MEREBAK GEMERLAPNYA MUSIK
CAMPUSARI
Oleh Ch. Dwi Anugrah
Kangeku tanpa
upama
Mung sliramu kang dadi telenging ati
Nanging tansah ngleledha
Ngelingana nalika ari kepungkur ………
Wus dangu
anggonku nunggu
Pitung sasi
lawase nggonku ngenteni
Bagi
yang terbiasa dan dhemen tembang campursari, syair di atas tidak terasa
asing. Bawa Pangkur Pelog 6 dilanjutkan langgam “Kangen”, ciptaan Manthous
dengan penyanyi cantik asal Sragen yang suaranya mendayu-dayu Anik Sunyahni.
Tembang tersebut seakan menjadi pelipur lara, di sela-sela kepenatan dan
kesibukan menjalankan aktivitas sehari-hari.
Campursari identik dengan ritus
pesta. Demikian yang terjadi di desa-desa hampir di seluruh penjuru kebudayaan
Jawa belakangan ini. Hampir semua perayaan, pesta, dan upacara ritual
menampilkan Campursari. Terlebih saat pesta Agustusan, desa dan perkampungan
urban bakal nanggap campursari sebagai media penyaluran ekspresi seninya. Genre
musik ini nyaris mengalahkan musik dangdut sekalipun. Padahal dangdut
popularitasnya melebihi jenis musik industri lainnya. Setidaknya di wilayah
Kebudayaan Jawa, mereka harus mengakui betapa dasyatnya pengaruh musik
Campursari.
Campursari adalah formula paling
akhir dari sinkretisme kesenian Jawa dalam hal ini musik. Bisa diingat kembali
perjalanan musik di Jawa Tengah, taruhlah misalnya di tahun 40-an dengan
munculnya lagu “Bengawan Solo” yang sampai saat ini masih membikin orang-orang
mancanegara kesengsem. Karya komponis
gesang itu disebut keroncong (semacam musik Portugis yang diartikulasikan secara
lokal). Musik jenis itu mengalami evolusi lebih lanjut dengan munculnya
generasi pencipta pada dekade berikutnya setelah Gesang di antaranya adalah
Anjar Any. Di tahun 60-70 an mulai populer musik yang disebut berjenis langgam
antara lain karya Anjar Any Yen ing
tawang ana lintang.
Kemudian pada era 1980-1990 an musik-musik yang ada
sebelumnya dicampur aduk sedemikian rupa dengan lagu-lagu lama yang diarensemen
dengan format baru. Genre musik tersebut sering dikenal dengan sebutan
campursari. Tokoh yang tidak asing pada waktu itu dan sekarang masih berkibar
adalah Manthous dengan lagu-lagu legendarisnya seperti, Nyidhamsari, Tak Eling-Eling, Potretmu
, Panjerina dan masih banyak lainnya yang telah diproduksi menjadi ribuan
kaset maupun CD di pasaran bebas
Semarak penyanyi campursari (Foto: Koleksi Pribadi)
Mudah Dicerna
Kekuatan campursari sebagai genre musik tradisional
adalah mampu menggring semua jenis musik masuk dalam garapannya. Di samping
praktis, juga dapat “mewakili” genre
musik untuk memenuhi banyak keperluan. Bermula dari perpaduan keroncong dengan
gamelan, sekarang malah bisa apa saja, dangdut, pop, musik rakyat, dan elemen
musik jenis lainnya. Dia juga sangat menghibur. Mudah dicerna, tak banyak
tuntutan kualitas atau profesionalisme konvensi yang ketat seperti genre musik
klasik.
Di samping itu campursari
juga mampu memberi image modern yang merefleksikan kehidupan perilaku
komunitas pendukungnya. Anatomi general campursari nampak pada perpaduan alat musik karawitan
(pentatonis) dengan musik Barat (diatonis).Instrumen Barat yang biasa digunakan
berupa alat musik keroncong. Meskipun begitu dia juga tidak menafikan
masuknya berbagai alat musik lain.
Termasuk yang paling trend sekarang
dicampur dengan dangdut dan musik pop lainnya.
Citra Modernitas
Fenomena campursari yang merebak dewasa ini
merupakan ikon dari fenomena sosial budaya secara alami. Munculnya jenis musik
ini merupakan refleksi komunitas Jawa sekarang yang sedang dalam kancah
pergaulan interkultural dalam mengaktualisasikan modernitas. Senada dengan
asumsi tersebut Rahayu Supanggah, Doktor Etnomusikologi dari STSI Surakarta itu
mengungkapkan, bahwa citra modernitas yang ingin dicapai masih terbatas pada
modernitas semu. Baru sosok visual atau menyentuh kulit luarnya saja. Hal itu
ditandai dengan penggunaan referensi artifisial berupa teknologi instrumen
Barat, seperti Keyboard dengan
berbagai programnya yang berbau computerized.
Selaras
dengan pendapat Rahayu Supanggah, pengajar musik ISI Yogyakarta Budi Raharja
mengungkapkan alasan pokok penggunaan Keyboard
hanya alasan prestise dan praktis. Masyarakat menganggap alat berteknologi
modern tersebut akan mengangkat prestise musik campursari secara holistik (Gong
: 2001).
Lepas dari berbagai diskursus yang melingkupi, namun
realitasnya terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur campursari telah menjadi
buah industri yang laris. Simak saja, dalam sebulan pasti ada dua atau tiga
kaset yang beredar. Kaset-kaset campursari itu lahir dari
perusahaan-perusahaan rekaman di daerah
seperti, Puspita Record, Dasa Record, Maju Lancar Record, Fajar Record, dan
beberapa industri rekaman lainnya.
Secara kultural bagi
komunitas pendukung campursari, jenis musik hibrida ini tidak bisa dipisahkan
dengan Manthous, yang bukan saja sebagai primadona, tapi sekaligus raja yang
menjadi pioner berkembangnya campursari. Manthous identik dengan campursari,
begitu pula sebaliknya, campursari adalah Manthous.Bersama kelompok bentukannya
Campursari Gunung Kidul (CSGK) adalah mentor yang menjadi pusat orientasi bagi
yang memainkan musik kegemaran semua kalangan ini.
Pengaruh yang kuat di daerah
tidak bisa dielakkan dengan munculnya banyak epigon-epigon ke wilayah komunitas
Jawa. Fenomena tersebut ditandai munculnya banyak kelompok. Di Kabupaten
Mageang saja, katakanlah masing-masing kecamatan mempunyai 3 kelompok, maka
kumulatif total grup bisa mencapai 63 kelompok. Sebagai contoh kalau kita naik
ke daerah Srumbung lereng Gunung Merapi dapat dijumpai Grup Campursari “SIDO
ASIH” dengan instruktur Agus Haryanto. Walau usianya masih kemarin sore, namun
kelompok ini sudah dikenal di seluruh
Magelang. Malahan dengan pemain dan penyanyi yang masih relatif muda dan
menggairahkan, sudah mampu menembus pasaran baik di Yogyakarta maupun Jakarta.
Tak bisa ditinggalkan grup campursari “Jampi Sayah” Muntilan Magelang dengan lagu
populernya “Manuke Cucak Rowo” yang mendulang sukses di pasaran publik.
Klausul membanjirnya
kelompok di berbagai daerah, bukan semata memunculkan persaingan yang semakin
berat, tapi persoalan kualitas bakal menjadi bumerang eksistensi campursari sendiri. Sekarang dengan mudah bikin grup campursari, tanpa
mempersiapkan kualitas musikal para pelakunya, sehingga kesannya adalah musik
asal jadi. Karena itu campursari perlu lebih disosialiasikan secara faktual, baik
melalui sarasehan, seminar, festival yang dilanjutkan dengan diskusi agar
masing-masing kelompok tidak hanya memainkan kulitnya saja, tanpa melihat
kedalamannya.
Dilihat dalam
konteks otonomi daerah campursari ini menarik, karena pertama-tama dia tumbuh
menjadi industri dan kedua telah menunjukkan geliat dalam mengekspresikan
budaya lokal yang selama ini mulai ada keterpenggalan generasi. Diharapkan
dengan berkembangnya musik campursari ini dapat memberi nilai tambah, terutama
sebagai tali perekat untuk lebih mengenalkan seni budaya Jawa yang sesungguhnya
ke berbagai lapisan masyarakat.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Pendamping Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang