Rabu, 06 Juli 2016

Pengelolaan SMA/SMK Ke Provinsi

Pengelolaan SMA/SMK ke Provinsi

Oleh Ch. Dwi Anugrah




            Seperti diketahui oleh banyak pihak, bahwa terhitung mulai tanggal 1 Januari 2017 penyerahan kewenangan  pengelolaan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi resmi diimplementasikan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Kompas,11/6/2016).
            Seperti biasa, kalau ada kebijakan baru pasti ada sikap yang setuju atau kontra dari berbagai kalangan. Terlepas dari sikap  pro ataupun kontra kebijakan tersebut perlu dicermati secara akuratif agar maksud dan tujuan yang mendasari perubahan yaitu, terjadinya pemerataan kualitas pendidikan menengah, meminimalisir disparitas kualitas sekolah daerah satu dengan daerah lain, pengelolaan pendidikan tidak dipolitisasi mengingat visi dan misi  kepala daerah setiap periode berbeda-beda, meningkatkan pelayanan pendidikan,  dan keseimbangan tugas daerah otonom dalam pendidikan dapat direalisasikan secara optimal.
            Hal utama yang perlu dicermati adalah pada proses transisi.  Dalam setiap proses seringkali menjadi ruas kritis yang bisa merugikan program pendidikan secara nasional. Di Jawa Tengah misalnya, proses persiapan sudah dilakukan oleh instansi yang berwenang, di antaranya rapat koordinasi yang difasilitasi Bappeda Jateng, dengan mengundang Dirjen Bangda Kepemdagri, Kepala Biro Perencanaan Setjen Kemendagri, Dinas Pendidikan Provinsi Jateng serta Kepala Biro Orpeg Setda Jateng (Rukma Setyabudi, 2016).
            Yang pasti  apabila proses pengalihan sudah berlangsung, maka tahapan-tahapan yang diamanatkan dalam undang-undang harus dilaksanakan. Adapun yang paling substansial  pengalihan kewenangan pengelolaan SMA dan SMK ini harus berlangsung dengan baik, sehingga nantinya di tangan provinsi penyelenggaraan pendidikan tingkat menengah atas bisa berlangsung efektif, kualitasnya merata di semua daerah dan kesejahteraan  guru dan tenaga kependidikan meningkat dari yang diperoleh sebelumnya.

Kekhawatiran
Sebagai sebuah resultansi keputusan politik, terjadinya pengalihan pengelolaan SMA-SMK dari kabupaten-kota ke provinsi menimbulkan beberapa kekhawatiran yang sangat prinsip. Untuk jangka pendek, kekhawatiran tersebut di antaranya,  pertama, dekonsentrasi pengelolaan SMA-SMK ke provinsi yang pernah terjadi sebelum reformasi adalah kesulitan pengawasan dan pembinaan, termasuk mengadakan koordinasi. Seperti diketahui koordinasi untuk setingkat kota dan kabupaten saja sulit apalagi untuk tingkat provinsi. Hal ini wajar, karena wilayah pemerintahan provinsi lebih luas daripada wilayah kota dan kabupaten. Sering djumpai juga,  untuk urusan administrasi kadang-kadang Dinas Pendidikan Kota atau Kabupaten sering keteteran alias kalang kabut dan sering dekat dengan waktu pelaksanaannya alias mendadak. Tapi ini tidak boleh dijadikan alasan unsur aparat sipil  provinsi  untuk bekerja tidak maksimal. Justru pemerintah provinsi dituntut untuk lebih baik bekerja melakukan pelayanan prima pada SMA/SMK di seluruh kota dan kabupaten yang ada di wilayah provinsi. 
Kedua, munculnya pertentangan dari berbagai kalangan yang tidak setuju. Dengan pengelolaan SMA/SMK ke provinsi sudah barang tentu  aspek sumber daya manusia yang ada di dalamnya ditangani provinsi, baik kenaikan pangkat, mutasi guru dan tenaga kependidikan, pencalonan pejabat sekolah, dan sebagainya. Bagi mereka yang mempunyai keinginan  ditempatkan pada zona nyaman di daerahnya selama bekerja tentunya juga merasa terancam. Sebagai contoh mutasi atau pindah tugas bagi pendidik atau tenaga kependidikan  bisa sampai lingkup provinsi, tidak hanya berkutat di lingkup kabupatan atau kota.
Sedangkan harapan-harapan dari kebijakan ini  antara lain, pertama, karier dan pengalaman guru atau tenaga kependidikan  yang mengabdi di SMA-SMK menjadi terbuka ke jenjang yang lebih tinggi. Di samping itu, guru mendapat kemudahan untuk mengabdi di daerah asal setelah puluhan tahun  mengajar di sekolah selama ini. Untuk guru-guru yang sudah bersertifikasi  namun  kekurangan jam mengajar, dapat mencari di luar kabupaten atau kota tempat selama ini mengajar. Dengan demikian sebaran guru-guru untuk mencari peluang pemenuhan jam mengajar lebih terbuka lebar.
Kedua, tercukupinya anggaran baik untuk gaji, operasional maupun pengembangan kualitas SMA-SMK mengingat sebagai daerah otonom keharusan mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan selama ini lebih banyak dipakai untuk bantuan ke kabupaten/kota.
Ketiga, adanya pembagian yang jelas dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Tingkat SD sampai SMP ditangani kabupaten-kota, SMA-SMK ditangani pemprov dan pendidikan tinggi ditangani pemerintah pusat. Implikasinya masing-masing jenjang pemerintahan menjadi fokus. Pemerintah kabupaten/kota bisa memaksimalkan anggaran dan sumber dayanya untuk melaksanakan program wajib belajar 9 tahun, di sekolah-sekolah yang menjadi kewenangannya. Pemerintah provinsi bisa mempersiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan daerahnya melalui SMK yang dikelolanya serta membuat standar yang jelas untuk mereka yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Pemerintah pusat bisa berkonsentrasi mengembangkan pendidikan tinggi yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Keempat, terjadinya pemerataan mutu pendidikan. Selama ini hanya beberapa kota dan kabupaten yang bermutu dan berprestasi pendidikannya.  Diharapkan dengan pengelolaan SMA/SMK berpindah ke pemerintah provinsi, maka pemerintah provinsi berhak untuk merotasi dan memutasi guru dan kepala sekolah yang berprestasi di wilayah kota dan kabupaten. Regulasi ini sudah dilakukan oleh institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kepolisian untuk pejabatnya yang paling rendah, yaitu setingkat Koramil untuk TNI dan Polsek untuk Kepolisian. Ketentuan ini kiranya dinilai masih wajar dan tidak memberatkan para guru dan kepala sekolah, karena wilayah provinsi masih terjangkau.
Untuk memperkecil wilayah provinsi yang luas, bisa diatasi dengan wilayah provinsi dibagi menjadi beberapa rayon. Dan waktu rotasi dan mutasi untuk guru dan kepala sekolah ini bisa dibatasi misal antara minimal dua tahun sampai lima tahun. Regulasi rotasi dan mutasi guru maupun kepala sekolah ini juga bisa bersifat sosial artinya guru dan kepala sekolah bisa mengajukan untuk dirotasi dan dimutasi misal untuk kembali ke daerahnya karena alasan keluarga, atau alasan untuk menghadapi masa pensiun atau alasan kesehatan dan lain-lain. Dengan regulasi rotasi dan mutasi oleh pemerintah provinsi, kecil kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme, dibandingkan jika regulasi ini dikelola oleh kota atau kabupaten.
Regulasi rotasi dan mutasi juga bisa berlaku pada semua guru dan kepala sekolah untuk memenuhi kekurangan atau kelebihan guru dan kepala sekolah di daerah tertentu dalam wilayah satu provinsi. Regulasi ini harus dipertimbangkan secara matang dan cermat, karena jangan sampai merugikan guru dan kepala sekolah atau bahkan sekolah yang ditinggalkan, ini sering terjadi jika guru atau kepala sekolah yang disenangi oleh peserta didiknya dimutasi.
Kelima, menghemat anggaran kota dan kabupaten. Dengan regulasi baru, yaitu anggaran pendidikan SMK/SMK dari pemerintah pusat ke provinsi, maka pemerintah kota dan kabupaten sangat diuntungkan, sehingga anggaran pendidikan yang semula untuk SMK/SMK bisa dialihkan pada pengembangan dan pembinaan untuk SD dan SMP, sehingga nantinya  tidak akan terlihat  ada bangunan gedung SD yang mengenaskan dan terancam ambruk.
Dengan kebijakan tersebut hendaknya semua pihak bisa menerima dengan lapang dada, karean regulasi tersebut jelas mempunyai tujuan positif yaitu untuk peningkatan pemerataan pendidikan, baik dalam hal peningkatan kompetensi pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, pengawas, maupun kualitas jenjang pendidikan menengah di tingkat provinsi.


Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Alumni Magister Pendidikan
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar