Konsistensi Panglima
Perang Hastina
Oleh  Ch. Dwi Anugrah
Wonten malih, kinarya palupi, Basukarna 
narpati   Ngawangga,
lan Pandhawa tur kadange, len yayah tunggil ibu, suwita  mring 
Sri Kurupati, aneng nagri Ngastina kinarya gul-agul,   manggala
Golonganing prang, Bharatayuda ingadeken senopati, ngalaga ing Kurawa
Golonganing prang, Bharatayuda ingadeken senopati, ngalaga ing Kurawa
Tembang Dhandhanggula di atas
mengingatkan kita pada karya Sri Mangkunegara IV dalam Serat Tripama yang
sampai saat ini masih tetap melegenda dalam konsepsi  budaya Jawa. Serat Tripama merupakan tulisan
yang menampilkan tiga tokoh wayang  yang
patut dan dianjurkan untuk dijadikan teladan bagi orang yang ingin mengabdikan
diri  dalam bidang keparajuritan dan   kewiraan. Tokoh wayang tersebut adalah
Mahapatih Sumantri dari Maespati, Mahawira Kumbakarna dari Alengka, dan Adipati
Basukarna dari Hastina.
Adapun tembang Dhandhanggula di
atas bila diterjemahkan bebas kurang lebih sebagai berikut : “Ada lagi teladan yang pantas dicontoh.
Basukarna seorang raja dari Ngawangga, dengan Pandawa yang masih bersaudara,
lain ayah tetapi sekandung (sama ibu), yang dengan setia mengabdi  kepada Prabu Kurupati dari negeri Hastina
sebagai benteng, panglima perang, dalam perang Bharatayuda menjadi Panglima
Perang untuk membela Kurawa”.
            Menelusuri
tokoh wayang yang satu ini memang sangat menarik. Basukarna atau nama kecilnya
Karna dilahirkan ke mayapada, akibat kesalahan Dewi Kunti. Putri Mandura itu
bermain-main dengan mantra Druwasa. Ia ingin bertatap muka dengan Batara Surya
yang cakap dan tampan. Dari perbuatannya yang kurang hati-hati itu, akhirnya
beberapa bulan ia mengandung. Alangkah aib peristiwa itu. Beruntung, Resi
Druwasa berkenan untuk menolong. Sang bayi dilahirkan lewat telinga. Itulah
sebabnya, dia dinamakan Karna yang berarti telinga. Lengkapnya Basukarna,
karena sesungguhnya, ia putra seorang basu. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai
putra Resi Druwasa, karena dialah penyebabnya. Disebut pula dengan nama
Suryaputra, karena putra Dewa Surya, sang penguasa matahari.
            Demi
menjaga nama keluarga dan kehormatan negeri Mandura, Karna harus dibuang.
Sebelum dibuang dengan air mata bercucuran layaknya seorang ibu Dewi Kunti
mendekap bayi itu erat-erat sembari menciuminya dengan penuh kasih sayang.
Diam-diam ia menyematkan kalung berliontin 
separuh pada lehernya. Yang separuhnya disimpannya. Siapa tahu, Karna
dapat diketemukan kembali di kemudian hari. Sedangkan liontin yang terbagi dua
dengan diukir setengah namanya pula, akan menjadi tanda bukti yang tak
terbantahkan lagi. Dengan hati-hati, anak itu dimasukkan ke dalam kotak.
Sepintas ketika mengamati untuk terakhir kalinya, Kunti melihat anak itu
ternyata beranting-anting dan dadanya mengenakan perisai yang bersembunyi
dibalik kulit dagingnya.
Adipati Karna naik Kereta Jathisura dalam perang
Bharatayuda (Foto:Koleksi Pribadi)
            Kotak itu
membawa Karna  terapung-apung di atas
sungai Gangga.Adirata yang sedang mencari ikan menemukannya dan dengan girang
anak itu dipelihara layaknya anak sendiri, karena sudah sekian lama berkeluarga
ia belum dikaruniai momongan. Adirata adalah seorang sais istana Hastina.
Dengan penuh kasih sayang, ia membesarkan Basukarna. Dan Basukarna tumbuh
menjadi seorang pemuda yang cekatan dan berotak cerdas. Ia tidak hanya pandai
menyerap semua ajaran ayah angkatnya sebagai sais kereta, tetapi ia juga
mengenal ilmu bintang. Dengan mudah ia menguasai  dan menaklukkan kuda betapa binalpun. Bahkan
harimau yang masih ganas tunduk pada perintah-perintahnya. 
Adipati Karna menerima Panah Kuntawijayandanu
(Foto: Koleksi Pribadi)
             Pada
suatu hari ia ikut Adirata ke istana. Ia tertarik kepada para Kurawa dan
Pandawa yang sedang belajar ilmu perang. Dengan penuh perhatian ia mengamati
mereka. Tampak di hadapannya, ia melihat kesalahan dan kecanggungan Kurawa  melakukan petunjuk Resi Druna dan ajaran Resi
Krepa. Sebaliknya, ia kagum menyaksikan ketangkasan dan kecerdasan Pandawa
berolah berbagai senjata. Timbullah suatu kegelisahan di dalam hatinya.
 “ Dapatkah aku ikut berlatih bersama mereka
ayah ?” tanya Karna.
 “ Oh tidak, anakku,” jawab Adirata.
 “ Mengapa ayah ?” kejar anak angkatnya itu
Dengan terbata-bata sang ayah
menjawab,”Karena engkau hanya anak seorang sais kereta kerajaan.”
Pedih dan pahit benar bunyi
jawaban itu. Tetapi ayah angkatnya menjawab dengan jujur. Menghadapi kenyataan
itu, terjadilah suatu pemberontakan dalam 
hatinya. Kenapa ia dilahirkan sebagai anak seorang kusir ?
Jiwa yang berontak itu melebihi
perasaan rendah diri. Ia tak mau kalah, karena merasa lebih mampu daripada
ketangkasan Pandawa. Mulailah ia mencari akal. Diam-diam ia selalu  hadir untuk mengintip semua ajaran Resi Druna
dan Resi Krepa ketika memberi pelajaran kepada keturunan darah Bharata itu.
Sesampainya di rumah, ia berlatih dengan tekun. Tujuannya, ia ingin mempunyai
kepandaian sejajar dengan mereka. Dengan didukung kemauan kuat, kekerasan hati
dan ketekunannya, jadilah ia berhasil mengatasi perasaan rendah diri. Semua
pelajaran Resi Druna dan Krepa dapat dikuasai dalam waktu relatif singkat.
Kemudia ia menjelma menjadi seorang pemuda yang berhak mengangkat diri di tengah
pergaulan masyarakatnya.  Hal itu terjadi
tak lama kemudian.
Pada suatu hari, penduduk
berbondong-bondong memenuhi arena laga putra-putra Raja Hastina. Kurawa dan
Pandawa hendak mempertontonkan ketangkasannya berolah senjata yang diajarkan
Resi Druna dan Krepa. Ketika pertandingan dimulai, segala macam keahlian
dipertunjukkan. Kurawa merasa gelisah, resah, cemburu, iri, mendongkol, dan
dendam karena menyaksikan  betapa Pandawa
jauh lebih tangkas dan  mahir daripada
kelompok mereka. Apalagi Arjuna. Ksatria berwajah tampan ini, kelihatan paling
menonjol. Segala macam senjata dikuasainya dengan sempurna. Bidikan anak
panahnya tak pernah meleset dari sasaran. Bahkan mampu menembus sasaran
berlapis tujuh sekali bidik. Semua penonton berdiri mengelu-elukan dan
menyanjungnya tiada henti. 
Dalam kegemparan yang diliputi
tarik ulur tersebut, tiba-tiba semua hadirin dikejutkan oleh suara lantang yang
bergema laksana halilintar menyambar. Ternyata ada seorang penonton yang masih
muda belia telah meloncat masuk gelanggang. Itulah Basukarna yang sudah tak
kuasa menahan diri melihat kesuksesan Arjuna dan  menyaksikan Kurawa junjungannya selalu
mendapat kekalahan,  hatinya berontak.
Tanpa pikir panjang, ia kemudian
memperlihatkan semua apa yang dilakukan oleh Arjuna dengan sangat sempurna.
Penonton pun dibuat kagum dibuatnya termasuk para ketua Hastina. Sedangkan
Kunti yang berada di atas panggung sudah berdebar-debar hatinya. Kemiripan
wajah Basukarna dengan Arjuna tak lepas dari perhatiannya. Dan setelah melihat
dengan jelas pemuda itu memakai anting-anting bergambar matahari bercahaya,
persis dengan kalung yang ia pakai sendiri. Kunti tak ragu-ragu lagi, itulah
Suryaputra putra pertamanya. Bahkan ketika Arjuna dan Karna siap berlaga
dilindungi simbol-simbol kekuatan Batara Surya dan Batara Indra yakni matahari
dan guntur saling berkejaran, seketika itu mata Dewi Kunti menjadi
berkunang-kunang.
Dalam keadaan kalut Resi Krepa
melerai mereka, dan menegur Karna yang tak pantas masuk ke gelanggang karena
bukan dari golongan ksatria. Seketika itu dada Basukarna seperti terbelah,
karena menahan kepedihan yang tak terkira. Beruntung Duryudana tanggap, saat
itu juga derajat Basukarna diangkat menjadi Adipati di Awangga. Kedudukannya
sejajar dengan golongan ksatria. Kata-kata Duryudana inilah yang menyebabkan
Basukarna setia kepadanya. Sebab kata-kata itu sendiri berarti memberinya hak
hidup.  Sekaligus ia terangkat dari
lembah hina sebagai seorang yang mulia. Kemuliaan sekaligus kehormatan itu
pantas ditebus dengan taruhan jiwa dan raga.
Sebelum pecah perang besar
Bharatayuda, Batara Surya memberi khabar bahwa Dewi Kunti adalah ibu
kandungnya, dan Pandawa itu saudara mudanya. Basukarna seketika itu kaget. Jadi
Kunti itu adalah ibu kandungnya ? Pantaslah putri itu pernah berjuang dengan
gigihnya tatkala mendapatkan Surtikanti dari Prabu Salya sebagai istrinya.
Tiba-tiba rasa naluriahnya timbul dan 
menjalari seluruh tubuhnya. Ingin ia dipeluk tangan ibunda, diciuminya,
dibujuk, ditimang-timang. Pendek kata ia sangat haus kasih sayang.
Dan Pandawa yang hidup sengsara
itu, ternyata adik-adiknya sendiri. Sekiranya hal itu diketahuinya semenjak
dulu, tentunya ia tidak ambil bagian di pihak Kurawa. Sekarang semuanya sudah
terlanjur. Ia terlanjur menjadi orang kepercayaan Kurawa. Ia terlanjur
bersumpah akan behadap-hadapan dengan Arjuna pada perang besar Bharatayuda.
Dapatkah ia mengingkari semuanya itu begitu saja. Tidak ! Ia akan ditertawakan
banyak orang dan diejek sejarah. Ia akan menurunkan kehormatan Ibunda Kunti
Talibrata sebagai seorang ksatria berhati pengecut. Tekadnya sudah bulat ! Ia
akan maju ke medan laga, dalam memegang teguh  darma ksatrianya. Ia rela berkorban, manakala
baju tamsir yang tak tembus berbagai senjata diminta oleh Batara Indra.
Basukarna pun menyadari tanpa baju tamsir itu, senjata Arjuna dapat menembus
dirinya.
Dua kali, keteguhan Basukarna
mendapat ujian. Pertama kali ibunya Dewi Kunti membujuknya untuk bergabung ke
Pandawa. Kedua Sri Kresna, ketika menjadi duta Pandawa yang terakhir ke
Hastina. Semua itu ditolaknya. Karena dia berprinsip, dengan dia bergabung ke
Kurawa tersebut hanya karena menepati janjinya sebagai ksatria. Sedangkan dalam
nuraninya ingin membrantas keangkaramurkaan Kurawa dengan caranya. Basukarna
berkeyakinan bahwa selama golongan angkara seperti Kurawa masih bercokol, dunia
tak akan tenteram. Ia merasa sayang bila negeri Hastina terlalu lama
dicengkeram Kurawa. Pecahnya perang Bharayuda berarti kekuasaan Kurawa sudah
diambang kehancuran. 
