya. Ingin ia dipeluk tangan ibunda, diciuminya, dibujuk, ditimang-timang. Pendek kata ia sangat haus kasih sayang.
Dan Pandawa yang hidup sengsara itu, ternyata adik-adiknya sendiri. Sekiranya hal itu diketahuinya semenjak dulu, tentunya ia tidak ambil bagian di pihak Kurawa. Sekarang semuanya sudah terlanjur. Ia terlanjur menjadi orang kepercayaan Kurawa. Ia terlanjur bersumpah akan behadap-hadapan dengan Arjuna pada perang besar Bharatayuda. Dapatkah ia mengingkari semuanya itu begitu saja. Tidak ! Ia akan ditertawakan banyak orang dan diejek sejarah. Ia akan menurunkan kehormatan Ibunda Kunti Talibrata sebagai seorang ksatria berhati pengecut. Tekadnya sudah bulat ! Ia akan maju ke medan laga, dalam memegang teguh  darma ksatrianya. Ia rela berkorban, manakala baju tamsir yang tak tembus berbagai senjata diminta oleh Batara Indra. Basukarna pun menyadari tanpa baju tamsir itu, senjata Arjuna dapat menembus dirinya.
Dua kali, keteguhan Basukarna mendapat ujian. Pertama kali ibunya Dewi Kunti membujuknya untuk bergabung ke Pandawa. Kedua Sri Kresna, ketika menjadi duta Pandawa yang terakhir ke Hastina. Semua itu ditolaknya. Karena dia berprinsip, dengan dia bergabung ke Kurawa tersebut hanya karena menepati janjinya sebagai ksatria. Sedangkan dalam nuraninya ingin membrantas keangkaramurkaan Kurawa dengan caranya. Basukarna berkeyakinan bahwa selama golongan angkara seperti Kurawa masih bercokol, dunia tak akan tenteram. Ia merasa sayang bila negeri Hastina terlalu lama dicengkeram Kurawa. Pecahnya perang Bharayuda berarti kekuasaan Kurawa sudah diambang kehancuran.
Tokoh Basukarna ini merefleksikan pada kita, bahwa dia adalah sosok ksatria yang konsisten akan janji. Dan juga tak silau pada kedudukan. Waktu itu pernah dibujuk  oleh Sri Kresna, bila mau bergabung pada Pandawa nantinya akan diangkat menjadi raja Hastina. Namun semuanya ditolaknya, karena ia merasa tak pantas menjadi raja besar. Hanya adiknya Ajathasatru yang pantas memangku jabatan tersebut. Ia menyadari bahwa tugas yang lebih penting dan suci adalah memimpin dan mempercepat musnahnya angkara murka. Walaupun untuk itu harus bertempur sampai ajal menjemputnya melawan saudara-saudara kandungnya sendiri.

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang









Teknik Scaffolding
Dalam
Penanaman Nilai Karakter



Oleh Ch. Dwi Anugrah

            Pendidikan karakter yang marak dibicarakan publik belakangan ini akan semakin penting dan strategis, terutama jika dikaitkan dengan  tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam menyiapkan generasi masa depan dalam menghadapi  tantangan global dengan permasalahan yang semakin berat dan kompleks.
            Untuk menghadapi tantangan di era global tersebut, diperlukan sumber daya manusia yang berpengetahuan, berketerampilan, dan berkarakter kuat. Dengan mengoptimalkan sumber daya manusia tersebut, bangsa ini akan semakin maju. Bangsa yang maju bukan hanya ditentukan oleh faktor kekayaan alamnya saja, tetapi lebih dari itu, di antaranya  kompetensi   atau teknologi yang dikuasai,  dorongan semangat  serta  karakter  yang dimiliki.
            Saat ini pemerintah telah mencanangkan  pengintegrasian pendidikan karakter ke semua mata pelajaran  mulai pendidikan dasar sampai dengan  pendidikan menengah. Namun dalam praktiknya, arah pendidikan karakter di satuan pendidikan masih terbatas pada indoktrinasi belum internalisasi.
            Indoktrinasi mempunyai implikasi pendidikan karakter tersebut diajarkan, yakni peserta didik diberitahu bahwa mereka harus jujur, percaya diri, disiplin, dan memiliki rasa tanggung jawab. Sebagai contoh, ketika guru mengajarkan tentang karakter seni tari, peserta didik disuruh mengidentifikasi alur karakter seni tari, latar, rias - busana, dan pesan karakter. Setelah peserta didik berhasil mengidentifikasi  unsur-unsur karakter seni tari tersebut,  peserta didik diberitahu  agar mereka mencontoh  perilaku baik seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh protagonis dalam karakter seni tari dalam wayang. Pembelajaran seperti itu adalah bentuk-bentuk indoktrinasi  dalam pendidikan karakter yang menekankan   nilai-nilai itu diajarkan  atau ditransfer oleh guru.
            Berbeda dengan indoktrinasi yang cenderung  mengajarkan nilai internalisasi  adalah upaya pemilikan dan penggalian nilai-nilai moral agar menjadi milik peserta didik. Nilai moral atau karakter tersebut  menyatu, menjadi bagian tidak terpisahkan  dari perilaku  peserta didik  dalam kehidupan baik saat ini maupun  di masa mendatang. Dalam internalisasinya, tugas guru adalah  mendorong peserta didik  untuk menjadi  pemilik nilai-nilai moral atau karakter tersebut. Selanjutnya  mengupayakan agar nilai-nilai itu melekat dalam diri peserta didik dan mendorong peserta didik  agar merealisasikan  nilai-nilai itu  dalam segala  gerak langkah maupun  perilaku kesehariannya.
            Nilai-nilai  itu direfleksi, diceritakan sendiri oleh peserta didik berdasarkan apa yang telah dialami, dirasakan, sehingga nilai-nilai itu menjadi milik peserta didik. Nilai-nilai karakter itu akan melekat kuat dalam diri peserta didik  jika nilai-nilai itu  diikat  dengan pengalaman, emosi, dan motivasi  personal (Endah Tri Priyatni, 2013).
            Dalam proses internalisasi, guru perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merefleksi  dan menceritakan  nilai-nilai moral  yang diperoleh ketika menyaksikan kejadian aktual, peristiwa yang dialami sendiri sewaktu menonton seni pertunjukan, membaca novel, cerpen, atau puisi. Peserta didik dapat merefleksi  atau menceritakan nilai-nilai   pada dirinya  yang sudah dialami, dilihat, atau dipahami dari bacaan atau peristiwa aktual. Cara ini akan lebih tahan lama dan melekat daripada guru yang menceritakan  atau mengajarkan  nilai-nilai tersebut kepada peserta didik.
            Tujuan akhir dari internalisasi adalah dimilikinya nilai-nilai karakter  itu secara otonom. Guru harus mendorong peserta didik agar menjadi pemilik  nilai-nilai moral secara otonom.  Dengan demikian dampak yang diharapkan  dapat terealisasinya  nilai-nilai moral itu secara otomatis dalam segala perilaku peserta didik tanpa ada perintah atau komando.

Rasa Percaya Diri  
            Pada dasanya rasa percaya diri itu adalah  kombinasi antara  sikap mental  dan pemilikan kemampuan. Untuk menumbuhkan keyakinan bahwa seseorang  merasa mampu  dalam melaksanakan tugas, diperlukan teknik scaffolding. Istilah scaffolding atau  mediated learning adalah teori  yang dikemukan oleh Vigotsky dalam bukunya “Mind in Society” (1978), yang mengeksplanasikan bahwa scaffolding  menekankan  pada penggunaan dukungan atau bantuan  tahap demi tahap dalam belajar dan pemecahan masalah. Ada beragam bantuan yang diberikan  tergantung pada tingkat kesulitan  yang dialami peserta didik, misalnya, memecah tugas menjadi lebih kecil, mengatur bagian-bagian, mengajak berpikir ulang,  membahasakan proses berpikir jika tugasnya kompleks, melaksanakan pembelajaran kooperatif, melakukan dialog  dalam kelompok kecil, memberi petunjuk konkret, melakukan tanya jawab, memberikan pendampingan personal, atau melakukan pemodelan.
            Di samping itu  bila diperlukan bantuan,  dapat berupa kiat  untuk  mengaktifkan latar belakang pengetahuan yang dimiliki peserta didik, memberikan akses tentang strategi belajar efektif, dan  prosedur-prosedur  kunci untuk melaksanakan tugas atau memecahkan masalah yang dihadapi peserta didik agar tidak frustasi  karena mengerjakan  tugas atau  suatu keterampilan yang sulit dicapai.
            Pemberian dukungan setahap-demi setahap ini bukan berarti  peserta didik diajar  sedikit demi sedikit  dari seluruh komponen suatu tugas.   Dengan bantuan pendampingan personal yang efektif,   pada suatu saat  akan terwujud menjadi suatu kapabilitas untuk  menyelesaikan tugas  kompleks tersebut.  Teknik scaffolding digunakan untuk  mencapai kompetensi kompleks, menantang, dan realistik. Untuk mencapai kompetensi tersebut  diperlukan tangga, tahapan, atau  bantuan agar peserta didik dapat mencapai kompetensi  yang kompleks tersebut secara  mudah dan bertahan lama.
            Penggunaan teknik scaffolding dalam pembelajaran ini  menjadikan guru berpikir tentang tahapan atau tangga yang dapat digunakan agar peserta didik dengan mudah dapat  mengimplementasikan tugas  secara menyeluruh dalam tahap demi tahap.  Tahapan tugas tersebut  merupakan rangkaian kegiatan  hierarkhis yang diperlukan untuk mencapai kompetensi optimal yang seharusnya dikuasai peserta didik.

Aplikasi Scaffolding
            Sebagai contoh, aplikasi scaffolding untuk menumbuhkan rasa percaya diri dalam pembelajaran karakter seni tari pada jenjang sekolah menengah kejuruan akan dipaparkan dalam beberata tahapan. Pertama, kegiatan awal. Pembelajaran dibuka guru dengan meminta  salah seorang peserta didik untuk memimpin doa. Setelah itu guru menayangkan tayangan tokoh wayang dan karakter seni tarinya  dengan  media LCD. Setelah selesai penayangan, guru bertanya kepada peserta didik tentang  apa yang baru ditayangkan untuk mengetahu ranah imajinasi peserta didik. Kemudian peserta didik serentak menjawab, tokoh wayang orang. Setelah itu,  guru melanjutkan pertanyaan, karakter wayang orang tadi menceritakan tokoh siapa dan bagaimana karakternya ? Dengan sigap peserta didik menjawab, tokoh tersebut adalah Gathutkaca ksatria Pringgandani dengan tipologi karakter putra gagah.
            Langkah selanjutnya guru menjelaskan bahwa pada hari itu peserta didik akan belajar mengenal dan mempraktikkan beberapa tipologi  karakter wayang orang dalam seni tari. Di samping itu tidak lupa guru memberikan motivasi bahwa  mengamati dan menarikan karakter  wayang dalam seni tari tidak sulit asalkan tahu caranya.
            Kedua, kegiatan inti. Pada kegiatan inti ini, guru menayangkan beberapa tokoh wayang baik itu putra maupun putri. Guru meminta peserta didik untuk mengamati  dan mengidentifikasi  nama tokoh-tokohnya,  tipologi karakter, beserta ragam geraknya. Dari pengamatan yang sudah dilakukan,  peserta didik dimohon untuk mengajukan pertanyaan terkait dengan hasil pengamatan. Seperti untuk tokoh Gathutkaca dalam menari, gerak spesifik apa yang  pantas diaplikasikan agar kesan sebagai sosok ksatria tetap kelihatan menonjol? Apakah untuk gerak putri baik itu karakter lanyap, seperti Srikandi  maupun luruh, seperti Sinta tetap menggunakan ragam gerak yang sama?
                 Dari hasil pengamatan, dengan didampingi guru peserta didik dimohon untuk menafsirkan hasil temuannya. Dalam pendekatan saintifik termasuk kegiatan mencoba atau mengumpulkan informasi dengan tujuan mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat.
                 Kegiatan selanjutnya, berdasarkan data yang ditemukan, guru membuka kegiatan diskusi kelas dan bertindak sebagai moderator. Fokus kajian diskusi adalah menyepakati atau merevisi  kebenaran data, pengamatan, jawaban pertanyaan yang diajukan, dan asumsi yang dikemukakan. Dari data dan bukti-bukti yang telah disepakati itu para peserta didik diminta  mengerjakan karya tulis secara individual yang menganalisis dan merumuskan nilai-nilai keindahan dan  nilai-nilai seni tari karakter wayang orang dalam seni tari. Adapun rambu-rambunya adalah berdasarkan data dan  bukti-bukti yang ada  secara logis, argumentatif, apresiatif, dipaparkan  dengan menggunakan  bahasa Indonesia yang jelas, logis, dan sistematis. Dari tugas penulisan peserta didik,  guru memilih 5 makalah terbaik untuk dipresentasikan.
                 Masih ada kegiatan terakhir yang harus dilakukan adalah menyajikan atau mengomunikasikan. Untuk aktivitas ini guru memandu kegiatan diskusi secara bergiliran di depan kelas. Pada akhir kegiatan diskusi diharapkan  diperoleh konklusi yang memuaskan tentang aspek estetika, aspek seni, dan aspek nilai seni tari dikorelasikan dengan karakter dalam wayang orang. Tidak lupa kegiatan ditutup dengan refleksi sebagai umpan balik antar peserta didik dan guru untuk bisa membuat kesimpulan yang diharapkan.
                 Teknik scaffolding dalam pembelajaran karakter seni tari bertujuan agar peserta didik yakin dan  percaya diri, bahwa menganalisis  karakter seni tari itu tidak sulit. Rasa percaya diri akan memberikan energi positif  yang akan  mengarahkan untuk  menghasilkan karya-karya kreatif. Dengan tahapan-tahapan yang jelas tersebut, peserta didik dipastikan  tidak banyak  menemui kesulitan  dalam menganalsisi karakter seni tari dan dapat menghasilkan  karya analisis seni tari  yang estetis dan mempunyai nilai seni. Dengan teknik scaffolding akan membangkitkan rasa percaya diri pada peserta didik  karena ia merasa berhasil menaklukkan kompetensi yang sulir.
                 Di samping itu,  teknik scaffolding dapat memperkuat implementasi kurikulum 2013. Dimana  kurikulum tersebut  mempunyai harapan untuk  mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan-tantangan di masa depan melalui sikap, pengetahuan, dan  keterampilan  untuk beradaptasi  serta bisa  bertahan hidup dalam lingkungan yang senantiasa berubah.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
     Pendamping Seni Budaya
     SMK Wiyasa Magelang

































Tidak ada komentar:

Posting Komentar