Kamis, 07 Juli 2016

Pewarisan Seni Tradisi

Pewarisan Seni Tradisi

Oleh Ch. Dwi Anugrah

Wisnu, bocah usia 7 tahun itu duduk menyelinap  terhimpit di sela rancakan gamelan. Hari tengah malam, saat ia dibangunkan oleh emaknya. Sejak siang ia memang sudah  wanti-wanti agar dibangunkan untuk nonton wayang yang ditanggap seorang warga kampung di tetangga desanya.
Berjalan sekitar 1 kilometer menyusuri pematang kecil ke tempat pergelaran tak membuatnya kelelahan. Tak sampai 15 menit, anak dan emak itu langsung tenggelam di tengah penonton yang berjejal. Wisnu kecil melepasa pegangan tangan emaknya, menyelusup di antara tubuh-tubuh dewasa, dan segeralah  ia bersimpuh di sela gamelan tadi. Malam itu, saat adegan goro-goro tiba. Satu adegan yang ditunggu-tunggu banyak penonton lantaran didalamnya tersebar pernik-pernik falsafah kehidupan dari sang dalang. Juga saat gending-gending popular dikumandangkan.
“Aku pengin seperti dia,” ujar Wisnu lirih, Pandangan matanya terfokus pada si dalang yang rupanya telah memesona dirinya. Ia pun meminta emaknya untuk selalu mengajaknya datang setiap ada pergelaran wayang kulit. Di rumah ia meniru sabetan sang dalang, dengan wayang kardus yang dibelikan emaknya. Sembari memainkan wayang, mulutnya menirukan  gending-gending pakeliran. Sesekali mencoba antawacana sebagaimana dilakukan oleh dalang.




                                Dalang cilik mewarisi keahlian generasi pendahulu 
                                                 (Foto: Koleksi Pribadi)

Memori masa kecil itu begitu lengket dalam ingatan Wisnu yang kini menjadi seniman, dalang tepatnya. Meski belum sekondang dalang yang diidolakan, namun pengalaman masa kecil itulah yang kelak membawanya mengarungi jagad kesenian. Sebuah pengalaman yang mengajarkan dirinya untuk lebih menekuni  seni secara serius.
Wisnu memang bukan keturunan seniman. Ia hanya tahu dari cerita orang, bapaknya yang hanya menemaninya selama 2 tahun  sejak ia dilahirkan adalah pemain kethoprak, yang kesohor di desa-desa lereng gunung Merbabu. Yang pasti, kini Wisnu lebih menekuni profesinya sebagai dalang ketimbang kethoprak. Ia pun memompa hasrat kesenimannya, dari yang semula secara otodidak, kemudian masuk perguruan tinggi seni. Ia kini telah menentukan jalan hidupnya sebagai seniman.
Bakat Tumurun
Ilustrasi di atas menandaskan bahwa dunia seni, sebagaimana sering disebut secara common sense, adalah bakat yang diturunkan  atau yang diwariskan. Dalam ilmu reproduksi pun telah mengiyakan pandangan  itu. Banyak  figur yang bisa dijadikan contoh. Sebutlah contoh keluarga Yasa Sudarma dari Padepokan Cipta Budaya Tutub Ngisor, Kecamatan Dukun Kab. Magelang yang telah melahirkan seniman-seniman tari, dalang, dan karawitan dalam suatu komunitas yang solid.
Tapi ternyata tak semua seniman lahir dari darah  seorang seniman. Dalam konstuksi pemikiran modern, kemampuan seni itu bisa digali, ditemukan, dan dibangun bentuknya. Implikasinya, seorang seniman tak semata “lahir”, tapi juga “dilahirkan” atau “diciptakan”. Ini alasan kehadiran sekolah-sekolah konservatori atau sekolah menengah kesenian mempunyai arti penting dan strategis. Bukan sekadar menampung  bakat, tetapi cakap membentuk  dan menjadikan siswa sebagai seniman. Lebih dari itu, merekalah penjaga gawang pewarisan seni  tradisional. Di tengah krisis pewarisan seni di lingkup keluarga seniman, lembaga inilah  yang pantas mengambil alih peran tersebut.


                     Orang tua mendampingi anaknya ikut kegiatan seni pertunjukan
                                              (Foto: Koleksi Pribadi)

Konsep  pewarisan (inheritance)    mengadopsi dunia riil  yakni suatu entitas/obyek dapat mempunyai entitas/obyek turunan. Di Indonesia, sebelum pendidikan seni dikenalkan di sekolah ada cara mengalihkan keterampilan secara ketukangan (crafmanship) seorang seniman/kriyawan dalam hal ini orang tua kepada anak dengan cara pewarisan.  Cara pewarisan ini bagi orang tua merupakan kebanggaan. Cara ini bagi lingkungan masyarakat didukung dan dilakukan untuk  menurunkan seni  kepada anak-anaknya. Walaupun tidak semua anak mewarisi bakat orang tuanya, namun baknyak realita yang tersibak, bahwa faktor internal  yang kuat ditambah faktor gen sangat mempengaruhi minat anak untuk mendapatkan pewarisan seni dari orang tuanya. Sebut saja anak-anak wayang Ngesti Pandawa Semarang, Wayang Orang Bharata Jakarta, Kethoprak Siswo Budaya Tulungagung, dan sebagainya darah seni orang tua menjadi pemicu anak-anaknya untuk terus melanjutkan dalam berkesenian (Endang Caturwati, 2013).
Dalam dunia pendidikan, konsep pewarisan di atas dapat diidentikkan dengan konsep pembelajaran, transmisi atau transformasi pengetahuan (transfer of knowlwdge) karena pada prinsipnya mencakup proses pengalihan kompetensi dari generasi ke generasi, dalam hal ini dari guru kepada murid. Pengalihan itu dapat berupa karakteristik, pengetahuan, keterampilan, dan atau kompetensi lainnya. Oleh karena itu konsep pewarisan  lebih dimaknai sebagai proses pembelajaran, yaitu proses interaksi antara siswa dengan  guru  dan sumber belajar pada suatu kondisi yang sengaja diciptakan agar terjadi perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku yang dimaksud menyangkut perubahan yang terjadi secara sadar, kontinyu dan fungsional, bersifat positif dan aktif serta tidak bersifat sementara, memiliki tujuan atau terarah, dan perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku. 
Pewarisan Kultural
Sejak awalnya seni tradisi memang selalu bersifat lokal, terbatas pada wilayah geografis komunitas pemilik kesenian tersebut. Memang ada nilai ekonomi di dalamnya, tetapi sifatnya bukanlah suatu yang industrial. Oleh faktor difusi, ada yang bentuk  maupun ekspresinya  serupa dan mirip di kawasan lain, tetapi selalu di setiap tempat memiliki kekhasannya sendiri, baik dalam penamaan, cara memainkan, dan juga konteks  sosial ketika  suatu  seni itu dimainkan.
Dari kekhasannya tersebut, sampai saat ini seni tradisi, dengan segala bentuk  dan berbagai kawasan, mampu bertahan sebagai suatu pengetahuan  maupun  keterampilan karena di antaranya adanya sistem pewarisan yang bersifat kultural.  Seni tradisi  pada umumnya bersandar pada  pewarisan yang berbasis pada keluarga. Seorang seniman secara kultural akan menjadikan anak atau cucunya sebagai seniman. Atau anak dan cucu  secara kultural  mengikuti jejak ayah atau kakeknya menjadi seniman, meneruskan keahlian berkesenian keluarga.
Mungkin karena sifatnya yang kultural itu, maka ada banyak pola pewarisan seni yang berbasis keluarga ini. Atau bisa dikatakan pewarisan ini tidak  memiliki pola yang tetap dan tunggal. Ini tidak  saja dalam proses  mempelajari tetapi juga dalam hal kelak jika si seniman mewariskan potensi yang dimiliki. Salah satu kisah yang menarik bisa dipetik dari  keluarga Bagong Kussudiardja (alm.), koreografer dan pelukis, yang masih termasuk cucu dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Sebagai kerabat kraton, keseharian Bagong akrab dengan seni tradisi  Jawa seperti menari, menembang, dan bermain gamelan.
Bagong tidak hanya mempelajari tari klasik Jawa. Ia juga belajar tari Bali dan Sunda, yang unsur-unsurnya kemudian banyak ia masukkan dalam garapan tari kontemporernya. Koreografi yang digarap banyak menarik peminat seni tari, hingga membawa Bagong menjadi sang guru bagi penari-penari muda. Tidak sedikit  penari profesional yang lahir dari  rahim padepokan tari Bagong. Cara Bagong mengajarkan tari dikembangkan oleh penerusnya, yang tidak lain adalah anak-anaknya sendiri seperti Djaduk Feriyanto dan Butet Kertarajasa.
Mereka berdua berusaha mengembangkan pola pembelajaran tari ala Bagong. Djaduk dan Butet bukanlan penari  seperti bapaknya. Tapi mereka berupaya  untuk membuat dunia tari menjadi lebih berkembang  dengan adanya sharing dan diskusi setelah pementasan di padepokan. Dengan sharing semua bisa refleksi bersama termasuk kelebihan maupun kekurangannya agar pementasan ke depannya bisa lebih baik.
Keterlibatan Pemerintah
Mengharapkan pewarisan seni tradisi, semata pada keluarga  yang secara historis telah menjalani profesi sebagai seniman itu, mungkin perlu diantisipasi lebih jauh. Bagaimana kalau anak cucu dari seniman itu, tidak bersedia menjadi seniman untuk meneruskan profesi orang tua atau para pendahulunya?
Pertanyaan itu makin relevan, karena belakangan ini makin terasa  gejala di mana minat untuk menjadi seorang  seniman dari keluarga seniman itu semakin tipis. Sudah sering kita dengar, banyak para seniman sepuh mengalami kegelisahan yang luar biasa, karena tak ada satu pun dari anak cucunya, atau orang di sekitarnya, yang mau meneruskan keahliannya. Menurut Rahayu Supanggah, guru besar ISI Surakarta, hampir semua keluarga seniman segenerasinya Martopangrawit dan Mloyo Widodo itu, anak cucunya sudah tidak ada yang menjadi pengrawit (Majalah Gong No. 91/VIII/2007).
Untuk menyiasati kekhawatiran akan hilangnya pengetahuan dan keterampilan itu, terlebih  jika dianggap pengetahuan dan keterampilan sebagai suatu yang unik  dan langka, maka pemerintah mendirikan beberapa  sekolah seni mulai dari tingkat menengah sampai pendidikan tinggi dengan tujuan pemeliharaan (konservatorium). Sekolah-sekolah tersebut tersebar di Yogya, Solo, Denpasar, Bandung, Surabaya, Padangpanjang, dan beberapa kota lain di seluruh Nusantara. Dari segi namanya, “konservatorium”, jelas peran lembaga pendidikan seni ini sebagai  pelestari seni tradisi. Di lembaga ini para guru bukan  hanya mengajarkan  ilmu dan keahlian seni, tetapi juga mengkaji dan menciptakan metode pembelajaran yang paling efektif di samping mengkaji dan menciptakan berbagai teori kesenian.
Tanpa bermaksud mengabaikan peran sekolah-sekolah ini, bagaimanapun lembaga pendidikan formal tersebut memiliki multiragam keterbatasan. Pertama, sekolah-sekolah ini hanya ada di kota-kota tertentu saja. Kedua, seni yang dikonservatori itu terbatas seni-seni istana atau seni yang dianggap adiluhung saja. Adapun seni yang dianggap pinggiran dan lebih-lebih memiliki  unsur-unsur mistik, katakan misalnya berbagai seni yang menyertakan  unsur supranatural belum mendapatkan tempat yang semestinya di sekolah-sekolah ini. Ketiga, belakangan bobot dan orientasi pelajaran di dalam sekolah-sekolah seni  ini bahkan  lebih banyak mengarah  pada seni dalam pengertian barat. Baik secara geografis  maupun konsennya, jelas sekolah-sekolah ini tidak akan menyentuh keseluruhan dari wilayah seni tradisi di Nusantara yang sangat luas dan beragam ini.
Bagaimanapun, sampai sekarang peran pemeliharaan ini tetap dijalankan oleh sekolah-sekolah ini baik mulai jenjang Sekolah Menengah Kejuruan Seni sampai Pendidikan Tinggi seni. Walaupun hasilnya belum optimal, tapi niat pemerintah konsisten dalam pemeliharaan seni tradisi. Terbukti niat pemerintah tidak terbatas pada pemeliharaan saja, namun dalam banyak hal, telah memberi kontribusi dengan berbagai event pementasan, misalnya melalui penyelenggaraan festival-festival atau dukungan untuk kegiatan-kegiatan pertukaran budaya.
Dengan demikian pewarisan seni tradisi hendaknya keluarga juga punya peran untuk meneruskan pada generasi berikutnya secara alami dan kultural. Sedangkan kalau generasi berikutnya ingin lebih mengembangkan lebih jauh dapat meneruskan ke lembaga-lembaga pendidikan formal guna mematangkan warisan seni tradisi yang sudah diterima.

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya 
SMK Wiyasa Magelang




Tidak ada komentar:

Posting Komentar