Tokoh Basukarna ini merefleksikan
pada kita, bahwa dia adalah sosok ksatria yang konsisten akan janji. Dan juga
tak silau pada kedudukan. Waktu itu pernah dibujuk  oleh Sri Kresna, bila mau bergabung pada
Pandawa nantinya akan diangkat menjadi raja Hastina. Namun semuanya ditolaknya,
karena ia merasa tak pantas menjadi raja besar. Hanya adiknya Ajathasatru yang
pantas memangku jabatan tersebut. Ia menyadari bahwa tugas yang lebih penting
dan suci adalah memimpin dan mempercepat musnahnya angkara murka. Walaupun
untuk itu harus bertempur sampai ajal menjemputnya melawan saudara-saudara
kandungnya sendiri.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Teknik
Scaffolding
Dalam
Penanaman Nilai
Karakter
Oleh Ch. Dwi Anugrah
            Pendidikan karakter yang marak
dibicarakan publik belakangan ini akan semakin penting dan strategis, terutama
jika dikaitkan dengan  tantangan yang dihadapi
bangsa Indonesia dalam menyiapkan generasi masa depan dalam menghadapi  tantangan global dengan permasalahan yang
semakin berat dan kompleks. 
            Untuk menghadapi tantangan di era
global tersebut, diperlukan sumber daya manusia yang berpengetahuan,
berketerampilan, dan berkarakter kuat. Dengan mengoptimalkan sumber daya
manusia tersebut, bangsa ini akan semakin maju. Bangsa yang maju bukan hanya
ditentukan oleh faktor kekayaan alamnya saja, tetapi lebih dari itu, di
antaranya  kompetensi   atau teknologi yang dikuasai,  dorongan semangat  serta 
karakter  yang dimiliki. 
            Saat ini pemerintah telah
mencanangkan  pengintegrasian pendidikan
karakter ke semua mata pelajaran  mulai
pendidikan dasar sampai dengan  pendidikan
menengah. Namun dalam praktiknya, arah pendidikan karakter di satuan pendidikan
masih terbatas pada indoktrinasi belum internalisasi.
            Indoktrinasi mempunyai implikasi
pendidikan karakter tersebut diajarkan, yakni peserta didik diberitahu bahwa
mereka harus jujur, percaya diri, disiplin, dan memiliki rasa tanggung jawab.
Sebagai contoh, ketika guru mengajarkan tentang karakter seni tari, peserta
didik disuruh mengidentifikasi alur karakter seni tari, latar, rias - busana,
dan pesan karakter. Setelah peserta didik berhasil mengidentifikasi  unsur-unsur karakter seni tari tersebut,  peserta didik diberitahu  agar mereka mencontoh  perilaku baik seperti yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh protagonis dalam karakter seni tari dalam wayang. Pembelajaran
seperti itu adalah bentuk-bentuk indoktrinasi 
dalam pendidikan karakter yang menekankan   nilai-nilai itu diajarkan  atau ditransfer oleh guru.
            Berbeda dengan indoktrinasi yang
cenderung  mengajarkan nilai
internalisasi  adalah upaya pemilikan dan
penggalian nilai-nilai moral agar menjadi milik peserta didik. Nilai moral atau
karakter tersebut  menyatu, menjadi
bagian tidak terpisahkan  dari
perilaku  peserta didik  dalam kehidupan baik saat ini maupun  di masa mendatang. Dalam internalisasinya,
tugas guru adalah  mendorong peserta
didik  untuk menjadi  pemilik nilai-nilai moral atau karakter
tersebut. Selanjutnya  mengupayakan agar
nilai-nilai itu melekat dalam diri peserta didik dan mendorong peserta
didik  agar merealisasikan  nilai-nilai itu  dalam segala 
gerak langkah maupun  perilaku
kesehariannya. 
            Nilai-nilai  itu direfleksi, diceritakan sendiri oleh
peserta didik berdasarkan apa yang telah dialami, dirasakan, sehingga
nilai-nilai itu menjadi milik peserta didik. Nilai-nilai karakter itu akan
melekat kuat dalam diri peserta didik 
jika nilai-nilai itu  diikat  dengan pengalaman, emosi, dan motivasi  personal (Endah Tri Priyatni, 2013).
            Dalam proses internalisasi, guru
perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merefleksi  dan menceritakan  nilai-nilai moral  yang diperoleh ketika menyaksikan kejadian
aktual, peristiwa yang dialami sendiri sewaktu menonton seni pertunjukan,
membaca novel, cerpen, atau puisi. Peserta didik dapat merefleksi  atau menceritakan nilai-nilai   pada dirinya  yang sudah dialami, dilihat, atau dipahami
dari bacaan atau peristiwa aktual. Cara ini akan lebih tahan lama dan melekat
daripada guru yang menceritakan  atau
mengajarkan  nilai-nilai tersebut kepada
peserta didik.
            Tujuan akhir dari internalisasi
adalah dimilikinya nilai-nilai karakter 
itu secara otonom. Guru harus mendorong peserta didik agar menjadi
pemilik  nilai-nilai moral secara otonom.  Dengan demikian dampak yang diharapkan  dapat terealisasinya  nilai-nilai moral itu secara otomatis dalam
segala perilaku peserta didik tanpa ada perintah atau komando.
Rasa Percaya Diri  
            Pada
dasanya rasa percaya diri itu adalah 
kombinasi antara  sikap mental  dan pemilikan kemampuan. Untuk menumbuhkan
keyakinan bahwa seseorang  merasa
mampu  dalam melaksanakan tugas,
diperlukan teknik scaffolding.
Istilah scaffolding atau  mediated
learning adalah teori  yang dikemukan
oleh Vigotsky dalam bukunya “Mind in
Society” (1978), yang mengeksplanasikan bahwa scaffolding  menekankan  pada penggunaan dukungan atau bantuan  tahap demi tahap dalam belajar dan pemecahan
masalah. Ada beragam bantuan yang diberikan 
tergantung pada tingkat kesulitan 
yang dialami peserta didik, misalnya, memecah tugas menjadi lebih kecil,
mengatur bagian-bagian, mengajak berpikir ulang,  membahasakan proses berpikir jika tugasnya
kompleks, melaksanakan pembelajaran kooperatif, melakukan dialog  dalam kelompok kecil, memberi petunjuk
konkret, melakukan tanya jawab, memberikan pendampingan personal, atau
melakukan pemodelan.
            Di samping itu  bila diperlukan bantuan,  dapat berupa kiat  untuk  mengaktifkan latar belakang pengetahuan yang
dimiliki peserta didik, memberikan akses tentang strategi belajar efektif,
dan  prosedur-prosedur  kunci untuk melaksanakan tugas atau
memecahkan masalah yang dihadapi peserta didik agar tidak frustasi  karena mengerjakan  tugas atau 
suatu keterampilan yang sulit dicapai. 
            Pemberian dukungan setahap-demi
setahap ini bukan berarti  peserta didik
diajar  sedikit demi sedikit  dari seluruh komponen suatu tugas.   Dengan bantuan pendampingan personal yang
efektif,   pada suatu saat  akan terwujud menjadi suatu kapabilitas untuk
 menyelesaikan tugas  kompleks tersebut.  Teknik scaffolding
digunakan untuk  mencapai kompetensi
kompleks, menantang, dan realistik. Untuk mencapai kompetensi tersebut  diperlukan tangga, tahapan, atau  bantuan agar peserta didik dapat mencapai
kompetensi  yang kompleks tersebut
secara  mudah dan bertahan lama.
            Penggunaan teknik scaffolding dalam pembelajaran ini  menjadikan guru berpikir tentang tahapan atau
tangga yang dapat digunakan agar peserta didik dengan mudah dapat  mengimplementasikan tugas  secara menyeluruh dalam tahap demi
tahap.  Tahapan tugas tersebut  merupakan rangkaian kegiatan  hierarkhis
yang diperlukan untuk mencapai kompetensi optimal yang seharusnya dikuasai
peserta didik. 
Aplikasi Scaffolding
            Sebagai contoh,
aplikasi scaffolding untuk
menumbuhkan rasa percaya diri dalam pembelajaran karakter seni tari pada
jenjang sekolah menengah kejuruan akan dipaparkan dalam beberata tahapan. Pertama, kegiatan awal. Pembelajaran
dibuka guru
dengan meminta 
salah seorang peserta didik untuk memimpin doa. Setelah itu guru
menayangkan tayangan tokoh wayang dan karakter seni tarinya  dengan  media LCD. Setelah selesai penayangan, guru
bertanya kepada peserta didik tentang 
apa yang baru ditayangkan untuk mengetahu ranah imajinasi peserta didik.
Kemudian peserta didik serentak menjawab, tokoh wayang orang. Setelah itu,  guru melanjutkan pertanyaan, karakter wayang
orang tadi menceritakan tokoh siapa dan bagaimana karakternya ? Dengan sigap
peserta didik menjawab, tokoh tersebut adalah Gathutkaca ksatria Pringgandani
dengan tipologi karakter putra gagah. 
            Langkah selanjutnya guru menjelaskan
bahwa pada hari itu peserta didik akan belajar mengenal dan mempraktikkan
beberapa tipologi  karakter wayang orang
dalam seni tari. Di samping itu tidak lupa guru memberikan motivasi bahwa  mengamati dan menarikan karakter  wayang dalam seni tari tidak sulit asalkan
tahu caranya.
            Kedua,
kegiatan inti. Pada kegiatan inti ini, guru menayangkan beberapa tokoh
wayang baik itu putra maupun putri. Guru meminta peserta didik untuk
mengamati  dan mengidentifikasi  nama tokoh-tokohnya,  tipologi karakter, beserta ragam geraknya. Dari
pengamatan yang sudah dilakukan,  peserta
didik dimohon untuk mengajukan pertanyaan terkait dengan hasil pengamatan.
Seperti untuk tokoh Gathutkaca dalam menari, gerak spesifik apa yang  pantas diaplikasikan agar kesan sebagai sosok
ksatria tetap kelihatan menonjol? Apakah untuk gerak putri baik itu karakter
lanyap, seperti Srikandi  maupun luruh,
seperti Sinta tetap menggunakan ragam gerak yang sama? 
                 Dari hasil pengamatan, dengan
didampingi guru peserta didik dimohon untuk menafsirkan hasil temuannya. Dalam pendekatan
saintifik termasuk kegiatan mencoba atau mengumpulkan informasi dengan tujuan mengembangkan
sikap teliti, jujur, sopan,
menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan
mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan
kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat. 
                 Kegiatan selanjutnya,
berdasarkan data yang ditemukan, guru membuka kegiatan diskusi kelas dan
bertindak sebagai moderator. Fokus kajian diskusi adalah menyepakati atau
merevisi  kebenaran data, pengamatan, jawaban
pertanyaan yang diajukan, dan asumsi yang dikemukakan. Dari data dan
bukti-bukti yang telah disepakati itu para peserta didik diminta  mengerjakan karya tulis secara individual
yang menganalisis dan merumuskan nilai-nilai keindahan dan  nilai-nilai seni tari karakter wayang orang
dalam seni tari. Adapun rambu-rambunya adalah berdasarkan data dan  bukti-bukti yang ada  secara logis, argumentatif, apresiatif,
dipaparkan  dengan menggunakan  bahasa Indonesia yang jelas, logis, dan
sistematis. Dari tugas penulisan peserta didik,  guru memilih 5 makalah terbaik untuk
dipresentasikan. 
                 Masih ada kegiatan terakhir
yang harus dilakukan adalah menyajikan atau mengomunikasikan. Untuk aktivitas
ini guru memandu kegiatan diskusi secara bergiliran di depan kelas. Pada akhir
kegiatan diskusi diharapkan  diperoleh konklusi
yang memuaskan tentang aspek estetika, aspek seni, dan aspek nilai seni tari
dikorelasikan dengan karakter dalam wayang orang. Tidak lupa kegiatan ditutup
dengan refleksi sebagai umpan balik antar peserta didik dan guru untuk bisa
membuat kesimpulan yang diharapkan. 
                 Teknik scaffolding dalam pembelajaran karakter seni tari bertujuan agar
peserta didik yakin dan  percaya diri, bahwa
menganalisis  karakter seni tari itu
tidak sulit. Rasa percaya diri akan memberikan energi positif  yang akan 
mengarahkan untuk  menghasilkan
karya-karya kreatif. Dengan tahapan-tahapan yang jelas tersebut, peserta didik
dipastikan  tidak banyak  menemui kesulitan  dalam menganalsisi karakter seni tari dan
dapat menghasilkan  karya analisis seni
tari  yang estetis dan mempunyai nilai
seni. Dengan teknik scaffolding akan
membangkitkan rasa percaya diri pada peserta didik  karena ia merasa berhasil menaklukkan
kompetensi yang sulir. 
                 Di samping itu,  teknik scaffolding
dapat memperkuat implementasi kurikulum 2013. Dimana  kurikulum tersebut  mempunyai harapan untuk  mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi
tantangan-tantangan di masa depan melalui sikap, pengetahuan, dan  keterampilan  untuk beradaptasi  serta bisa  bertahan hidup dalam
lingkungan yang senantiasa berubah.
Drs. Ch.
Dwi Anugrah, M.Pd. 
     Pendamping Seni Budaya
     SMK Wiyasa Magelang



 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar