Pengelolaan SMA/SMK ke Provinsi
Oleh Ch. Dwi Anugrah
Seperti
diketahui oleh banyak pihak, bahwa terhitung mulai tanggal 1 Januari 2017
penyerahan kewenangan pengelolaan
Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan dari pemerintah
kabupaten/kota ke pemerintah provinsi resmi diimplementasikan seperti diatur
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
(Kompas,11/6/2016).
Seperti
biasa, kalau ada kebijakan baru pasti ada sikap yang setuju atau kontra dari
berbagai kalangan. Terlepas dari sikap pro ataupun kontra kebijakan tersebut perlu
dicermati secara akuratif agar maksud dan tujuan yang mendasari perubahan
yaitu, terjadinya pemerataan kualitas pendidikan menengah, meminimalisir
disparitas kualitas sekolah daerah satu dengan daerah lain, pengelolaan
pendidikan tidak dipolitisasi mengingat visi dan misi kepala daerah setiap periode berbeda-beda,
meningkatkan pelayanan pendidikan, dan
keseimbangan tugas daerah otonom dalam pendidikan dapat direalisasikan secara
optimal.
Hal
utama yang perlu dicermati adalah pada proses transisi. Dalam setiap proses seringkali menjadi ruas
kritis yang bisa merugikan program pendidikan secara nasional. Di Jawa Tengah
misalnya, proses persiapan sudah dilakukan oleh instansi yang berwenang, di
antaranya rapat koordinasi yang difasilitasi Bappeda Jateng, dengan mengundang
Dirjen Bangda Kepemdagri, Kepala Biro Perencanaan Setjen Kemendagri, Dinas
Pendidikan Provinsi Jateng serta Kepala Biro Orpeg Setda Jateng (Rukma
Setyabudi, 2016).
Yang
pasti apabila proses pengalihan sudah
berlangsung, maka tahapan-tahapan yang diamanatkan dalam undang-undang harus
dilaksanakan. Adapun yang paling substansial pengalihan kewenangan pengelolaan SMA dan SMK
ini harus berlangsung dengan baik, sehingga nantinya di tangan provinsi
penyelenggaraan pendidikan tingkat menengah atas bisa berlangsung efektif,
kualitasnya merata di semua daerah dan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan meningkat dari
yang diperoleh sebelumnya.
Kekhawatiran
Sebagai
sebuah resultansi keputusan politik, terjadinya pengalihan pengelolaan SMA-SMK
dari kabupaten-kota ke provinsi menimbulkan beberapa kekhawatiran yang sangat
prinsip. Untuk jangka pendek, kekhawatiran tersebut di antaranya, pertama,
dekonsentrasi pengelolaan SMA-SMK ke provinsi yang pernah terjadi sebelum
reformasi adalah kesulitan pengawasan dan pembinaan, termasuk mengadakan
koordinasi. Seperti diketahui koordinasi untuk setingkat kota dan kabupaten
saja sulit apalagi untuk tingkat provinsi. Hal ini wajar, karena wilayah
pemerintahan provinsi lebih luas daripada wilayah kota dan kabupaten. Sering
djumpai juga, untuk urusan administrasi
kadang-kadang Dinas Pendidikan Kota atau Kabupaten sering keteteran alias
kalang kabut dan sering dekat dengan waktu pelaksanaannya alias mendadak. Tapi
ini tidak boleh dijadikan alasan unsur aparat sipil provinsi untuk bekerja tidak maksimal. Justru
pemerintah provinsi dituntut untuk lebih baik bekerja melakukan pelayanan prima
pada SMA/SMK di seluruh kota dan kabupaten yang ada di wilayah provinsi.
Kedua, munculnya pertentangan dari
berbagai kalangan yang tidak setuju. Dengan pengelolaan SMA/SMK ke provinsi
sudah barang tentu aspek sumber daya
manusia yang ada di dalamnya ditangani provinsi, baik kenaikan pangkat, mutasi
guru dan tenaga kependidikan, pencalonan pejabat sekolah, dan sebagainya. Bagi
mereka yang mempunyai keinginan ditempatkan pada zona nyaman di daerahnya
selama bekerja tentunya juga merasa terancam. Sebagai contoh mutasi atau pindah
tugas bagi pendidik atau tenaga kependidikan
bisa sampai lingkup provinsi, tidak hanya berkutat di lingkup kabupatan
atau kota.
Sedangkan
harapan-harapan dari kebijakan ini antara lain, pertama, karier dan pengalaman guru atau tenaga kependidikan yang mengabdi di SMA-SMK menjadi terbuka ke
jenjang yang lebih tinggi. Di samping itu, guru mendapat kemudahan untuk
mengabdi di daerah asal setelah puluhan tahun
mengajar di sekolah selama ini. Untuk guru-guru yang sudah
bersertifikasi namun kekurangan jam mengajar, dapat mencari di luar
kabupaten atau kota tempat selama ini mengajar. Dengan demikian sebaran
guru-guru untuk mencari peluang pemenuhan jam mengajar lebih terbuka lebar.
Kedua, tercukupinya anggaran baik untuk
gaji, operasional maupun pengembangan kualitas SMA-SMK mengingat sebagai daerah
otonom keharusan mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan selama ini lebih
banyak dipakai untuk bantuan ke kabupaten/kota.
Ketiga, adanya pembagian yang jelas
dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Tingkat SD sampai SMP ditangani
kabupaten-kota, SMA-SMK ditangani pemprov dan pendidikan tinggi ditangani
pemerintah pusat. Implikasinya masing-masing jenjang pemerintahan menjadi
fokus. Pemerintah kabupaten/kota bisa memaksimalkan anggaran dan sumber dayanya
untuk melaksanakan program wajib belajar 9 tahun, di sekolah-sekolah yang
menjadi kewenangannya. Pemerintah provinsi bisa mempersiapkan tenaga siap pakai
yang dibutuhkan daerahnya melalui SMK yang dikelolanya serta membuat standar
yang jelas untuk mereka yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Pemerintah pusat bisa berkonsentrasi mengembangkan pendidikan tinggi yang
sesuai dengan kebutuhan zaman.
Keempat, terjadinya pemerataan mutu
pendidikan. Selama ini hanya beberapa kota dan kabupaten yang bermutu dan
berprestasi pendidikannya. Diharapkan
dengan pengelolaan SMA/SMK berpindah ke pemerintah provinsi, maka pemerintah
provinsi berhak untuk merotasi dan memutasi guru dan kepala sekolah yang
berprestasi di wilayah kota dan kabupaten. Regulasi ini sudah dilakukan oleh
institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kepolisian untuk pejabatnya yang
paling rendah, yaitu setingkat Koramil untuk TNI dan Polsek untuk Kepolisian.
Ketentuan ini kiranya dinilai masih wajar dan tidak memberatkan para guru dan
kepala sekolah, karena wilayah provinsi masih terjangkau.
Untuk
memperkecil wilayah provinsi yang luas, bisa diatasi dengan wilayah provinsi
dibagi menjadi beberapa rayon. Dan waktu rotasi dan mutasi untuk guru dan
kepala sekolah ini bisa dibatasi misal antara minimal dua tahun sampai lima
tahun. Regulasi rotasi dan mutasi guru maupun kepala sekolah ini juga bisa
bersifat sosial artinya guru dan kepala sekolah bisa mengajukan untuk dirotasi
dan dimutasi misal untuk kembali ke daerahnya karena alasan keluarga, atau
alasan untuk menghadapi masa pensiun atau alasan kesehatan dan lain-lain.
Dengan regulasi rotasi dan mutasi oleh pemerintah provinsi, kecil kemungkinan
terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme, dibandingkan jika regulasi ini
dikelola oleh kota atau kabupaten.
Regulasi rotasi
dan mutasi juga bisa berlaku pada semua guru dan kepala sekolah untuk memenuhi
kekurangan atau kelebihan guru dan kepala sekolah di daerah tertentu dalam
wilayah satu provinsi. Regulasi ini harus dipertimbangkan secara matang dan
cermat, karena jangan sampai merugikan guru dan kepala sekolah atau bahkan
sekolah yang ditinggalkan, ini sering terjadi jika guru atau kepala sekolah
yang disenangi oleh peserta didiknya dimutasi.
Kelima, menghemat anggaran kota dan
kabupaten. Dengan regulasi baru, yaitu anggaran pendidikan SMK/SMK dari
pemerintah pusat ke provinsi, maka pemerintah kota dan kabupaten sangat
diuntungkan, sehingga anggaran pendidikan yang semula untuk SMK/SMK bisa
dialihkan pada pengembangan dan pembinaan untuk SD dan SMP, sehingga
nantinya tidak akan terlihat ada bangunan gedung SD yang mengenaskan dan terancam
ambruk.
Dengan kebijakan
tersebut hendaknya semua pihak bisa menerima dengan lapang dada, karean
regulasi tersebut jelas mempunyai tujuan positif yaitu untuk peningkatan pemerataan pendidikan, baik dalam hal peningkatan
kompetensi pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, pengawas, maupun
kualitas jenjang pendidikan menengah di tingkat provinsi.
Drs. Ch. Dwi Anugrah,
M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Alumni Magister
Pendidikan
Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar