Pewarisan Seni Tradisi
Oleh Ch. Dwi
Anugrah
Wisnu, bocah
usia 7 tahun itu duduk menyelinap terhimpit di sela rancakan gamelan. Hari tengah malam, saat ia dibangunkan oleh
emaknya. Sejak siang ia memang sudah wanti-wanti agar dibangunkan untuk
nonton wayang yang ditanggap seorang warga kampung di tetangga desanya.
Berjalan sekitar
1 kilometer menyusuri pematang kecil ke tempat pergelaran tak membuatnya
kelelahan. Tak sampai 15 menit, anak dan emak itu langsung tenggelam di tengah
penonton yang berjejal. Wisnu kecil melepasa pegangan tangan emaknya,
menyelusup di antara tubuh-tubuh dewasa, dan segeralah ia bersimpuh di sela gamelan tadi. Malam itu,
saat adegan goro-goro tiba. Satu adegan yang ditunggu-tunggu banyak penonton
lantaran didalamnya tersebar pernik-pernik falsafah kehidupan dari sang dalang.
Juga saat gending-gending popular dikumandangkan.
“Aku pengin
seperti dia,” ujar Wisnu lirih, Pandangan matanya terfokus pada si dalang yang
rupanya telah memesona dirinya. Ia pun meminta emaknya untuk selalu mengajaknya
datang setiap ada pergelaran wayang kulit. Di rumah ia meniru sabetan sang dalang, dengan wayang
kardus yang dibelikan emaknya. Sembari memainkan wayang, mulutnya
menirukan gending-gending pakeliran.
Sesekali mencoba antawacana
sebagaimana dilakukan oleh dalang.
Dalang cilik mewarisi keahlian generasi pendahulu
(Foto: Koleksi Pribadi)
Memori masa
kecil itu begitu lengket dalam ingatan Wisnu yang kini menjadi seniman, dalang
tepatnya. Meski belum sekondang dalang yang diidolakan, namun pengalaman masa
kecil itulah yang kelak membawanya mengarungi jagad kesenian. Sebuah pengalaman
yang mengajarkan dirinya untuk lebih menekuni
seni secara serius.
Wisnu memang
bukan keturunan seniman. Ia hanya tahu dari cerita orang, bapaknya yang hanya
menemaninya selama 2 tahun sejak ia dilahirkan
adalah pemain kethoprak, yang kesohor di desa-desa lereng gunung Merbabu. Yang
pasti, kini Wisnu lebih menekuni profesinya sebagai dalang ketimbang kethoprak.
Ia pun memompa hasrat kesenimannya, dari yang semula secara otodidak, kemudian
masuk perguruan tinggi seni. Ia kini telah menentukan jalan hidupnya sebagai
seniman.
Bakat Tumurun
Ilustrasi di
atas menandaskan bahwa dunia seni, sebagaimana sering disebut secara common sense, adalah bakat yang
diturunkan atau yang diwariskan. Dalam
ilmu reproduksi pun telah mengiyakan pandangan
itu. Banyak figur yang bisa dijadikan
contoh. Sebutlah contoh keluarga Yasa Sudarma dari Padepokan Cipta Budaya Tutub
Ngisor, Kecamatan Dukun Kab. Magelang yang telah melahirkan seniman-seniman
tari, dalang, dan karawitan dalam suatu komunitas yang solid.
Tapi ternyata
tak semua seniman lahir dari darah
seorang seniman. Dalam konstuksi pemikiran modern, kemampuan seni itu
bisa digali, ditemukan, dan dibangun bentuknya. Implikasinya, seorang seniman
tak semata “lahir”, tapi juga “dilahirkan” atau “diciptakan”. Ini alasan kehadiran
sekolah-sekolah konservatori atau sekolah menengah kesenian mempunyai arti
penting dan strategis. Bukan sekadar menampung
bakat, tetapi cakap membentuk dan
menjadikan siswa sebagai seniman. Lebih dari itu, merekalah penjaga gawang
pewarisan seni tradisional. Di tengah
krisis pewarisan seni di lingkup keluarga seniman, lembaga inilah yang pantas mengambil alih peran tersebut.
Orang tua mendampingi anaknya ikut kegiatan seni pertunjukan
(Foto: Koleksi Pribadi)
Konsep pewarisan (inheritance) mengadopsi dunia riil yakni suatu entitas/obyek dapat mempunyai
entitas/obyek turunan. Di Indonesia, sebelum pendidikan seni dikenalkan di
sekolah ada cara mengalihkan keterampilan secara ketukangan (crafmanship)
seorang seniman/kriyawan dalam hal ini orang tua kepada anak dengan cara
pewarisan. Cara pewarisan ini bagi orang
tua merupakan kebanggaan. Cara ini bagi lingkungan masyarakat didukung dan
dilakukan untuk menurunkan seni kepada anak-anaknya. Walaupun tidak semua
anak mewarisi bakat orang tuanya, namun baknyak realita yang tersibak, bahwa
faktor internal yang kuat ditambah
faktor gen sangat mempengaruhi minat anak untuk mendapatkan pewarisan seni dari
orang tuanya. Sebut saja anak-anak wayang Ngesti Pandawa Semarang, Wayang Orang
Bharata Jakarta, Kethoprak Siswo Budaya Tulungagung, dan sebagainya darah seni
orang tua menjadi pemicu anak-anaknya untuk terus melanjutkan dalam berkesenian
(Endang Caturwati, 2013).
Dalam dunia
pendidikan, konsep pewarisan di atas dapat diidentikkan dengan konsep
pembelajaran, transmisi atau transformasi pengetahuan (transfer of knowlwdge) karena pada prinsipnya mencakup proses
pengalihan kompetensi dari generasi ke generasi, dalam hal ini dari guru kepada
murid. Pengalihan itu dapat berupa karakteristik, pengetahuan, keterampilan,
dan atau kompetensi lainnya. Oleh karena itu konsep pewarisan lebih dimaknai sebagai proses pembelajaran,
yaitu proses interaksi antara siswa dengan
guru dan sumber belajar pada
suatu kondisi yang sengaja diciptakan agar terjadi perubahan tingkah laku.
Perubahan tingkah laku yang dimaksud menyangkut perubahan yang terjadi secara
sadar, kontinyu dan fungsional, bersifat positif dan aktif serta tidak bersifat
sementara, memiliki tujuan atau terarah, dan perubahan mencakup seluruh aspek
tingkah laku.
Pewarisan
Kultural
Sejak awalnya
seni tradisi memang selalu bersifat lokal, terbatas pada wilayah geografis
komunitas pemilik kesenian tersebut. Memang ada nilai ekonomi di dalamnya,
tetapi sifatnya bukanlah suatu yang industrial. Oleh faktor difusi, ada yang
bentuk maupun ekspresinya serupa dan mirip di kawasan lain, tetapi selalu
di setiap tempat memiliki kekhasannya sendiri, baik dalam penamaan, cara
memainkan, dan juga konteks sosial
ketika suatu seni itu dimainkan.
Dari kekhasannya
tersebut, sampai saat ini seni tradisi, dengan segala bentuk dan berbagai kawasan, mampu bertahan sebagai
suatu pengetahuan maupun keterampilan karena di antaranya adanya sistem
pewarisan yang bersifat kultural. Seni
tradisi pada umumnya bersandar pada pewarisan yang berbasis pada keluarga. Seorang
seniman secara kultural akan menjadikan anak atau cucunya sebagai seniman. Atau
anak dan cucu secara kultural mengikuti jejak ayah atau kakeknya menjadi
seniman, meneruskan keahlian berkesenian keluarga.
Mungkin karena
sifatnya yang kultural itu, maka ada banyak pola pewarisan seni yang berbasis
keluarga ini. Atau bisa dikatakan pewarisan ini tidak memiliki pola yang tetap dan tunggal. Ini
tidak saja dalam proses mempelajari tetapi juga dalam hal kelak jika
si seniman mewariskan potensi yang dimiliki. Salah satu kisah yang menarik bisa
dipetik dari keluarga Bagong
Kussudiardja (alm.), koreografer dan pelukis, yang masih termasuk cucu dari Sri
Sultan Hamengkubuwono VII. Sebagai kerabat kraton, keseharian Bagong akrab
dengan seni tradisi Jawa seperti menari,
menembang, dan bermain gamelan.
Bagong tidak
hanya mempelajari tari klasik Jawa. Ia juga belajar tari Bali dan Sunda, yang
unsur-unsurnya kemudian banyak ia masukkan dalam garapan tari kontemporernya.
Koreografi yang digarap banyak menarik peminat seni tari, hingga membawa Bagong
menjadi sang guru bagi penari-penari muda. Tidak sedikit penari profesional yang lahir dari rahim padepokan tari Bagong. Cara Bagong
mengajarkan tari dikembangkan oleh penerusnya, yang tidak lain adalah
anak-anaknya sendiri seperti Djaduk Feriyanto dan Butet Kertarajasa.
Mereka berdua
berusaha mengembangkan pola pembelajaran tari ala Bagong. Djaduk dan Butet
bukanlan penari seperti bapaknya. Tapi
mereka berupaya untuk membuat dunia tari
menjadi lebih berkembang dengan adanya
sharing dan diskusi setelah pementasan di padepokan. Dengan sharing semua bisa
refleksi bersama termasuk kelebihan maupun kekurangannya agar pementasan ke
depannya bisa lebih baik.
Keterlibatan
Pemerintah
Mengharapkan pewarisan
seni tradisi, semata pada keluarga yang
secara historis telah menjalani profesi sebagai seniman itu, mungkin perlu
diantisipasi lebih jauh. Bagaimana kalau anak cucu dari seniman itu, tidak
bersedia menjadi seniman untuk meneruskan profesi orang tua atau para
pendahulunya?
Pertanyaan itu
makin relevan, karena belakangan ini makin terasa gejala di mana minat untuk menjadi
seorang seniman dari keluarga seniman
itu semakin tipis. Sudah sering kita dengar, banyak para seniman sepuh mengalami kegelisahan yang luar
biasa, karena tak ada satu pun dari anak cucunya, atau orang di sekitarnya,
yang mau meneruskan keahliannya. Menurut Rahayu Supanggah, guru besar ISI
Surakarta, hampir semua keluarga seniman segenerasinya Martopangrawit dan Mloyo
Widodo itu, anak cucunya sudah tidak ada yang menjadi pengrawit (Majalah Gong
No. 91/VIII/2007).
Untuk menyiasati
kekhawatiran akan hilangnya pengetahuan dan keterampilan itu, terlebih jika dianggap pengetahuan dan keterampilan
sebagai suatu yang unik dan langka, maka
pemerintah mendirikan beberapa sekolah
seni mulai dari tingkat menengah sampai pendidikan tinggi dengan tujuan
pemeliharaan (konservatorium). Sekolah-sekolah tersebut tersebar di Yogya,
Solo, Denpasar, Bandung, Surabaya, Padangpanjang, dan beberapa kota lain di
seluruh Nusantara. Dari segi namanya, “konservatorium”, jelas peran lembaga
pendidikan seni ini sebagai pelestari
seni tradisi. Di lembaga ini para guru bukan
hanya mengajarkan ilmu dan
keahlian seni, tetapi juga mengkaji dan menciptakan metode pembelajaran yang
paling efektif di samping mengkaji dan menciptakan berbagai teori kesenian.
Tanpa bermaksud
mengabaikan peran sekolah-sekolah ini, bagaimanapun lembaga pendidikan formal
tersebut memiliki multiragam keterbatasan. Pertama,
sekolah-sekolah ini hanya ada di kota-kota tertentu saja. Kedua, seni yang dikonservatori itu terbatas seni-seni istana atau
seni yang dianggap adiluhung saja. Adapun seni yang dianggap pinggiran dan
lebih-lebih memiliki unsur-unsur mistik,
katakan misalnya berbagai seni yang menyertakan
unsur supranatural belum mendapatkan tempat yang semestinya di
sekolah-sekolah ini. Ketiga,
belakangan bobot dan orientasi pelajaran di dalam sekolah-sekolah seni ini bahkan
lebih banyak mengarah pada seni
dalam pengertian barat. Baik secara geografis
maupun konsennya, jelas sekolah-sekolah ini tidak akan menyentuh
keseluruhan dari wilayah seni tradisi di Nusantara yang sangat luas dan beragam
ini.
Bagaimanapun,
sampai sekarang peran pemeliharaan ini tetap dijalankan oleh sekolah-sekolah
ini baik mulai jenjang Sekolah Menengah Kejuruan Seni sampai Pendidikan Tinggi
seni. Walaupun hasilnya belum optimal, tapi niat pemerintah konsisten dalam
pemeliharaan seni tradisi. Terbukti niat pemerintah tidak terbatas pada
pemeliharaan saja, namun dalam banyak hal, telah memberi kontribusi dengan
berbagai event pementasan, misalnya
melalui penyelenggaraan festival-festival atau dukungan untuk kegiatan-kegiatan
pertukaran budaya.
Dengan demikian pewarisan
seni tradisi hendaknya keluarga juga punya peran untuk meneruskan pada generasi
berikutnya secara alami dan kultural. Sedangkan kalau generasi berikutnya ingin
lebih mengembangkan lebih jauh dapat meneruskan ke lembaga-lembaga pendidikan
formal guna mematangkan warisan seni tradisi yang sudah diterima.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni
Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar